12/05/2019

Muqaddam, Warisan Syaikh Abdussalam ( Tgk Syik di Waido)

Foto : kitab Muqaddam sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam kepada tim beulangong tanoh


Provinsi Aceh yang  terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalulintas perdagangan Internasional. Sejak berabad-abad lamanya Aceh sudah menjadi tujuan utama para pedagang Arab, India, Cina, Persia, dan negara lainnya. Persinggahan  masyarakat dari lintas negara tidak hanya memberi dampak dari segi ekonomi, agama, pendidikan, lebih jauh dari itu telah berdampak pada segi budaya.

Masyarakat Aceh dikenal heterogen, berbagai suku hidup secara berdampingan walaupun berbeda bahasa, sosial bahkan budaya sekalipun. Namun, perbedaan tersebut menjadi sebuah tolak ukur, bahwa masyarakat Aceh sudah terbentuk sebagai civil society (masyarakat berperadaban tinggi). Hal yang sama juga diakui oleh orientalis berkebangsaan Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje. Dia menulis pada pembukaan buku The Achehnese yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia bahwa, Aceh harus dimasukkan  ke dalam lingkungan negara-negara yang beradab yang saling menghormati (Christiaan Snouck Hurgronje, 1985: XX)

Bukti tingginya peradaban Aceh dapat dilihat dari banyaknya warisan budaya yang ditinggalkan, sebagian dari warisan itu dapat ditemui dalam kehidupan masyarakat. Salah satu warisan budaya Aceh yang tergolong unik adalah budaya muqaddam.

Secara etimologi Muqaddam berasal dari bahasa Arab, kata dasarnya qadama yang berarti pendahuluan. Sedangkan secara terminologi dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang dilakukan oleh petani sebagai upaya memohon perlindungan kepada Allah Swt atas padi yang ditanam. Pemberian nama muqaddam sebenarnya diambil dari nama kitab yang dibacakan pada saat prosesi awal memulai ritual, sehingga banyak masyarakat menyebut ritual ini dengan sebutan muqaddam.

Ritual ini terdapat di Pidie, namun tidak semua wilayah pertanian di Pidie melaksanakan ritual tersebut, hanya terdapat beberapa daerah saja yang dialiri lueng bintang (nama tempat aliran air). Aliran ini menjadi sumber utama masyarakat setempat untuk mengairi sawahnya.

Foto : kitab Muqaddam sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam kepada tim beulangong tanoh

Pelopor ritual muqaddam adalah seorang ulama karismatik Pidie yang hidup pada abad ke- 16, memiliki nama lengkap Syaikh Abdus Salam bin Syaikh Burhanuddin bin Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi al-Madani bin Syaikh Muhammad Al-Madani al-Anshary bin Syaikh Yunus bin Syaikh Ahmad ad-Dijani. Masyarakat setempat memberi dua laqab kepada beliau dengan nama Teungku Syik di Pasi atau Teungku Syik di Waido.

Selain alim dalam disiplin ilmu agama beliau juga memiliki kapasitas dalam ilmu terapan, salah satunya ilmu agricultural science yang mengkaji bidang pertanian. Banyak kontribusi yang beliau berikan dalam bidang pertanian, diantaranya mencetus pembuatan irigasi untuk pengairan sawah masyarakat, bekas irigasi masih dapat dilihat di Gampong Waido, Kecamatan Peukan Baro. Hasil usaha lain yang tidak kalah pentingn dari Teungku Syik di Pasi adalah memberi gagasan lahirnya kegiatan muqaddam.

Tujuan diadakan muqaddam sebagai bentuk taqarrub (mendekatkan diri) kepada Allah yang Maha memberi rezeki, diharapkan padi yang ditanam bebas dari gangguan hama dan penyakit. Tujuan ritual ini memiliki korelasi dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surah al- A’raf ayat 96:

“Kalau sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi jika mereka mendustakan (ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.

Selain sebagai bentuk mendekatkan diri pada Allah, tujuan lainnya ritual ini untuk mempererat silaturrahmi antar sesama, baik masyarakat yang berprofesi sebagai petani atau bukan, diharapkan memberi kesan positif terhadap masyarakat. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa tujuan muqaddam tidak lain untuk menata hubungan baik antara makhluk dengan pencipta dan hubungan sesama makhluk.

Foto : kitab Muqaddam sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam kepada tim beulangong tanoh

Muqaddam biasanya dilakukan saat dara pade (usia padi 40-55 hari), jika dikaji dari perspektif ilmu pertanian, usia tersebut dapat dikategorikan bahwa tanaman padi masih dalam fase vegetatif, pada fase ini terjadi perkembangan akar, daun, dan batang baru pada tanaman padi.

Adapun untuk melaksanakan ritual ini, masyarakat mengadakan muafakat terlebih dahulu, dikoordinasi langsung oleh Keujruen blang (pemimpin lembaga adat yang mengurus bidang persawahan), kedudukan lembaga ini sudah diatur dalam Pasal 25 Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat (Badruzzaman Ismail, 2013: 11)

Saat tiba  pada hari yang disepakati, masyarakat datang ke area persawahan yang telah ditentukan untuk mengikuti ritual muqaddam. Kegiatan awal dalam ritual ditandai dengan pembacaaan kitab muqaddam oleh Teungku imum (pemuka agama tingkat desa) dan diikuti oleh masyarakat.

Dalam kitab itu berisi surah-surah al-Quran pilihan, zikir, dan kumpulan doa-doa. Uniknya, kitab tersebut bukan hasil cetakan, melainkan tulis tangan Teungku Syik semasa hidupnya. Keuunikan lainnya yaitu kitab disimpan dalam wadah berbentuk persegi empat, berbahan dasar kulit kambing kemudian dibunungkus dengan kain putih.

Kegiatan kedua yaitu makan bersama, makanan berasal dari masyarakat yang dibawa pada acara ritual. Dalam hal ini, anak yatim, fakir, miskin menjadi prioritas utama, dipastikan terlebih dahulu mereka sudah mendapatkan jatah makanan, agar memperoleh keberkahan dari Allah Swt.

Foto : kitab Muqaddam sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam kepada tim beulangong tanoh

Kegiatan ketiga dalam ritual muqaddam adalah peusijuk (menepung tawar) dan menulis doa-doa pada helaian kain putih, kegiatan ini menjadi puncak ritual. Masyarakat sebelumny telah menyediakan air bunga yang ditampung dalam wadah besar.

Selain air bunga, masyarakat turut membawa beberapa jenis tumbuhan yang sudah diikat menjadi satu ikatan, tumbuhan tersebut antara lain oen seunijuek (cocor bebek), oen manek manoe (daun warna warni), oen naleung samboe (rumput saut), oen gaca (daun inai), oen seuke pulot (daun pandan wangi), oen pineung (daun pinang), oen rehan (daun raihan) , dan oen sitawa (daun sitawa).

Tidak hanya itu, Teungku imum juga menulis doa-doa pada helaian kain berwarna putih, kain tersebut nantinya akan disobek menjadi ukuran kecil dan dibagikan kepada petani. Sebelum disobek, kain yang sudah ditulis doa, air bunga serta jenis tumbuhan yang telah tersedia di peusijuek terlebih dahulu.

Tujuan digunakan air bunga dan beberapa jenis tumbuhan lainnya, besar kemungkinan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan hama pada masa itu, mengingat tidak tersedianya pestisida kimia seperti zaman sekarang, sehingga harus menggunakan bahan-bahan organik yang tersedia.

            Setelah peusijuek, Teungku imum secara simbolis menaruh bahan-bahan yang di peusijuek  pada sawah warga, selebihnya diberikan kepada warga. Sebelum mengakhiri ritual, keujruen memberi pengumuman kepada petani agar tidak kesawah tiga hari setelah melakukan ritual karena menjadi pantangan. Demikian runut kegiatan ritual muqaddam berdasarkan hasil observasi di Desa Bunien, Kecamatan Simpang Tiga.

            Menjadi tanggung jawab bersama melestarikan budaya muqaddam, terutama bagi generasi milenial, agar budaya ini tidak tergerus oleh zaman. Selain dipandang sebagai warisan dari leluhur, budaya muqaddam telah menjadi identitas Aceh yang tidak terpisahkan  khusunya bagi masyarakat di Kabupaten Pidie.(ay)
Read More

11/25/2019

Seudati, Warisan Budaya Pidie Yang Mendunia

Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie
 
Salah satu khazanah kebudayaan tradisi Aceh dalam bentuk seni tari adalah Seni Seudati. Seudati merupakan kesenian tradisional Aceh, berwujud seni tari yang diperankan oleh delapan penari pria dan satu sampai dua orang syekh (penyanyi).

Tari seudati muncul pada  acara tertentu utamanya  kegiatan pendakwahan ajaran Islam kepada masyarakat, menyangkut nilai kepercayaan dan ibadah kepada Allah SWT, etika dan akhlak serta nilai baik bermasyarakat pada ajaran agama Islam. Namun, dalam perkembangannya, Tari Seudati kini mulai “ditinggalkan” generasi muda, tidak banyak lagi generasi muda  mampu dan mengetahui Seudati. Belum lagi kekurangan akan generasi yang memahami dan layak menjadi Syekh,pemimpin Seudati

Banyak pendapat mengenai asal usul nama tarian ini. Ada berpendapat penamaan “Seudati” berasal dari kata bahasa arab yaitu “Syahadatain” atau “Syahadati” berarti Syahadat yaitu pengakuan akan keesaan Allah dan pengakuan Muhammad merupakan Rasul utusan Allah. Selain itu, ada pula berpendapat bahwa “Seudati” berasal dari kata “Seurasi” (Bahasa Aceh). Kata ini bermakna kompak dan harmonis. Hal ini sesuai dengan gerakan dalam tarian Seudati.

Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie

Tari Seudati tergolong kategori “Tribal War Dance” atau tarian perang, dikarenakan syair-syairnya dapat membangkitkan semangat pemberontak pemuda kepada kekuasaan Belanda. Tarian ini sempat tidak di perbolehkan pada zaman pemerintahan Belanda, hingga akhirnya di perbolehkan kembali setelah Indonesia merdeka.

Pendakwah islam memanfaatkan tari ini sebagai media dakwah, karena didalam syair dan gerakan tari Seudati banyak mengandung ajaran agama islam sehingga dijadikan sebagai sarana penyebaran dan pendidikan agama Islam. Selain dapat menghibur, juga mendapatkan ajaran agama dan semangat perjuangan bagi khalayak ramai.

Tari Seudati tidak diiring alat musik hanya mengandalkan bunyi tepukan tangan ke dada dan pinggul, hentakan kaki ke lantai, dan petikan jari. mengikuti gerakan meliuk-liuk mundur beriring irama syair yang dilantukan aneuk Syekh sesuai irama dan tempo yang dinyanyikan.

Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie

Beberapa gerakan bersifat dinamis, penuh semangat dan kelihatan kaku. Hal itu sengaja dilakukan untuk memperlihatkan keperkasaan dan kegagahan para penari sendiri. Selanjutnya gerakan tepukan kedada dan perut memaknai kesombongan dan juga sikap ksatria pria Aceh. Tari ini dimainkan oleh delapan laki-laki sebagai penari utama, terdiri satu orang sebagai pemimpin disebut Syekh serta seorang pembantu Syekh, dua orang pembantu sebelah kiri disebut apeet wie, pembantu di belakang disebut apeet bak, dan tiga orang pembantu biasa. Sedangkan dua orang penyanyi disebut aneuk syahi.

Bagian terpenting tarian Seudati terdiri dari likok (gaya;tarian), saman (melodi), irama kelincahan, yang menceritakan kepahlawanan, sejarah dan tema-tema agama. Sebagian kecil dari sejuta cerita di balik indahnya harmoni gerak Seudati telah member karakter pada seni tradisi Aceh sehingga mengundang decak kagum penikmatnya baik skala lokal maupun dunia.

Menelusuri perkembangan tari Seudati dari dulu hingga sekarang bukanlah hal yang mudah, terlihat jelas tari Seudati sangat popular pada masa muncul Syekh Ampon Bugeh dari Geureugok, Syeh Lah Bangguna dari Pidie, Syeh Ampon Mae dari Mulieng, Syeh Ampon Seuman dari Geudong Pasee dan Syeh Lah Geunta. Syeh Lah Geunta telah mempopulerkan tari Seudati ke mancanegara mulai dari Amerika Serikat, Spanyol, Belanda, Australia, Taiwan dan Malaysia. . Kondisi ini terjadi pada kisaran tahun 1990an sehingga popularitas Syeh Lah Geunta menjadikannya sebagai maestro tari Seudati. (Sumber Seudati di Aceh)

Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie

Peranan pemerintah dalam upaya pelestarian Seudati pada saat itu cukup baik. Hal ini terbukti dengan adanya sejumlah agenda seni yang di dalamnya ikut ditampilkan tari Seudati terutama pada kegiatan Pekan Kebudayaan Aceh (PKA). Sejak pagelaran tersebut digelar hingga sekarang, untuk tingkat pemula terdapat juga agenda seni lain yang memberikan ruang kepada Seudati untuk berkembang, seperti kegiatan Pekan Olah Raga dan Seni tingkat sekolah dasar dan menengah sejak tahun 1968. Bahkan semasa Gubernur Aceh Prof. Dr. Ibrahim Hasan, MBA, Seudati difestivalkan setiap tahunnya walaupun kemudian sempat tidak dilanjutkan lagi.

Namun, kini peranan pemerintah telah memberi peluang dan ruang kembali terhadap pengembangan dan pelestarian budaya Seudati di Aceh. melalui pagelaran Pekan Kebudyaan Aceh (PKA)  dan bahkan sekarang sudah mulai diperlombakan kembali dalam kegiatan-kegiatan budaya lainnya.(an)


Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie

 Foto : tarian Seudati pada penampilan festival Seudati di Pidie


Read More

11/05/2019

Gedeu –Gedeu, Sumo Masyarakat Pidie

Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga 

Setiap daerah memiliki keunikan yang berbeda-beda, keunikan tersebut menjadi unsur penting dalam membentuk konsep jati diri daerah masing-masing, atau lebih dikenal dengan istilah identitas sosial (social identity). Terbentuknya identitas sosial ini karena adanya keterlibatan, rasa peduli dan rasa bangga menjadi bagian dari kelompok sosial yang dinaunginya, setiap kelompok berusaha untuk menampilkan keunikan yang ada di daerah mereka masing-masing, baik dari segi kuliner, kesenian maupun permainan rakyat. Adapun salah satu diantara keunikan yang menarik adalah permainan gedeu-gedeu atau deu-deu.

Permaianan gedeu-gedeu berasal dari Kabupaten Pidie, salah satu Kabupaten yang ada di Provinsi Aceh. Secara geografis, kabupaten ini terletak pada koordinat 4,30-4,6 Lintang Utara dan 95,75-96,20 Bujur Timur dengan pusat pemerintahan di Kota Sigli. Di wilayah yang di kenal dengan julukan nanggroe kerupuk mulieng (wilayah penghasil emping melinjo), permainan gedeu-gedeu menjadi permainan khas masyarakat Pidie.

Permainan gedeu-gedeu adalah permainan sejenis sumo Jepang atau kusthi/akhara (gulat) di India, juga dinamakan meukrueng-krueng. Permainan ini tergolong permainan tradisional, yang berorientasi pada adu kekuatan fisik dan mental, dibutuhkan tenaga serta strategi sempurna untuk memenangkan permainan ini, bahkan tidak jarang ada para pemain yang cedera akibat sengitnya beradu kekuatan.

Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga.

Permainan gedeu-gedeu sudah dipertunjukkan sejak zaman uleebalang. Pada awalnya, pertunjukkan permainan ini bertujuan untuk menghibur masyarakat, setelah hari-hari yang mereka jalani disibukkan bekerja dengan beragam profesi yang mereka tekuni, diantara masyarakat ada yang berprofesi sebagai buruh tani, utoh, pedagang dan sebagainya.

Salah seorang tokoh dari Pidie, yang pernah menjabat sebagai Gubernur Sumatera masa jabatan Tahun 1945-1948, yaitu Mr. Teuku Muhammad Hasan, pernah mencetuskan  dilaksanakan pertunjukkan gedeu-gedeu di Lampoh Saka. Dia membuat sebuah musyawarah besar, dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat, mulai dari tuha gampong hingga para pemuda, tujuan musyawarah tersebut untuk membentuk panitia pelaksana permainan gedeu-gedeu di Lampoh Saka. Dalam buku memoar Mr. Teuku Mohammad Hasan halaman 123- 124, dijelaskan:

“Sepulang saya dari Negeri Belanda, saya melihat bahwa pasar Lampoh Saka boleh dikatakan sepi, tidak seramai pasar Caleu. Oleh karena itu saya mengundang orang-orang tua dan orang-orang di pasar bertukar pikiran bagaimana caranya meramaikan keude Lampoh saka. Dalam pertemuan itu disarankan supaya diadakan permainan gedeu-gedeu di atas tanah sawah dekat pasar. Disamping itu diadakan pula adu sapi, kerbau dan domba dengan tujuan untuk meramaikan pasar Lampoh Saka.

Mercermati langkah yang dilakukan Mr. Teuku Mohammad Hasan, yang mengagas  permainan unik ini di Lampoh saka, dapat diketahui bahwa tujuan permainan gedeu-gedeu tidak lagi hanya sebatas untuk hiburan semata, akan tetapi terdapat alasan lain terkait tujuan permainan gedeu-gedeu di Pidie.

Pertama, sebagai sebuah strategi untuk meramaikan pasar, dengan dasar pertimbangan bahwa pasar menjadi denyut nadi bagi masyarakat. Apabila pasar mati maka dapat dibayangkan bagaimana meningkatkan aktifitas jual beli. Oleh sebab itu, dengan diadakan permainan gedeu-gedeu menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat untuk datang ke pasar Lampoh Saka, jika pasar sudah ramai, maka perputaran ekonomi akan lebih stabil, karena aktifitas pasar tidak hanya tertuju pada transaksi jual beli semata, akan tetapi lebih dari itu, dipasar juga akan membuka peluang kerja yang baru, misalnya masyarakat dapat bekerja sebagai pengangkut barang, tukang kebersihan dan sebagainya.

Kedua, sebagai ajang untuk meningkatkan persatuan masyarakat. Permainan ini tidak hanya dimainkan oleh masyarakat gampong tertentu saja akan tetapi turut pula diundang masyarakat gampong lain. Dengan demikian akan terbentuk interaksi sosial serta hubungan emosional sesama masyarakat, paling kurang dengan adanya interaksi tersebut dapat mengetahui bagaimana karakter warga dari masing-masing gampong.

Ketiga, Permainan gedeu-gedeu sebagai salah satu cara untuk melatih ketangkasan pemuda, agar para pemuda tidak terlihat loyo, tidak bersemangat. Adanya permainan ini dapat menjadi daya tarik tersendiri bagi masyarakat. Dahulu, para pemuda yang menjadi pemain gedeu-gedeu disukai oleh gadis-gadis karena postur mereka kekar.

Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga 

Dalam sebuah wawancara dengan T.M. Daud, salah seorang penonton gedeu-gedeu era 1945, ia menerangkan bahwa gedeu-gedeu saat itu sering dimainkan di Bernuen, tepatnya di area berdirinya Masjid Abu Beureueh sekarang, dulu disitu adalah tanah lapang. Selain itu, juga dimainkan di Blang Mbeek, yaitu  kawasan pusat perbelanjaan kota Berenuen saat ini.

Apabila ingin melaksanakan turnamen gedeu-gedeu bergengsi, maka akan dibentuk panitia penyelenggara, satu bulan sebelum hari H panitia sudah menyebarkan informasi ke berbagai pelosok gampong, bahwa bulan depan akan diadakan turnamen di gampong fulan. Jika waktu turnamen tiba, maka tempat perhelatan gedeu-gedeu biasanya akan dipagar, jika ingin menonton  harus membayar sebesar 1 Rupiah, nilai mata uang  pada  saat itu.

Untuk memainkan gedeu-gedeu diundang pemuda-pemuda gampong  dari  berbagai wilayah lain, diantaranya dari gampong Blang Mangki, Bereunuen, Bambi, Adan, Ie Leubeu, Pineung dan lainnya. Tempat duduk sekalipun sudah diatur sedemikian rupa, tempat duduknya di empat arah mata angin. Para penonton gedeu-gedeu duduk dibelakang atau sekitar orang-orang yang turut berkelahi mengadu kekuatan.

Para pemain jauh-jauh hari sudah menjaga kesehatan, mengonsumsi daging kambing, ada juga daging kerbau adu (Kebeu Pok), menurut kepercayaan saat itu mengonsumsi daging kerbau adu dapat membuat orang menajadi kuat, persiapan harus benar-benar matang, jika tidak akan kalah, kalau sudah kalah akan malu diri sendiri dan gampong. Bintang gedeu-gedeu pada Tahun 1945 diantaranya adalah Alibasyah Aneuk Muda dari Adan, Banta Amat dari Gumpueng, Pang Tam dari Ujong Rimba, Sayet Hasan dari Gampong Keumangan dan ada beberapa lagi lainnya.

Teuku Ishak, salah seorang pemain gedeu-gedeu dari Bambi Mee Hagu juga turut memberi keterangan, bahwa permainan ini dimainkan oleh tiga orang pemain utama, satu orang sebagai penerima serangan atau dalam istilah permainan gedeu-gedeu disebut tukang theun atau tueng, sedangkan dua lainnya sebagai penyerang dikenal dengan istilah pok.

Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga 

Selain pemain utama, terdapat juga ureung semeugla atau ureung peubla, yaitu juru pemisah bagi pemain utama tadi,  lebih tepatnya ureung peubla ini dapat dikatakan sebagai wasit dalam permainan, jumlah wasit ada dua sampai tiga orang,  dikarenakan permainan gedeu-gedeu sangat beresiko, tidak sembarang orang dipilih menjadi wasit, tetapi mereka yang sudah terlatih, berpengalaman, memiliki kapasitas pengetahuan tentang gedeu-gedeu serta memiliki postur tubuh yang tegap dan kuat.

Permainan ini dimainkan di sawah, dengan arena berbentuk segi empat, ada juga yang melakukan pertarungan di tanah lapang dekat krueng (sungai), makanya selain nama gedeu-gedeu permainan ini juga dikenal dengan sebutan meukrueng-krueng, dengan ketentuan arena harus bersih dan berbentuk segi empat. Sewaktu-waktu ada acara resmi dari pemerintah, biasanya permainan ini turut juga dipertunjukkan di lapangan-lapangan bola, karena tidak mungkin menunggu masa luah blang (setelah panen), serta kurang strategis jika diadakan  dekat sungai, untuk itu digunakan lapangan atau tempat yang layak lainnya.

Adapun atribut bagi pemain gedeu-gedeu tidak terlalu banyak, para pemain hanya menggunakan celana warna hitam yang panjangnya menutupi bawah lutut. Selain itu, pemain  melilitkan kain di pinggang dengan panjang lebih kurang 1 meter, dalam istilah permainan ini disebutkan ija rhroek keu’ieng (kain ikat pinggang), posisi kain harus menutupi pusat, karena batas aurat bagi seorang laki-laki, warna kain dalam turnamen resmi biasanya warna merah, dengan makna filosofis bahwa merah itu warna yang menunjukkan keberanian,  terkadang ada juga yang menggunakan warna kuning dan hijau. Pemain dalam permainan ini tidak dibolehkan menggunakan baju, supaya nampak gagah, juga untuk mengantisapasi adanya kecurangan.

Foto : atribut yang di pakai oleh pemain gedeu-gedeu 

Sebelum ke arena, terlebih dahulu  para pemain gedeu-gedeu menjalani ritual peusijuek (menepung tawari) oleh tokoh gampong, disertai memanjatkan doa kepada ilahi. Selain di peusijuek, para pemain turut diberikan bulukat (pulut), hal ini  bertujuan untuk mengambil berkah, dalam kajian agama Islam dikenal dengan istilah tawassul. Para pemain tidak dibenarkan sombong, apalagi meremehkan lawan-lawannya, karena jika sombong akan cedera ketika berlaga.

Setelah semua siap, barulah pemain turun ke ring. Terdapat seorang pemain yang posisinya sebagai penantang (ureung theun,tueng) dari gampong tertentu, tampil dengan cara berputar-putar di gelanggang, seraya meukeutheup-keutrep jaroe (berketip-ketip jari), bertepuk kedua tangan, dan  terkadang tiarap ke tanah sembari menunggu penyerbu (ureung pok).

Setelah itu, giliran pihak lawan yang menyerbu penantang yang sudah siap menunggu lawan datang, biasanya ada dua orang penyerang, keduanya menyerbu sambil memegang tangan. Dalam aturan permainan ini, orang yang menyerbu tidak boleh memukul penantang tetapi hanya menangkap dan membanting saja, sedangkan penantang diperbolehkan memukul penyerang, tapi hanya memukul di area-area tertentu. jika  bantingan penyerbu  terlepas maka berakhirlah permainan, kesebelasan pemain yang menang akan diberikan hadiah rencong sebagai bentuk penghargaan, serta turut diberikan uang.

Foto : pemain gedeu-gedeu saat tampil di lapangan bola Kecamatan Simpang Tiga 

Sebelum Tsunami, pergelaran budaya di Pidie sering sekali dilaksanakan, terutama permainan gedeu-gedeu, misalnya pada acara 17 Agustus maupun acara resmi budaya. Menurut  Teuku Ishak, ia dan tim pada Tahun 2000 pernah ke Jakarta, tepatnya di lapangan Senayan  untuk menampilkan gedeu-gedeu dalam sebuah event budaya.

Di lapangan bola Blang Paseh juga pernah dilaksanakan, masyarakat mulai dari anak-anak sampai yang tua, laki-laki dan perempuan, dari berbagai penjuru Pidie datang ke acara tersebut dan mereka sangat antusias mengikuti jalannya permainan ini sampai selesai, menandakan bahwa animo masyarakat terhadap permainan gedeu-gedeu masih tinggi. Selain itu, penulis pernah melihat beberapa kali pergelaran seudati yang dilaksanakan di Alun-alun Kota Sigli dengan syeh seudati nya saat itu adalah Syeh Lah Geunta.

Setelah tragedi Tsunami, permainan gedeu-gedeu sudah sangat jarang dipertunjukkan, hal ini sangat disayangkan karena permainan unik ini merupakan permainan khas Pidie yang tidak ditemukan di daerah-daerah yang lain. Bagi generasi milenial, mendengar kata gedeu-gedeu saja tidak pernah, artinya permainan ini suatu permainan asing dan tidak mereka ketahui.

Oleh karena itu, sangat diperlukan perhatian dari pemerintah Kabupaten Pidie, serta instansi-instansi terkait untuk memberi perhatian lebih guna melestarikan permainan gedeu-gedeu, agar permainan unik ini tidak hilang ditelan zaman, karena berbicara tentang kebudayaan, tidak hanya terbatas pada masa dan generasi tertentu saja, tetapi budaya akan diwariskan secara estafet pada generasi selanjutnya.(ay)
Read More

10/25/2019

Merawat Tradisi Khanduri Laot

 
Foto : bendera kuning (panji) yang di naikkan pada sebuah pohon sebagai tanda di langsungkan Khanduri Laot di Pasi Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie

Aceh memiliki laut  sangat strategis berada pada posisi antara   2 – 6 derajat LU dan 95 – 98 derajat BT, sangat strategis letaknya bagi jalur pelayaran, sehingga posisi strategis ini sangat menguntungkan, dilihat dari geografi yang berbatasan sebelah utara dengan selat malaka, sebelah selatan dengan provinsi Sumatra selatan, sebelah barat dengan samudra hindia dan sebelah timur dengan selat malaka.

Penduduk Aceh menyebut laut dengan sebutan “ Laot ” atau terkadang disebut juga dengan “ Pasi ” dan yang termasuk didalamnya pesisir pantai atau kuala itu disebut “ Lhok “,  biasanya  digunakan oleh para nelayan untuk melakukan aktivitasnya yaitu seperti menangkap ikan.

Salah satu adat atau tradisi masyarakat Provinsi Aceh adalah mengadakan Khanduri (kenduri) laut. Khanduri merupakan perjamuan makan untuk memperingati peristiwa meminta berkah, dan lain sebagainya.

Perkembangan zaman kian maju dan modern, nilai-nilai adat dan budaya masyarakat aceh sampai saat ini masih tetap terjaga dan terus di lestarikan dengan baik.

Kabupaten Pidie misalnya, tepat di Gampong Neuhen, Kecamatan Batee, masyarakat daerah tersebut masih sangat menjaga tradisi Khanduri laut.

Bagi masyarakat gampong Neuhen, laut tidak hanya bernilai ekonomi tetapi juga memiliki nilai sosial dan nilai religi. Adanya nilai sosial dan ekonomi, fungsi sosial yaitu untuk menjaga hubungan manusia dengan manusia, adapun fungsi ekonomi yaitu menjaga keserasian antara manusia dan alam. Begitu juga nilai religi  berfungsi menjaga keserasian hubungan antara manusia dengan tuhan (Surwono, S.W, 2005 : 41) dengan kata lain, segala bentuk eksplorasi laut dan hubungan antara pelaku dalam pemanfaatan laut harus mempunyai nilai-nilai ibadah menurut syariat islam.

 
Foto : seorang Masyarakat sedang memasak kuah beulangong pada acara Khanduri Laot di Pasi Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie

Selain itu Khanduri Laut di lakukan untuk mempererat silaturrahmi dan meningkatkan kekompakan nelayan, termasuk dalam interaksi sosial, interaksi sosial merupakan hubungan interpersonal yang terjadi antara dua orang atau lebih dengan menggunakan tindakan verbal maupun non-verbal, sehingga interaksi sosial menjadi kunci utama dari semua kehidupan sosial karena tanpa interaksi sosial tidak akan mungkin ada kehidupan bersama.(Soekanto, 1990).

Khanduri Laot biasanya di lakukan  pertengahan tahun atau  akhir tahun,  saat perubahan musim timur ke barat. Nah, waktu itulah dimanfaatkan oleh para nelayan Gampong Neuhen untuk mengadakan Khanduri Laot.

Hari Khanduri Laot sendiri ditetapkan oleh panglima Laot dengan mengundang semua penduduk, para pawang, orang tua gampong, dan masyarakat sekitar.

Proses pelaksanaan Khanduri Laot di mulai dengan beberapa tahapan, tahapan pertama mempersiapkan hidangan makanan yang di peruntukan untuk tamu-tamu dan  warga masyarakat yang mengikuti upacara tersebut. Semua hidangan  di siapkan oleh masyarakat Neuhen secara suka rela.

 
Foto : bendera kuning yang di naikkan pada sebuah pohon sebagai tanda di langsungkan Khanduri Laot di Pasi Beurandeh, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie

Tahapan selanjutnya disembelih seekor kerbau, serta mempersiapkan perlengkapan peusijuek sebagai prosesi utama dalam pelaksanaan upacara Khanduri Laot. Setelah berbagai keperluan yang digunakan untuk prosesi upacara tersedia. Maka tahap berikutnya adalah pelaksanaan upacara, pelaksanaan ini di mulai pagi hari setelah shalat subuh. Nah Pada tahap ini masyarakat berpartisipasi  melaksanakan doa dan zikir bersama, maka setelah itu panglima Laot mulai memandikan kerbau yang akan disembelih, setelah selesai di mandikan di lanjutkan peusijuek oleh panglima Laot di ikuti oleh Tengku imum dan Tokoh masyarakat lainnya.

Adapun proses terakhir,kerbau yang telah disembelih dan di masak untuk disantap bersama dengan masyarakat gampong neuhen, tokoh adat, masyarakat dari luar yang ikut berpartisipasi, pejabat sipil serta militer.

Terdapat suatu hal yang unik pada pelaksanaan Khanduri Laot di mana kepala kerbau, isi dalam dan tulang belulang di bungkus dengan kulit kerbau kemudian di bawa dengan perahu dan di tenggelamkan ke laut dengan jarak yang tidak jauh dari bibir pantai.

“Pada dasarnya penyelenggaraan Khanduri Laot bertujuan untuk keselamatan para nelayan dalam melakukan pekerjaannya,  dan merupakan bentuk rasa syukur atas anugerah Tuhan Yang maha Esa atas limpahan rahmat-Nya”. Begitu penuturan dari petua adat Gampong Neuhen.

Terungkaplah fakta bahwa Khanduri Laot bukanlah memberi tumbal kepada jin seperti  persepsi masyarakat selama ini, melainkan memberi makan ikan sebagai wujud syukur atas rezeki sekaligus memanfaatkan kesempatan untuk berkreasi setelah sekian lama bekerja.

Selama tujuh hari setelah Khanduri, lokasi disekitar tulang yang di tenggelamkan tidak diperbolehkan untuk melakukan aktivitas menangkap ikan, karena lokasi tersebut merupakan tempat untuk ikan-ikan bermain, bertelur dan menetaskan telurnya (Daud, 2004).

Larangan tersebut dipatuhi dan dilaksanakan oleh para nelayan di kawasan kuala Batee dan sekitarnya. Sebab hal ini berkenaan dengan tata cara dalam adat meuLaot.

 
Foto : antusiasnya masyarakat mengikuti acara Khanduri Laot di Pasi Beurandeh,Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie

Ada yang unik dalam kegiatan Khanduri Laot yang dilaksanakan oleh masyarakat gampong neuhen. Hampir seluruh masyarakat baik tua maupun muda ikut pergi ke pantai menggunakan bot kayu,  disana mereka berkreasi sehari penuh, seperti makan bersama  dan juga mandi laut.

Nah, Itulah sedikit ulasan singkat mengenai Khanduri Laot yang diadakan oleh masyarakat Gampong Neuhen Kecamatan Batee. Sebagai warisan budaya, Sudah sepatutnya kita sebagai generasi penerus untuk melestarikan dan menjaga adat tersebut agar  selalu ada.(an)
Read More