8/25/2019

Menilik Biografi Singkat Tgk Muhammad Daud Beureueh


Tgk Muhammad Daud Beureueh di lahirkan di Gampong Beureueh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie tepatnya  pada tanggal 17 Jumadil Awal 1317 H/23 September 1899 M. Ayahnya bernama Teungku Ahmad, merupakan seorang Geusyik (Kepala Desa) di Gampong Beureueh, sedangkan ibunya bernama Aminah. Kakek dari Teungku Muhammad Daud Beureueh merupakan seorang keturunan raja Pattani Darussalam (bagian dari negara Thailand). Nama beliau adalah Haji Muhammad Adamy.

Setelah beranjak dewasa, Teungku Muhammad Daud Beureueh menikahi seorang wanita yang merupakan istri pertamanya bernama Cut Halimah (Usi). Cut Halimah ini sendiri merupakan perempuan janda anak saudara kandung dari ayahnya sendiri. Dari perkawinannya itu, beliau di karunia tujuh orang anak, yaitu Hj. Siti Maryam, Tgk H M. Hasballah, Hj Saidah, Hj Raihana, Tgk H Musthafa, Tgk Saifullah, dan Tgk H Ma’mun. Sementara dari pernikahan yang kedua dengan Teungku Asma (dari Paleue) pada tahun 1928, beliau kembali di karuniai tiga orang putra, dan pada perkawinan ketiga dengan Hj Asiah, beliau dianugerahi seorang putra yaitu Tgk H Ruysdi, sehingga seluruhnya berjumlah sebelas orang anak.

Foto : Rumoh Aceh Tgk Muhammad Daud Beureu'eh, Kec Mutiara, Kab Pidie

Sama halnya dengan para ulama yang berasal dari Aceh lainnya, Teungku Muhammad Daud Beureueh juga menimba ilmu pengetahuan melalui jalur pendidikan di lembaga formal dan nonformal. Namun, beliau banyak menempuh pendidikan dari dayah tradisional di kampungnya sendiri, padahal ketika itu telah didirikan berbagai sekolah oleh Belanda, seperti Volkschool, Holland Inlandsche School dan lain-lain. Pada pendidikan formal, Teungku Daud Beureueh pernah belajar di Governement Inlandsche School di Seulimum. Untuk menambah wawasan imunya, beliau lebih banyak belajar dari pengalaman guru-gurunya di dayah secara otodidak.

Membicarakan kiprah Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam dunia pendidikan, politik, dan organisasi, tidak mungkin dilakukan secara singkat mengingat nama beliau sangat jelas tertulis dengan tinta emas dalam sejarah di Republik Indonesia. Beliau merupakan seorang ulama dan pejuang yang sangat disegani, baik oleh teman-temannya maupun tokoh-tokoh nasional.

Kiprahnya dalam dunia pendidikan sangatlah besar meskipun untuk mencurahkan ilmunya tidak melalui wadah pendidikan formal. Akan tetapi, setiap alam pemikirannya dan fatwa yang di ucapkannya di dengar dan diteladani oleh masyarakat Aceh khsusunya dan rakyat Indonesia pada umumnya. Beliau mengembangkan sistem baru dalam dunia pendidkan di mana pendidikan juga merupakan wadah bagi organisasi-organisasi pendidikan dan kemasyarakatan.


Salah satunya adalah PUSA. PUSA merupakan organisasi yang didirikan atas dasar perlunya suatu wadah para ulama dalam mempersatukan pemikiran terhadap kelangsungan hidup negeri ini. Cikal bakal terbentuknya PUSA merupakan penggabungan dari beberapa organisasi ,seperti Jamiyah Diniyah, Jamiyah Hasbiyah, Jamiyah Madaniyah, Jamiyah Najdiyah, Jamiyah Khairiyah dan sebagainya.

PUSA awalnya bergerak dalam bidang pendidikan, sosial keagamaan, sementara kegiatan politiknya sendiri sangatlah terselubung. Pada kongres seluruh ulama yang di adakan di Matang Glumpang Dua tahun 1939 didirikanlah PUSA sekaligus  mengangkat Teungku Muhammad Daud Beureueh sebagai ketua umum. Kemampuan luar biasa yang di miliki oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh dalam memimpin organisasi baru ini menyebabkan PUSA dalam waktu singkat tumbuh menjadi organisasi besar dan sangat berpengaruh.


Setahun setelah kongres pertama dilaksankan, pada tahun 1940 di Kuta Asan, Sigli, organisasi PUSA di lengkapi dengan gerakan pemuda yang bernama Pemuda PUSA, dan organisasi muslimatnya yang bernama Muslimat PUSA. Kemudian juga didirikan juga sebuah organisasi kepanduan (Pramuka) yang bernama Kepanduan Islam atau Kasysyafatul Islam.

Gerakan PUSA sendiri terdiri atas tiga tempat, yang pertama PUSA sendiri berpusat di Sigli di bawah pimpinan Teungku Muhammad Daud Beureueh dan sekretarisnya Teuku Muhammad Amin. Kedua di Idi sebagai pusat dari Pemuda PUSA di bawah pimpinan Teungku Amir Husin Al-Mujahid sebagai ketua umum dan sekretaris Teungku Abubakar Adamy. Sedangkan yang yang ketiga Kasysyafatul Islam bermarkas di kota Bireun di bawah pimpinan Abdul Gani Usman (Ayah Gani) sebagai ketua kwartir besar.

Setelah perang asia timur raya pecah, PUSA mengambil satu kebijakan politik yang amat penting, yaitu tidak bekerja sama dengan Belanda dalam menghadapi Jepang, tetapi kesempatan ini justru di pergunakan untuk melawan kekuasaan Belanda yang mulai goyah. Para pemimpin PUSA dan para pemimpin Pemuda PUSA mengorganisir gerakan bawah tanah untuk memimpin perlawanan. Perlawanan tersebut pertama kali pecah di Seulimum yang di pimpin oleh Teungku Haji Hasballah Indrapuri, Teungku Abdul Wahab Seulimum dan rekan-rekannya. Kemudian perlawanan di Sigli di pimpin oleh Teungku Muhammad Daud Beureueh sendiri, selanjutnya di Aceh Barat di pimpin oleh Teuku Sabi Lageun.

Setelah proklamasi kemardekaan Indonesia 17 agustus 1945 rakyat Aceh di bawah pimpinan Teungku Daud Beureueh dan ulama-ulama lainnya mempertahankan kemerdekaan Indonesia dengan bergabung bersama API (Angkatan Pemuda Indonesia), ini merupakan cikal bakal terbentuknya tentara nasional indonesia di Aceh yang di bentuk oleh Syamaun Gaharu.


Teungku Daud Beureueh pada saat itu tergabung dalam divisi Teungku Chik di Tiro, sebuah organisasi mujahidin. Selain itu, ada dua divisi lain yang berdiri, yaitu divisi Rencong dan divisi Payabakong. Untuk menggabungkan kekuatan ini agar bekerja sama, Teungku Muhammad Daud Beureueh di angkat menjadi Gubernur militer Langkat dan Tanah Karo, di bawah kepemimpinannya di bentuklah TNI di Aceh.

Berbagai kebijakan politik yang di ciptakan oleh pemerintah pusat menyebabkan keguncangan-keguncangan di beberapa daerah di Indonesia, termasuk Aceh. Rasa kecewa rakyat Aceh karena merasa tidak dihargai atas apa yang telah di korbankan demi kemerdekaan negara Indonesia menyebabkan terjadinya pergerakan pada tahun 1953 yang di kenal dengan peristiwa DI/TII. Peristiwa ini menjadi catatan sejarah penting yang dilakukan ulama Aceh setelah kemerdekaan Indonesia. Para pengamat politik mengakui bahwa pada tahun awal-awal kemerdekaan Indonesia, Aceh adalah daerah modal. Oleh karena itu, gerakan DI/TII di anggap unik.

Daerah aceh hingga 1 januari 1950 menjadi provinsi yang mempunyai status otonom, namun status ini hanya bertahan kurang dari satu tahun. Hal ini di sebabkan pemberian kekuasaan kepada Syarifuddin Prawiranegara menurut UU Nomor 2 tahun 1949, oleh pemerintah di maksud apabila terjadi kegagalan dalam Konferensi Meja Bundar (KMB), maka aceh bebas dari pendudukan Belanda. Atas dasar kekuasaan yang di berikan tersebut, Syafruddin Prawiranegara membagi provinsi Sumatra Utara menjadi Keresidenan, yaitu Aceh dan Tapanuli (Sumatra Timur), dengan kondisi Aceh kembali bergabung dengan provinsi Sumatra Utara maka timbul berbagai tuntutan untuk menjadi daerah otonomi lagi.

Foto : Masjid Baitul A'la Lilmujahidin, Baroh Yaman, Kec Mutiara, Kab Pidie 

Sementara itu, terjadi ketegangan antara PUSA denagn Badan Kelaskaran Rakyat (BKR). Pada kongres alim ulama seluruh Indonesia di Medan, diputuskan untuk mempertahankan supaya dalam pemilu yang akan datang negara RI menjadi negara Islam. Untuk menarik simpati rakyat, Teungku Daud Beureueh mensosialisasikan hasil kongres di Medan keseluruh pelosok Aceh. Dalam suasana ketegangan ini, Teungku Muhammad Daud Beureueh  akhirnya memproklamirkan bahwa Aceh bagian dari negara Islam Indonesia yang selanjutnya di kenal dengan peristiwa DI/TII.

Konflik yang berlangsung dari tahun 1953 berakhir di tahun 1959 yang di selesaikan dengan perundingan-perundingan, baik di pihak RI maupun DI/TII. Pemerintah pusat pada saat itu menyadari kekeliruan yang di lakukan dengan status Aceh menjadi provinsi daerah istimewa Aceh, DI/TII beserta kaum ulama dan pendukungnya kembali kepangkuan RI.

Foto : Makam Tgk Muhammad Daud Beureu'eh di depan Masjid Baitul A'la Lilmujahidin, Baroh Yaman, Kec Mutiara, Kab Pidie 

Teungku Daud Beureueh berpulang kerahmatullah pada rabu 14 Zulqaidah 1407 H atau 10 Juni 1987 dan di makamkan dengan sederhana sesuai permintaan beliau di kampung halamannya di Beureueh, Kecamatan Mutiara, Kabupaten Pidie. Itulah sedikit penjelasan singkat tentang sosok ulama serta pejuang yang terkenal di Aceh. Nama beliau masih di abadikan hingga sekarang. Semoga kedepannya banyak melahirkan sosok seperti beliau dalam generasi Pidie khusunya, dan Aceh pada umumnya.(ma)

Sumber :
1. Pesan - Pesan Edukatif Tgk. Muhammad Daud Beureu'eh. Oleh Mahmud Saleh.
2. Daud Beureu'eh : Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak oleh Tempo.
3. Teungku Muhammad Daud Beureu'eh Bapak Darul Islam Dan Bapak Orang-orang Aceh. Oleh Suara Hidayatullah edisi Juni 1999.
4. Bukan Salah Daud Beureu'eh (Serambi Opini, 10 Desember 2010) Oleh Khairil Miswar
Read More

8/05/2019

Keubeu Weng Penggiling Manisan Tradisional Dari Pidie

Foto : Proses pembuatan tebu menjadi air meulisan, Gampong Kuthang, Mukim Kambhuek, Kec Mutiara Timur, Kab Pidie

KABUPATEN PIDIE menyimpan ragam pesona alam yang indah, di tanah kelahiran Teuku Chik Di Tiro ini juga dapat kita temui perangkat jadul untuk mengolah tebu menjadi air meulisan yang kental.

Meulisan adalah air tebu yang dimasak lama hingga mengental dan biasanya sering digunakan dalam berbagai makanan seperti lincah busu (rujak Aceh) yang sangat terkenal di Pidie. Pengolahan tebu menjadi meulisan dilakukan dengan cara sangat tradisional, yaitu dengan mengandalkan seekor kerbau yang berputar menarik mesin penggiling.

Dalam bukunya C. Snouck Hurgronje Orang Aceh menjelaskan sebagai dasar dari alat membuat malisan tradisional ini adalah gelondongan kayu besar, di atas kayu besar ini di letakkan secara berdampingan dua tangkai berbentuk melingkar ke atas (weng), dua tangkai ini di pegang dengan dua palang horizontal (blida) yang di pasang dengan sudut elevasi tertentu. Kekuatan palang kayu ini didukung oleh pilar-pilar di atasnya (tameh blida). Di atas palang kayu di kedua tangkai di pasang gigi dan penjepit yang menghasilkan gerakan memutarkan kedua tangkai tersebut secara bergantian.

Salah satu dari kedua tangkai tersebut (weng agam) lebih panjang di bandingkan tangkai yang lain (weng inong), hingga memungkinkan tangkai melengkung (woe-woe) di pasang pada weng agam. Tangkai ini, yang melengkung ke bawah di putar-putar oleh kerbau, dan tentu saja tangkai yang lain akan bergerak ke arah sebaliknya.

Pada titik ketika tebu di masukkan di antara kedua tangkai tersebut sampai mengeluarkan airnya, dua palang kayu paralel di pasang horizontal di sekitar tangkai-tangkai di atas. Ini disebut dengan sisir (suri), dan digunakan untuk menahan tebu, yang di peras di antara keduanya, agar tetap berada di antara kedua tangkai tersebut. Ketika tebu di peras di antara tangkai-tangkai yang berputar tersebut jatuh kedalam saluran di bawah tangkai, airnya mengalir menuju belanga yang terbuat dari tanah liat (pasu).

Bergerak dari Kota Sigli perjalanan menghabiskan waktu sekitar 25 menit menuju ke sebuah desa, disepanjang perjalanan akan terlihat gubuk-gubuk gudang produksi garam, pemandangan perkampungan yang masih tampak asri dan hamparan sawah hijau serta irigasi menjadi teman perjalanan.

Di Desa Kuthang, Mukim Kambhuek, di sana terdapat tempat penggilingan tebu tradisional menggunakan tenaga kerbau yang disebut masyarakat setempat dengan nama “Keubeu Weng” . 

“Keubeu weng atau meuweng keubeu” adalah sebutan masyarakat setempat untuk proses pemerah sari tebu yang nantinya akan dijadikan sebagai Meulisan.

Foto : Proses pembuatan tebu menjadi air meulisan, Gampong Kuthang, Mukim Kambhuek, Kec Mutiara Timur, Kab Pidie 

Sejak pertama menikah, pasangan Abu Bakar (80) dan Umi Khadijah (77) menjadikan pekerjaan ini sebagai mata pencaharian utama untuk menghidupi keluarga. Kulit keriput yang termakan usia tak menghambat keduanya untuk terus menggeluti pekerjaan Meu Weng Keubeu.

Fajar menyising menjadi petanda bahwa pekerjaan harus segera dimulai, keduanya bergegas memanen tebu yang sudah siap untuk diperas esok harinya. Sementara Umi Khadijah yang kerab disapa Mak Jroe dengan sigap membantu mengangkat tebu-tebu yang sudah dipanen lalu menjemurnya.

Sudah menjadi rutinitas wajib bagi keduanya untuk memandikan kerbau di sungai sebelum melakukan pekerjaan “meu weng”. Hal ini dilakukan untuk menjaga agar hewan yang sudah menemani mereka selama 5 tahun ini melakukan pekerjaannya sesuai arahan, rutinitas memandikan kerbau dilakukan sehari tiga kali.

Foto : Proses pembuatan tebu menjadi air meulisan, Gampong Kuthang, Mukim Kambhuek, Kec Mutiara Timur, Kab Pidie 

Setelah dibersihkan kerbau terlebih dahulu diberikan asupan energi. Kemudian hewan memamah biak ini dipakaikan penutup mata dan tali kekang oleh Abu Bakar yang disambungkan ke mesin pemerah tebu. di sisi lain, Mak Jroe mengumpulkan kembali tebu yang sudah dijemur kemarin. 

 “Jika sudah dijemur seperti ini tebu sudah siap untuk diperas sarinya,” ucap Mak Jroe.

Setelah semuanya selesai, Mak Jroe mulai memasukkan satu persatu batang tebu dan memerintahkan kerbau untuk melakukan pekerjaannya.

Jak laju meutuwah” (jalan terus kesayangan)," perintah Mak Jroe kepada hewan kesayangan yang sudah dianggapnya seperti anak sendiri, lalu kerbau tersebut langsung bergerak seolah-olah memahami betul perintah dari majikannya ini.

Foto : Proses pembuatan tebu menjadi air meulisan, Gampong Kuthang, Mukim Kambhuek, Kec Mutiara Timur, Kab Pidie 

Layaknya jarum jam yang sedang bekerja, kerbau mulai berkeliling dengan mata tertutup untuk memerah sari tebu, air tebu turun perlahan di tempat penampungan. Bila mana terdengar olehnya suara hentakan kaki manusia atupun kendaraan seketika kerbau berhenti untuk berkeliling, melihat hal tersebut Mak Jroe membimbing lagi si sumber mata rezekinya. 

“Ooe kakapeugot lage, kajak ju meutuwah kajak laju (jangan bertingkah, berputarlah lagi)," ujar Mak Jroe sembari memasukkan tebu kedalam mesin penggiling.

Setelah semua proses mulai dari mengumpulkan batang tebu, membersihkan dan memeras. Sari tersebut dituangkan ke dalam kuali berukuran besar yang telah diletakkan diatas tanah berbentuk tungku , mereka menggunakan bebrapa kayu dan ampas tebu untuk bahan bakar.

Foto : Proses pembuatan tebu menjadi air meulisan, Gampong Kuthang, Mukim Kambhuek, Kec Mutiara Timur, Kab Pidie 

Api membesar membantu proses pemasakan, sari tebu kian mendidih senada dengan lihainya tangan Mak Jroe yang sibuk menarik beberapa ampas tebu yang belum disaring tadi menggunakan daun tebu yang bersih.

Proses pemasakan tebu berkisar sekitar 7 sampai dengan 8 jam, ketika air sudah mengental dan warna kian berubah kecoklatan, mereka memasukkannya ke dalam kaleng bekas kue.

Dari proses yang rumit sekaligus memakan waktu yang tidak sedikit, manisan hanya terkumpul satu kaleng mentega, satu kaleng meulisan dihasilakan dalam proses tiga dan dalam waktu sebulan mereka mengumpulkan 10 kaleng meulisan. Perkaleng dijual seharga Rp.350.000. hasil yang tebilang cukup membuat asap dapurnya mengepul.

Di usianya yang telah senja, Abu Bakar dan Mak Jroe setia meu weng bersama kerbau kesayangannya yang ia pelihara dengan telaten. Keube Weng milik Abu Bakar menjadi saksi terpeliharanya tradisi lokal di saat serbuan mesin teknologi pertanian semakin canggih menggeser mesin-mesin jadul.(am)
Read More