3/25/2022

Negeri Meureudu dan Kuta Batee

Foto : Salah satu menara benteng Kuta Batee yang kondisinya sekarang telah rusak berlokasi di Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya.


Sejak Sultan Iskandar Muda naik tahta tahun 1607, telah terjadi perubahan-perubahan besar untuk kemajuan negeri. Programnya selain menstabilkan politik juga memberi prioritas pada kemajuan perekonomian, karena dalam kenyataan bahwa sumber hasil bumi dari Aceh pada saat itu menjadi rebutan bangsa eropa. Wilayah kekuasaan kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda meliputi, sebelah timur sampai ke Tamiang dan sebelah barat sampai ke Natal, Pasaman Tiku, Pariaman, Salida dan Indra Pura hingga Semenanjung Malaka.


Menurut catatan sejarah, Sultan Iskandar muda sepanjang pemerintahannya sangat mengistimewakan negeri Meureudu, pernah suatu ketika perjalanan Sultan Iskandar Muda yang mengendarai gajah atau disebut pasukan armada gajah dari Pidie menuju Malaka sampai berhari-hari tidak mau meranjak, sebelum sultan bertemu dengan ulama besar Teungku Japakeh ahli strategi perang dan Teungku Malem Dagang panglima perang yang gagah berani. Kemudian secara khusus sultan terus membina hubungan dengan pemuka dan masyarakat Meureudu.


Setelah Sultan Iskandar Muda kembali dari penaklukan Johor, Pahang dan Malaka. Beliau mengangkat pejabat sementara Teungku Chik di negeri Meureudu, putra bungsu Meurah Ali Thahir yang bernama Meurah Ali Husin (Po Raja Chik) pada tahun 1636. Kemudian pada tahun 1640 Sultan Iskandar Tsani (pengganti Sultan Iskandar Muda) mengangkat Teungku Chik di Meureudu untuk menjabat sebagai pimpinan pemerintahan, putra sulung dari Meurah Ali Husin bernama Meurah Johan Mahmud dengan pangkat Teungku Chik Sri Muda Pahlawan negeri Meureudu beliau adik dari permaisuri Sultan Muzhaffar Syah yang bernama Cut Nyak Dewi Laila Kulstum binti Meurah Ali Ya’cub dan seterusnya.


Foto : Benteng Kuta Bate di Gampong Manyang lancok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya.


Negeri Meureudu di bawah kekuasaan sultan Aceh di kenal dengan istilahnya naggroe bibeuh (Negara Bebas), di mana penduduknya dibebaskan oleh sultan dari berbagai beban dan kewajiban, dan kepala pemerintahan setempat di luar negeri Meureudu tidak boleh campur tangan terhadap mereka. Negeri Meureudu hanya mempunyai kewajiban istimewa membantu sultan Aceh untuk menyediakan bahan makanan pokok berupa beras karena negeri ini pada masa itu adalah gudang beras. 


Teungku Chik Meureudu Meurah Johan Mahmud membina daerah pemerintahan negeri Meureudu dengan bimbingan Teungku Japakeh dan Panglima Malem Dagang yang terlebih dahulu telah bermukim di negeri Meureudu dan sekitarnya. Selama pemerintahannya selalu meminta petunjuk dari pada para ulama dan penghulu adat serta cendikiawan (Hukama’) seperti Teungku Japakeh, Panglima Malem Dagang, Teungku Meurah Puteh, Teungku di Pucok Krueng Beuracan atau Teungku Salim dan lain-lainya.

Dalam menjalankan hukum Islam dan adat Aceh yang bersandikan syariat Islam. Pemerintahannya adalah dimasa Sultan Iskandar Tsani (1638-1641) dan Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin Syah (1641-1675). Di dalam kamus Al-asyi pada pasal satu diterbitkan “apabila ulee balang sebuah negeri tidak menuruti hukum maka sultan memanggil Teungku Chik Sri muda pahlawan raja negeri Meureudu, menyuruh pukul ulee balang negeri tersebut atau di serang kenegeriannya dan diberhentikan atau di usir, segala pohon tanamanya dan harta serta rumahnya dirampas.


Foto : Mesjid Kuta Batee yang dulunya sebelum pembangunan masjid baru terdapat mesjid tua yang merupakan sebagai tempat pemberhentian Sultan Iskandar Muda saat menunggu Tgk Japakeh dan Malam degang sebelum menyerang Negeri Malaka.


Yang menarik dari kutipan adat meukuta alam ialah bahwa masyarakat Meureudu sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan masyarakat yang loyal kepada pemerintah serta sangat setia kepada pemimpinnya dengan kesedian mereka menjalankan peraturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah kesultanan.


Selain loyal terhadap kesultanan kenegerian meureudu juga diberikan dan hak-hak istimewa. Hal ini disebabkan karena kawasan tersebut menjadi salah satu lumbung pangan untuk penduduk seluruh Kesultanan Aceh Darussalam. Jauh sebelum kesultanan aceh memerintah, para ulama yang menyebarkan agama Islam kedaerah ini langkah pertama membebaskan penduduk dari kesulitan hidup adalah membuka area pertanian untuk sawah dan padang gembala. Sebagai contoh antara lain ditunjukkan oleh Teungku di Pucok Krueng Beuracan atau Ja Salim dan teungku Ja Pakeh yang kelak menjadi salah seorang penasehat militer kesultanan dalam melawan Portugis di Pahang dan Malaka Semenanjung Malaysia. Negeri Meureudu karena didiami sejumlah ulama dari keturunan Saidil Mukammil (Alaidin Ri’ayat Syah) yakni sultan kedua memperoleh hak-hak istimewa antara lain bebas dari pengutipan pajak.


Sebelumnya diceritakan seandainya masyarakat Meureudu tidak tertipu, pusat Kesultanan Aceh Darussalam akan berada di Meureudu. Peristiwa ini terjadi tatkala sultan pada suatu ketika bertitah untuk membuat sebuah benteng di sisi sungai Meureudu, hal ini di karenakan saat pengujian air didapatkan air sungai mereudu lebih jernih, namun pada saat semple di bawa ke kesultanan di Bandar Aceh sebenarnya hasil dari uji tersebut air sungai Meureudu lebih berat tetapi karena pada punggung botol yang berisi air sungai Krueng Aceh telah lebih dulu diletakkan uang logam sehingga air sungai Krueng Aceh naik timbangannya, dengan demikian sultan memutuskan bahwa pusat kesultanan tetap di Bandar Aceh Darussalam.


Seiring dengan wacana perpindahan pusat kesultnan ke kenegerian Meureudu di buatlah sebuah benteng pertahanan disisi sungai Meureudu tepatnya di mukim Manyang, pembuatan telah dikerjakan sebahagian bahkan pusat pemerintahan seperti mahligai sultan. Benteng sendiri terbuat dari batu air yang diikat dengan putih telur yang diaduk dengan tepung sebagai pengganti semen. Selain itu disisi kanan benteng juga dibagun sebuah masjid yang sekarang di kenal masjid Kuta Batee.


Kondisi benteng saat ini telah mengalami kerusakan parah akibat banjir sehingga terjadi pengikisan,bahkan dinding benteng yang dekat dengan sungai telah roboh. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus dari pihak terkait untuk melindungi benteng tersebut dari kerusakan yang lebih parah.(an)

 


Read More

3/05/2022

Syaikhuna Muhammad Syafi’i (Teungku Syik Paya Asan)

 

Foto : Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.


Islam telah menjadi sebuah agama resmi di Kesultanan Aceh masa lalu, seperti Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Perlak, Kesultanan Pedir, dan Kesultanan Aceh Darussalam. Agama ini di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari di bawah pengentrolan kesultanan sehingga Islam terefleksi dalam sistem budaya masyarakat (Said, 1961 ; 36).


Dalam berbagai kajian antropologis, penduduk yang tinggal di Aceh selalu di gambarkan sebagai sebuah masyarakat yang sangat kental dengan keyakinan agama Islam (weekes, 1984 ; 21). Gambaran ini di bangun atas dasar bahwa sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh amat di pengaruhi oleh ajaran Islam. Banyak ulama menduduki posisi strategis dan signifikan dalam struktur social kehidupan masyarakat (Gellner, 1995).  


Sejak periode awal penyebaran Islam di nusantara hingga masa kini ulama merupakan pemimpin informal masyarakat dan selalu berdampingan dengan posisi pemimpin formal. Bahkan, pada masalah tertentu, ulama Aceh di pandang sebagai pemimpin formal masyarakat, hal ini terlihat pada peran yang di mainkan oleh mereka dalam menggerakkan rakyat Aceh untuk menghadapi penjajah Belanda (Alfian, 1987 ; 1995 ; Amiruddin, 1994).


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tahun wafat Beliau.


Seperti halnya Syaikh Muhammad Syafi’i, Beliau adalah seorang tokoh ulama sufi yang hidup pada abad ke-19. Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, kira-kira berjarak 15 km dari pasar Padang Tiji ke arah Kunyet. makam terletak di atas bukit dengan akses jalan licin dan sedikit menanjak, sekeliling makam juga terdapat makam lainnya salah satunya makam Teungku Manyang atau yang lebih dikenal oleh  masyarakat daerah tersebut sebagai pengawal Teungku Syik Paya Asan.


Makam Teungku Syik Paya Asan tertutup oleh sebuah cungkup yang berbentuk rumah di penuhi ukiran dan kaligrafi. Perkiraan beliau wafat pada tahun 1298 H / 1881 M seperti yang disebut pada kaligrafi di atas pintu masuk makam beliau “Qad Wafa Syaikhuna Wa…Wa Imamuna Syaikh Muhammad Syafi’i….sanah 1298 H”.


Selain itu, sudut belakang makam pada tulisan kaligrafi menjelaskan “Abdullah Sayyid Hadharat Muhammad Saman Abdul Kabir….. Syatariah Talqin”, belum jelas apa yang di maksud dari tulisan tersebut. Namun bisa disimpulkan  bahwa beliau pengikut dari tarikat “Syatariah”. Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang memopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah Asy-Syattar.


Tak seperti penyebaran tarekat lainnya yang dilakukan seorang mustyid (guru), dari masjid ke masjid, dan majelis taklim ke majelis taklim, penyebaran Tarekat Syattariyah justru menyebar ke berbagai pelosok nusantara melalui jalur atas, kalangan masyarakat elite, yakni istana.


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tarikat "Syatariah".


Tarekat Syattariyah di Indonesia dibawa oleh Syekh Abdurrauf Singkili ulama asal Aceh. Keilmuan dan ketokohannya membuat Ratu Shafiyyatu Ad-Din, yang memerintah Kesultanan Aceh kala itu tahun 1641-1675 tertarik untuk mendapatkan pelajaran agama dari Syekh Abdurrauf Singkili. Ratu ini pun memintanya untuk menuliskan sebuah buku yang menjelaskan tentang tarekat Syattariyah, lalu Syekh Abdurrauf Singkili  menulis buku dengan judul At-Tariqatu Asy-Syattariyyah.


Sang Ratu juga meminta kepada Syekh Abdurrauf agar membimbingnya dalam menjalankan disiplin tasawuf, permohonan itu lantas ia sanggupi setelah terlebih dahulu Syekh Abdurrauf melakukan shalat istikharah  agar memperoleh petunjuk dari Yang Mahakuasa. Keterlibatan Ratu Shafiyatu ad-Din dalam aktivitas Tarekat Syattariyah akhirnya memperkuat kedudukan ajaran tarekat itu dalam istana.


Sebagaimana dicatat oleh Ahmad Syafii Mufid dalam bukunya Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Tarekat Syattariyah masuk ke Nusantara pada 1665 M. Diterimanya tarekat ini oleh masyarakat Aceh, tidak lama setelah Kesultanan Aceh menolak ajaran Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsudin Sumatrani, dengan paham wujudiyah, yang mengajarkan konsep wihdatul wujud (penyatuan jiwa dengan Tuhan).(an)


Read More