6/27/2019

Tarian Meugrob dan Ikatan Persaudaraan Yang Tinggi Masyarakat Gampong Pulo Lueng Teuga

Foto : Masyarakat menarikan Tarian Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga, Kab Pidie

Aceh merupakan provinsi paling barat Indonesia yang mempunyai berbagai macam ragam seni budaya peninggalan Endatoe terdahulu. Seni-seni budaya itu hingga sekarang masih terjaga kelestariannya, seperti halnya sebuah kesenian yang terdapat di Kabupaten Pidie, yaitu Tarian Meugrob.Tarian Meugrob merupakan tarian yang gerakannya didominasi oleh gerakan kaki sehingga Tarian meugrob disebut seni hentakan kaki. Tarian Meugrob hingga sekarang belum diketahui secara jelas kapan pertama kali di lakukan dan siapa yang menggagasnya. 

Tarian Meugrob juga bisa dikatakan sebagai sebuah ritual keagamaan yang sudah menjadi budaya dan diekpresikan dalam bentuk seni gerak. Gerak-gerak tersebut diawali dengan posisi duduk dan di akhiri dengan posisi berdiri hingga berputar sambil meloncat–loncat diiringi dengan berzikir.

Foto : Masyarakat menarikan Tarian Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga, Kab Pidie 

Lebih jelasnya, Tarian Meugrob tersebut terdapat di Gampong Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga. Tarian Meugrob dilakukan hanya pada setiap malam menyambut hari Raya Idul Fitri, biasanya di mainkan oleh 20 penari dan 2 orang Syeh (Radat). Meugrob sendiri dilakukan secara serentak dan kompak sehingga mengeluarkan suara hentakan kaki sebagai irama penggiring. Tarian Meugrob pada dasarnya hampir sama dengan Tarian Seudati, terutama pada syair yang digunakan. Di Pidie sendiri pernah terdapat sebuah seni tari yang menyerupai Meugrob, namanya Tarian Hasan-husen, tapi masyarakat banyak yang menyebutnya sebagai tarian San-Usen. 

Syair yang sering dibacakan dalam Tarian Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga menggunakan syair-syair kekinian berupa shalawat kepada Nabi Muhammad SAW, serta pesan-pesan Tauhid dan pesan moral.

Foto : Masyarakat menarikan Tarian Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga, Kab Pidie 

Snouck Hurgronye pernah menulis praktek keagamaan yang disebut orang aceh dengan nama Meugrob.”Mula-mula mereka berkumpul dengan irama sedang, mendendangkan ayat-ayat yang memuja kebesaran Allah. Tetapi lambat laun irama tadi bertambah cepat sehinnga ayat-ayat yang tidak hentinya di ulang bertambah pendek. (Misalnya: hu Allah! Hu da’em! Hu! dan lain lainnya). 

Suarapun makin keras dan memekik, mereka yang berteriak-teriak dengan fanatik itu berkeringat karena kerasnya gerakan, kadang-kadang berdiri, kemudian duduk kembali, melompat-lompat dan menari-nari. Akhirnya banyak diantara mereka jatuh pingsan oleh karena banyak diantara mereka kegembiraan yang meluap-luap yang timbul dalam memikirkan sesuatu yang bersifat ketuhanan, menurut kehendak atau anggapan mereka masing-masing keadaan demikian itu oleh orang aceh dinamakan Do’), dan  bentuk ratip saman yang riuh dan rendah itu di beri nama Ratib Mensa atau Kuluhe’t”

Di Gampong Pulo Lueng Teuga Meugrob sendiri sudah menjadi ruang untuk mempererat persatuan dan kekompakan antara pemuda gampong dan perantau yang pulang kampung ingin melepaskan rindu di malam hari Raya Idul Fitri tersebut. Meugrob sendiri dilakukan secara bertahap mulai dari anak-anak hingga orang dewasa, hal ini bertujuan agar generasi selanjutnya bisa meneruskan tradisi Meugrob tersebut.

Foto : Masyarakat menarikan Tarian Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga, Kab Pidie 

Dalam gerakan Tarian Meugrob menggunakan beberapa simbol, Meugrob mempunyai banyak pengulangan dalam setiap gerakan, dalam Tarian Meugrob terdapat 10 macam gerakan yaitu Tienggong (Jongkok), Sinthop (Hentak), Tiekui (Merunduk), Chep-Chep (Hentak-Hentak), Grietan Apui (Kereta Api), Meugiek-Giek (Saling Berpelukan), Moto Teng (Mobil Tank), Meuayon (Berayun), Meulinggong-Linggong (Meliuk-Liuk), Meugiek Sira Meuwet (Berpelukan Sambil Berputar).

Beberapa simbol dalam Tarian Meugrob yaitu menggunakan garis gerak, garik tengah, kolom-kolom, delapan simbol arah, tiga simbol tingkatan, tiga simbol putaran, dua jarum dan simbol kunci. Hampir semua tarian meugrob menggunakan simbol tersebut. 

Itulah sedikit penjelasan tentang Tarian Meugrob yang ada di Kabupaten Pidie. Kita mengharapkan tarian yang telah berumur lama ini selalu terjaga dan semakin di lestarikan oleh masyarakat Gampong Pulo Lueng Teuga, agar anak cucu kita nanti kelak dapat mengetahui dan menyaksikan peninggalan leluhur tersebut.(zk)

Sumber:

Nanda Putri Zuhra, 2016. Notasi Tari Meugrob di Gampong Pulo Lueng Teuga, Kecamatan Glumpang Tiga, Kabupaten Pidie, Jurnal Ilmiah Mahasiswa Program Studi Pendidikan Seni Drama Tari Dan Musik Unsyiah.

Azhari Meugit, 2017. Pembuat Film Dokumenter Meugrob. 

Snouck Hurgronye, Aceh di Mata Kolonial jilid I

Ketua Pemuda Gampong Pulo Lueng Teuga. Tokoh Masyarakat.
Read More

6/08/2019

Masjid Tuha Dayah Bubue

Foto : Masjid Tua Dayah Bubue, Kec Peukan Baro, Kab Pidie

Masjid Tuha Dayah Bubue, terletak di Dayah Bubue Kecamatan Peukan Baro Kabupaten Pidie. Masjid ini berusia lebih kurang ratusan tahun lebih, didirikan oleh seorang ulama yang menganut tarekat Rifa’iyah. Hal ini diketahui berdasarkan dari hasil pengamatan yang ditemukan pada sisi bangunan masjid tersebut. Di bagian “bara” terdapat tulisan tauhid dan tertulis satu kalimat yang berisi Ahmad Rifa’i. (sumber: Lueng Putu Manuskrip).

 
Foto : Masjid Tua Dayah Bubue, Kec Peukan Baro, Kab Pidie 

Masjid ini merupakan salah satu masjid yang mengandung nilai sejarah tinggi yang ada di Kabupaten Pidie. Sekarang, keberadaannya sudah terabaikan. Kondisinya sangat memprihatinkan dan sudah tidak terawat sepenuhnya, hanya atapnya yang telah di ganti dengan seng. Di sisi lain masjid dengan bahan dasar kayu tersebut sudah mulai lapuk, itu terlihat dari dinding-dindingnya serta penompang atapnya.

Di depan masjid terdapat sebuah sumur dan kolam. Pada sisi sumur terdapat sebuah penjelasan yang menerangkan tahun pembuatannya yaitu “17 hari Bulan Safar tahun 1343 H dibuat oleh Tgk Hasan”. Kolam berukuran 2x4 m itu digunakan sebagai kulah tempat mengambil wudhu’. Masjid tua ini menjadi bukti bahwa Islam telah tumbuh dan berkembang dengan pesat di kawasan itu pada masa lampau.

 
Foto : ukiran kaligrafi yang terdapat pada tiang penyangga Masjid Tua Dayah Bubue

Untuk menuju ke Masjid Tuha tersebut, dari simpang gudang kurnia Lampoh Saka bisa di tempuh dengan perjalanan selama beberapa menit karena hanya berjarak lebih kurang 200 m dari lintas jalan nasional. Setelah itu, akan dijumpai jalan bebatuan di sebelah kanan. Jalan bebatuan inilah yang akan menuntun ke Masjid Tuha Dayah Bubue. Inilah jalan satu-satunya yang memang khusus untuk menuju ke masjid tersebut, jaraknya lebih kurang 500 m.

Menurut Nek Minah (75), mengatakan bahwa beliau pernah mendengar bahwa masjid tersebut dulunya terletak di Keumangan, tetapi di pindahkan ke Dayah Bubue oleh seorang ulama beserta murid-muridnya. Tidak diketahui oleh Nek Minah nama dari ulama tersebut.

 
Foto : ukiran kaligrafi yang terdapat pada tiang penyangga Masjid Tua Dayah Bubue

Sedikit penjelasan tentang Tarekat Rifa’iyah. Tarekat Rifa’iyah khususnya pertama kali muncul dan berkembang di Irak bagian selatan. Pendirinya bernama Abul Abbas Ahmad bin Ali Ar-Rifa’I atau yang lebih di kenal dengan sebutan Ahmad Rifa’I. Beliau lahir di Qaryah Hasan, dekat Basrah, Irak bagian selatan tepatnya pada tahun 500 H (1106 M). Ada juga sumber menyatakan beliau lahir pada tahun 512 H (1118 M).

Tarekat Rifa’iyah juga tersebar di beberapa Negara seperti Turki, Eropa Timur, Kaukasus, Amerika Utara dan Indonesia. Di Indonesia sendiri tarekat ini berkembang sekitar abad ke-6 dan 7 H, salah satunya di Aceh dengan sebutan Rafa’I yang memiliki makna tabuhan rebana yang berasal dari perkataan pendiri dan penyiar tarekat ini.

 
Foto : sumur yang terdapat di depan Masjid Tua Dayah Bubue (1343 H)

Itulah sedikit ulasan singkat tentang Masjid Tuha Dayah Bubue dan Tarekat Rifa’iyah. Kepada pemerintah setempat kami berharap agar situs sejarah yang sangat bernilai seperti ini di jaga dan di rawat dengan baik. Jangan sampai hilang bukti sejarah sehingga generasi kedepan buta akan sejarah bangsanya sendiri.(zk)

 
Foto : ukiran kaligrafi yang terdapat pada tiang penyangga Masjid Tua Dayah Bubue


 
Foto : nisan Aceh Darussalam abad ke-17 yang terdapat di depan Masjid Tua Dayah Bubue
Read More