2/25/2022

Teungku Syik di Tambon Dalam Sejarah Aceh

Foto : Makam Teungku Syik di Tambon Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.


Sumber-sumber sejarah mengenai islamisasi di Nusantara sangat sedikit, secara keseluruhan catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dengan beragam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke-7 Masehi. 


Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 dan Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-13 Masehi. Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk, ada yang mengatakan di Jaya, dan ada juga yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).


Menurut Ali Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi, Kerajaan Perlak mempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua, para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke Lingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim disana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting lainnya di Sumatera Utara  adalah Samudera.


Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam yang datang dari Arab dan Persia sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam pada saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 ketika terjadi penyerangan oleh Portugis, sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu Sultan Ali Mughayatsyah membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai kemudian mempersatukan dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524.


Foto : Nisan makam Teungku Syik di Tambon tipologi Aceh Darussalam abad ke-17 dengan bahan utama batu kapur.


Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran Islam mulai abad 16 hingga 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke-17.  Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan hubungan diplomatik  dengan ulama dari Arab, Persia, India dan Turki hingga  terjalin hubungan dalam pengembangan keilmuan di Aceh. Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan Dakwatul Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan.


Kesultanan Aceh memiliki hubungan diplomatik dan pengembangan ilmu pengetahuan yang begitu erat dengan Turki Usmani terutama sejak abad ke-16. Aceh beberapa kali mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan militer dengan mengangkut komoditas dagang terutama lada untuk dipersembahkan kepada sultan Turki. Bahkan Aceh pernah mengajukan diri menjadi vasal atau negeri di bawah perlindungan Turki yang ketika itu merupakan imperium terkuat di dunia. Sultan Selim II merespons permintaan bantuan dari Aceh. Turki mengirimkan instruktur, prajurit, dan senjata ke Aceh untuk melawan Portugis.


Pasukan Turki pertama yang tercatat diupayakan pada 1537 dan 1538. Namun, mereka kemungkinan tentara bayaran karena menerima imbalan sebanyak empat kapal lada. Pasukan Turki juga terlihat dalam serangan Aceh ke Malaka pada 1547. Bantuan resmi pertama dari Turki yang diusahakan oleh utusan Aceh datang pada 1564 kemudian tahun 1568 untuk melawan Portugis. Makanya tidak heran banyak dari ulama dan pasukan Turki yang menetap di Aceh dan menikahi wanita Aceh. 


Salah satunya Teungku Syik di Tambon beliau diyakini sebagai salah seorang ulamaTurki yang hijrah ke Aceh dalah misi kerjasama. Lalu menetap di pesisir barat Bandar Pedir dan mengembangkan dakwahnya di daerah tersebut hingga beliau wafat. Makam Teungku Syik di Tambon terletak di gampong Kule, Kecamatan Bate, Kabupaten Pidie, kira-kira  berjarak 10 km dari pasar grong-grong.


Foto : Dawai atau benteng dengan bahan dasar batu kapur mengelilingi cungkup makam Teungku Syik di Tambon.


Makam Tengku Syik di Tambon telah di pagari serta di kelilingi oleh beton tebal seperti benteng yang berlapis dua, nisan yang bertipologi Aceh Darussalam abad ke-17 berbentuk slinder. Namun ada yang berbeda dengan nisan makam tersebut yakni nisan ini terbuat dari bahan dasar batu kapur dan belum pernah ditemukan pada batu nisan lainnya di Pidie. 


Menurut cucu abi di Pasi yaitu Teungku Wahab sekaligus pimpinan Dayah Teungku Syik di Tambon  menjelaskan bahwa Teungku Syik di Tambon berasal dari Istanbul Turki yang datang ke wilayah Kuala Genteng Bate pada abad ke-17 untuk melanjutkan misi dakwah, beliau juga mendirikan sebuah masjid di daerah Lhok Mahoni yang tidak jauh dari makamnya. Sekarang ini makam Tengku Syik di Tambon sungguh memprihatinkan, kondisi makam terlihat tidak  terawat sekitar makam juga sudah  di tumbuhi semak belukar serta informasi  pada pamflet telah terhapus.


Sangat di sayangkan kondisi seperti ini dan dalam literasi manapun belum di temukan mengenai riwayat hidup beliau beberapa informasi di peroleh hanya dari cerita turun temurun, semoga untuk kedepannya ada peneliti yang mengkaji tentang riwayat hidup dari Teungku Syik di Tambon.(an)



Read More

2/07/2022

Peranan Syaikh Abdussalam sebagai Ahli Meugoe

Foto : Mesjid Tuha peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Mesjid Guci Rumpong, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Teungku Chik di Waido atau lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik di Pasi bin Syaikh Burhanuddin merupakan seorang ulama besar (Waliyullah) keturunan Arab Persi dari Tuan Syaikh Burhanuddin. Nama asli beliau adalah Syaikh Abdussalam yang lahir di Gigieng Kabupaten Pidie sekitar abad-16. Beliau memiliki kontribusi yang besar terhadap bidang edukasi sarana pengembangan kegiatan pendidikan islam serta pencetus sumber kehidupan warga di sektor pertanian.


Sejak zaman Kesultanan Aceh Waido menjadi salah satu gampong dan bagian Ulee Balang VII Mukim di bawah kontrol Ulee Balang Keumangan. Nah di dusun inilah sentral pemerintahan Teungku Abdussalam pada empat abad yang lampau.


Pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Arab Saudi guna menimba ilmu agama di Masjidil Haram selama dua puluh tahun, diantaranya seni lukis (kaligrafi), jurnalistik, pembuat syair (penyair), penafsiran Al-Qur’an. Pada usia 35 tahun Abdussalam kembali ke Pidie setelah berhasil meraih prestasi gemilang dan menetap di Gigieng untuk mengembangkan agama islam. Selain ulama juga berperan panglima ahli meugoe berdasarkan kajian historis beliau memperoleh sarakata dari sultan Aceh (Iskandar Muda 1607-1636) yang membawahi kawasan beberapa gampong sebagai kadhi uleebalang VII Mukim. 


Teunku Chik Waido mempunyai dua orang istri yang pertama bernama Fatimah mempunyai dua orang anak perempuan (Putore Insyah dan Putroe Khatijah) hingga saat ini masih ada keturunannya. Sedangkan pada istri kedua yang berada di Busu tidak mempunyai keturunan. Teungku Chik Waido tinggal di Juree  (rumah pribadinya) berdekatan dengan Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet


Beberapa Bukti Sejarah peninggalan Tgk Chik Waido

Foto : Jamboe Kaluet peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Jamboe Kaleuet sebagai sarana pengembangan dan pendalaman ajaran Islam yang difungsikan untuk orang-orang melakukan kaluet di Jamboe Kaleuet, kegiatan edukasi ini biasanya pada bulan Ramadhan. Mereka datang dari luar daerah tujuannya memohon petunjuk atau hidayah untuk menenangkan jiwanya. 

Batee Siprok dan Seurumbek yang masih tersimpan dengan baik dan digunakan sarana pembai’atan untuk mengangkat sumpah para pejabat atau orang-orang yang bersalah, dengan menginjak batu dan al-Qur’an Seurumbek di atas kepala. Kitab bertulisan arab bernama Mukadam Al-Qur’an dan Tudoeng Pelepah Rumbia, difungsikan oleh masyarakat Pidie pada saat pelaksanaan kegiatan kanduri keagamaan di masjid-masjid dan khanduri tahunan di babah Leung Bintang secara bergiliran atau tempat tempat yang di tentukan. Muqaddam mempunyai dua jenis yaitu Mukadam Cut dan Mukadam Rayeuk sama halnya dengan al-Qur'an 30 juz. Cara membacanya dibagi ke dalam kelompok-kelompok, setiap kelompok satu juz. Satu kelompok yang beranggotakan 10 orang terdiri dari 2 teungku dan yang lainnya para santri. Teungku Chik bertugas menyimak dan membenarkan bacaan yang kurang benar atau salah. Muqaddam ini dilaksanakan 1 tahun sekali untuk upacara kanduri blang pada Leueng Bintang saat padi dara. Kitab bertulisan arab lainnya yaitu Seurembek digunakan untuk bersumpah saat pelantikan pejabat uleebalang, imum dan geuchik dan berdiri atas Batee Siprok (batu bopeng). Juga digunakan orang-orang dicurigai, yang tidak mau mengakui kesalahannya.

Aset tersebut sampai sekarang ini menjadi warisan sumber motivasi dari peninggalan Teungku Chik Waido, selalu dikenang dengan upacara kanduri. Upacara semacam ini merupakan salah satu simbol persatuan warisan Teungku Chik Waido untuk anak cucunya. Sebagai ulama waliyullah dan ahli di bidang pertanian (panglima meugoe), Teungku Chik giat membuka lahan-lahan baru di bidang perladangan penanaman tebu di Paleue dan Waido Kabupaten Pidie.

Foto : Bate seuprok atau batu sumpah yang terdapat di samping jamboe kaluet di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Selanjutnya membuat saluran sungai yang menjadi warisan pusaka dan sumbangsih atau konstribusi terhadap beberapa wilayah di Pidie, dimulai dari Gle Meulinteung melalui beberapa negeri yaitu Negeri Titue, Keumala, Negeri Lammeulo (Sakti), Negeri Mutiara, Peukan Baro, Negeri Indrajaya, sebagian wilayah Kembang Tanjong sampai bermuara ke Kuala Lheue Kemukiman Tungue Simpang Tiga, yaitu “Pembuatan Irigasi Lhueng Bintang” yang menjadi sumber perairan pertanian untuk warga masyarakat di bidang pertanian.

Berdasarkan data di atas bahwa irigasi Lhueng Bintang airnya disalurkan ke sawah penduduk seluas 13.444 ha, 232 desa , 29 mukim dan 7 dari 23 kecamatan dalam wilayah hukum Kabupaten Pidie. Pembagian air ke sawah-sawah berdasarkan ketentuan dan wewenang pemerintah Kecamatan dengan perantara keujreuen blang. Sistem ini sebagaimana pernah berlaku sejak masa Teungku Chik Waido dahulu, sampai dewasa ini masih dikonstribusikan melalui proyek irigasi pertanian dalam wilayah Kabupaten Pidie.

Lhueng Bintang panjangnya 25 km, karya besar Teungku Chik Waido, hulunya berpangkal dari Krueng Tiro, kemudian berhaluan ke Keumala Cot Bak U Gading, Titeu, Lammeulo dan sampai di Rambayan bercabang dua, dari induk Leung Bintang. Cabangnya masing-masing yaitu ke arah timur airnya mengalir melalui Tidiek, Paya Gajah (Gampong Gajah), Iboih Kutabaro terus ke Kemukiman Tungue dan muara ke Kuala Peukan Lheue. Cabang ke arah Barat; Rambayan, Lampoih Saka, Cot Meulu, Mangki Wakeuh sampai ke Cot Paleue. Induknya menuju Bungie, Waido, Blang Mangki, Pantee dan Peukan Tuha Gigieng hingga muaranya ke Selat Malaka. Untuk warga Gigeing dan Tungoe menerima sumber air ke sawah-sawah jalur cabang aneuk lhueng. Melalui rute itu mengalir ke bawah, yaitu Cot Arah Jeureung, Kulam Baro, Empeh, baru sampai ke sawah-sawah warga Tungoe dan Gigieng dan bermuara ke Kuala Peukan Lheue.

Foto : Dayah Manyang peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Disamping membangun saluran Lhueng Bintang dan berperan pula dalam usaha bercocok tanam dengan membuka lahan atau kebun tebu. Misalnya di Cot Paleue dan Waido wilayah Simpang Tiga. Karena banyaknya kebun tebu, Tgk Chik Waido membuat penggilingan tebu (Weng Teubee). Persisnya disebelah selatan keude gampong Blang (Blang Waido). Alat gilingan air tebu itu ditarik oleh kerbau, kemudian airnya dimasak menjadi manisan.

Menurut kajian sosio-historis Teungku Chik Waido, pasca kembalinya dari Saudi Arabia membangun Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet di Waido sebagai sarana edukasi. Adapun yang diajarkan seperti bahasa Arab, fiqh-jinayat, fiqh munakahat, fiqh-dualy, ilmu manthiq, tauhid dan tasauwuf. Pusat edukasi itu berkembang pesat menjadi perguruan tinggi dan muridnya bertambah pada abad ke-17 masehi. Salah seorang termasuk Iskandar Muda belajar dan berguru pada Teungku Chik Waido.

Teungku Chik Waido juga  membangun sarana peribadatan berupa mesjid di Mukim Tungue, Blang Paleu dan Guci Rumpong. Berdasarkan sejarahnya pada Mesjid Rumpong maupun Tungue keduanya terdapat sebatang purieh (terbuat dari bambu) berusia ratusan tahun dan memiliki romantika sejarah tersendiri.  Aset Teungku Chik Lainnya di kedua mesjid itu ada Tongkat sudah usang terbuat dari kayu dan pusaka keramat pemberian gurunya yang digunakan ketika khatib,  beliau juga memegang peranan penting sebagai khatib secara bergiliran setiap hari jum’at.

Foto : Rumoh Aceh peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Masyarakat Pidie sejak dahulu sampai sekarang ini mengenal Teungku Chik Waido dengan sebutan Teungku Leubee Chik atau Ulama yang mempunyai kelebihan / terkemuka. Hal ini sebagaimana kajian Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 573) yaitu orang yang mengurus suatu pekerjaan yang berkaitan dengan agama Islam di dusun atau gampong.

Bahkan Makam (pusara) Teungku Chik Waido yang berada di Ie Leubeue, Kecamatan Kembang Tanjong menjadi sarana melepaskan nazar setiap hari senin dan kamis dengan upacara sembelih kambing. Sementara Guci peninggalannya air di dalamnya menjadi obat atau penawar untuk orang-orang sakit. Baik Guci di Rumpong maupun Guci di pusaranya.

Foto : Makam Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Pasi Ie Leubeu, Mukim Blang Gapu, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie.

Di samping pusara beliau terdapat  tiga guci dari warisan atau pusakanya yaitu dua di Rumpong dan satu di Ie Leubue masing masing dari guci tersebut mempunyai nilai mistis dan keramat. Banyak masyarakat dari berbagai daerah yang ada di Aceh dan luar Aceh datang untuk sekedar mencuci muka atau minum air yang ada di guci tersebut. Ketiga Guci warisan Teungku Chik Waido hingga sekarang ini air di dalamnya menjadi penawar bagi masyarakat dan bisa diambil siapa saja. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan untuk melepaskan nazar sekaligus mengadakan khanduri di pusara beliau.

Dewasa ini masyarakat Kabupaten Pidie segala karya atau jasa yang ditinggalkan oleh Teungku Chik di Waido menjadi sumber motivasi di bidang sosial keagamaan dan pertanian. Misalnya kegiatan upacara Kanduri Blang pemotongan seekor Kerbau berpelana Bintang serta persediaan eungkot kluet (sejenis ikan teri) tiap tahun diperingati dengan membaca kitab Muqaddam. Pembaca kitab itu teungku (penjaga aset) dari Waido dengan mengendrai sepeda (dahulu jalan kaki), dan menggunakan tudung besar terbuat dari Pelepah Rumbia, yang pakai di kepada oleh teungku yang dari Waido.(an)

Sumber dikutip dari beberapa buku bacaan dan artikel. 

Read More