Foto : Papan nama yang menjelaskan tentang Habib Teupin Wan yang terletak sebelum masuk ke komplek makam beliau, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie
Perang
Aceh merupakan sebuah perang terdahsyat yang terjadi pada penghujung abad ke
-19,pada tahun 1873 perang Aceh meletus atas gagasan dari Ishak Dingus Fransen
Van De Putte (1822-1902). Awal mulanya terjadi perang Aceh dari keinginan
Belanda untuk menguasai seluruh wilayah di pulau Sumatra dengan cara membuat
traktat (perjanjian internasional) Sumatra dengan pihak Inggris pada tahun 1871
M / 1288 H (ismail dkk,1977)
Pada
awal perang Aceh Sayid Abdurrahman bin Hasan Asseqaf atau lebih dikenal dengan
Habib Teupin Wan merupakan salah satu generasi muda yang tampil ke depan
melawan penjajah Belanda, beliau melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan
mendirikan benteng pertahanan di wilayah makam Teungku Lueng Keueng di Aceh
Besar. Pada saat itu beliau bersama tokoh-tokoh lain seperti Teungku Imum Lueng
Bata, Tuanku Hasyem Banta Muda, dan lainnya melakukan perlawanan yang sengit
terhadap Belanda, di kalangan tokoh-tokoh mukim XXVI, nama Habib Teupin Wan
sangat terkenal sebagai seorang pemuda yang taat dan mempunyai semangat juang
yang tinggi.
Mengupas
sedikit biografi Habib Teupin Wan, beliau lahir di Gampong Teupin Wan mukim
XXVI Aceh Besar, sekarang berubah nama menjadi Gampong Ateuk. Habib Teupin Wan
di perkirakan lahir pada tahun 1850-an, beliau merupakan putra dari Habib Hasan
bin Muhammad Asseqaf yang bertariqat alawiyah serta bermahzab Syafi’e. Keluarga
Asseqaf ialah bagian keluarga besar ba’alawi di Hadramaut Yaman Selatan,
ba’alawi yang di maksud adalah keturunan dari pada Sayid Alwi bin Ubaidillah
bin Ahmad Al-Muhajir. orang pertama yang hijrah dari basrah (Irak) ke Hadramaut
(Yaman) adalah Sayid Ahmad Al-Muhajir bin Isa pada tahun 317 H. (Sayid Muhammad
Dhia Shahab, merujuk pada kitab Syamsu Dhahirah, 1984)
Habib
Teupin Wan mempunyai dua saudara, yakni Habib Muhammad (Habib Rayeuk), dan
Habib Chek (Habib Ubiet), merupakan saudara dari lain ibu ini bermukim di
wilayah Aceh Utara, begitu juga dengan makam ayahanda beliau berada di
Sampoinet Kabupaten Aceh Utara. (Asyraf Aceh, 2015)
Peranan
keluarga Ba’alawi dalam menyiarkan Islam di Aceh berawal dari hijrahnya para
Sayid ke nusantara untuk berdakwah, mengcari penghidupan yang baik, serta ada
juga berhijrah karena lari dari kekerasan penguasa yang zalim, Maka dari hijrah
tersebut kemudian hari mereka
berasimilasi dengan penduduk setempat, dan ada juga yang menjadi tokoh agama
bahkan ada yang menjadi Sultan Aceh.
Foto : Tim Beulangong Tanoh berfoto tepat di depan komplek makam Habib Teupin Wan, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie
Snock
Hurgronje menjelaskan keberadaan Habib Teupin Wan paling banyak menyusahkan
Belanda dan dapat membangkitkan semangat masyarakat Aceh untuk melawan kafir
Belanda, sehingga tidak mengherankan apabila pihak Belanda menyebut Habib
Teupin Wan berpotensi menjadi Teungku Chik di Tiro ke dua (E.Gobee dan C.Adriananse.1990).
Perjuangan
Habib Teupin Wan di Aceh Besar harus terhenti setelah Belanda menguasai hampir
seluruh wilayah Aceh Besar dan mendirikan pemerintahan sipil pertama pada tahun
1878-1883, selanjutnya Habib Teupin Wan beserta pasukannya melanjutkan perlawanan
ke Keumala dan berdiam di gunung-gunung dekat Tangse.
Pada
tahun 1907 dan tahun-tahun berikutnya Habib Teupin Wan dan para pengikutnya
selalu berhubungan dengan para ulama-ulama Tiro, yakni sebuah kelompok inti
penentang yang ideal semakin menciut jumlahnya karena tidak mau lagi di
tundukkan atau berkompromi, walaupun kondisi pengikutnya telah menciut tapi Habib Teupin Wan dengan
ulama-ulama Tiro yang tersisa masih melanjutkan perjuangan, bahkan dalam sebuah
surat dari Tuanku Mahmud kepada Habib Teupin Wan pada tanggal 27 rajab 1327 H /
14 agustus 1909 M, yang isi surat tersebut menyerukan supaya Habib Teupin Wan,
Teungku Mahyuddin, Teungku di Buket bin Teungku Chik di Tiro, Teungku Hasyem,
Teungku Ulee Tutue dan Teungku Ibrahim untuk menyerah kepada Belanda, tetapi
Habib Teupin Wan bersama ulama lainnya tidak menghiraukan surat ini dan terus
melanjutkan perjuangan melawan kafir Belanda.
Menurut
Ali Hasyimi (1989) dalam bukunya yang
berjudul “Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun
Bangsa”, menjelaskan bahwa usulan untuk berdamai datang juga dari Tuanku Raja
Keumala setelah beliau kembali dari Timur Tengah, beliau mengirim surat kepada
Habib Teupin Wan, Teungku Mahyiddin Tiro, Teungku Syeikh Harun, Teungku Muda
Syam, dan kepada pejuang lainnya untuk mempertimbangkan penempuhan cara baru
dalam melanjutkan perjuangan, tetapi hal tersebut tidak di setujui oleh Habib Teupin Wan dan ulama-ulama
lainnya.
Pada
tanggal 21 mei 1910 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Schmidt berhasil menghancurkan
pasukan para ulama Tiro, dan menewaskan Teungku Mayet di Tiro, Teungku Syeikh
Harun, Teungku Muda Syam, Teungku Syeh Samin dan Habib Cut Putra dari Habib
Teupin Wan. Habib Cut bernama lengkap Habib Muhammad bin Abdurrahman Asseqaf,
memiliki saudara perempuan yang bernama “Cut Aja Leumik”. Habib Cut merupakan
bagian dari pada pejuang yang tidak mengenal kompromi dengan Belanda, Habib Cut
memilih benteng pertahanannya di Tiro.
Foto : Tampak salah satu makam di tutup dengan kain putih yang menandakan makam tersebut empunya dari Habib Teupin Wan, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie
Dengan
meninggal putranya Habib Teupin Wan tetap melanjutkan perlawanan, bahkan Habib
Teupin Wan menjadi semakin saleh, nilai harta benda duniawi menjadi semakin
kecil dan tidak berarti sama sekali bagi beliau di bandingkan dengan keagungan
cahaya abadi.
Pada
25 September 1911, merupakan hari raya dan beberapa orang pengikut Habib pergi
ke sebuah kampung di Tangse untuk merayakannya, hal tersebut di ketahui oleh
pihak Belanda, dan pada tanggal 27 September berangkatlah pasukan yang terdiri
dari 30 anggota Marsose di bawah pimpinan B.J. Schmidt untuk mencari
jejak-jejak pengikut Habib yang telah kembali. Tanggal 29 september pasukan
Marsose bergerak di sepanjang sebuah alur, yang bernama alur Blang Jeureuloh
dan melewati lereng-lereng yang lebat hutannya, di sana mereka menjumpai bekas
tapak kaki yang bersimpang siur, pasukan menuruti tapak kaki itu sampai ke
sebuah jalan kecil yang ramai di lalui orang, pasukan bergerak terus hingga
seorang di barisan depan yang melalui semak-semak dapat melihat atap sebuah
pondok, segera ia merebahkan badan ke tanah bersama pasukan lainnya.
Dekat
pondok tersebut berdiri sekelompok pejuang Aceh yang di pimpin oleh orang tua
yang telah beruban dan menggenggam sebilah keris di sebelah tangannya,
sedangkan di tangan lainnya sebuah revolver, beliau lah Habib Teupin Wan yang
telah siap untuk melawan para Marsose yang bermunculan dari semak-semak, tidak
ada sikap bimbang sedikitpun pada beliau untuk menghadapi kafir Belanda.
Akhirnya
pertempuran terjadi, pihak pejuang Aceh yang di pimpin oleh Habib Teupin Wan
bertempur dengan gagah berani, mereka semua bertekat untuk mati syahid bersama
dengan pimpinannya, dalam pertempuran ini Habib Teupin Wan sang Panglima perang
Aceh syahid tepat pada 5 syawal 1329 H / 29 september 1911M, tanpa ada kata
menyerah,dan tanpa rasa takut pada dirinya, dan makam beliau terletak di Gampong Blang Dalam Kecamatan Tangse.
Dalam
al-quran surat ali imran ayat 169 Allah berfirman “janganlah kamu mengira
bahwa-orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati,bahkan mereka hidup di
sisi Tuhannya dengan mendapat rizqi”.(an)