3/25/2020

Habib Teupin Wan, Sang Teungku Chik di Tiro Ke Dua

Foto : Papan nama yang menjelaskan tentang Habib Teupin Wan yang terletak sebelum masuk ke komplek makam beliau, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie


Perang Aceh merupakan sebuah perang terdahsyat yang terjadi pada penghujung abad ke -19,pada tahun 1873 perang Aceh meletus atas gagasan dari Ishak Dingus Fransen Van De Putte (1822-1902). Awal mulanya terjadi perang Aceh dari keinginan Belanda untuk menguasai seluruh wilayah di pulau Sumatra dengan cara membuat traktat (perjanjian internasional) Sumatra dengan pihak Inggris pada tahun 1871 M / 1288 H (ismail dkk,1977)

Pada awal perang Aceh Sayid Abdurrahman bin Hasan Asseqaf atau lebih dikenal dengan Habib Teupin Wan merupakan salah satu generasi muda yang tampil ke depan melawan penjajah Belanda, beliau melakukan perlawanan terhadap Belanda dengan mendirikan benteng pertahanan di wilayah makam Teungku Lueng Keueng di Aceh Besar. Pada saat itu beliau bersama tokoh-tokoh lain seperti Teungku Imum Lueng Bata, Tuanku Hasyem Banta Muda, dan lainnya melakukan perlawanan yang sengit terhadap Belanda, di kalangan tokoh-tokoh mukim XXVI, nama Habib Teupin Wan sangat terkenal sebagai seorang pemuda yang taat dan mempunyai semangat juang yang tinggi.

Mengupas sedikit biografi Habib Teupin Wan, beliau lahir di Gampong Teupin Wan mukim XXVI Aceh Besar, sekarang berubah nama menjadi Gampong Ateuk. Habib Teupin Wan di perkirakan lahir pada tahun 1850-an, beliau merupakan putra dari Habib Hasan bin Muhammad Asseqaf yang bertariqat alawiyah serta bermahzab Syafi’e. Keluarga Asseqaf ialah bagian keluarga besar ba’alawi di Hadramaut Yaman Selatan, ba’alawi yang di maksud adalah keturunan dari pada Sayid Alwi bin Ubaidillah bin Ahmad Al-Muhajir. orang pertama yang hijrah dari basrah (Irak) ke Hadramaut (Yaman) adalah Sayid Ahmad Al-Muhajir bin Isa pada tahun 317 H. (Sayid Muhammad Dhia Shahab, merujuk pada kitab Syamsu Dhahirah, 1984)

Habib Teupin Wan mempunyai dua saudara, yakni Habib Muhammad (Habib Rayeuk), dan Habib Chek (Habib Ubiet), merupakan saudara dari lain ibu ini bermukim di wilayah Aceh Utara, begitu juga dengan makam ayahanda beliau berada di Sampoinet Kabupaten Aceh Utara. (Asyraf Aceh, 2015)

Peranan keluarga Ba’alawi dalam menyiarkan Islam di Aceh berawal dari hijrahnya para Sayid ke nusantara untuk berdakwah, mengcari penghidupan yang baik, serta ada juga berhijrah karena lari dari kekerasan penguasa yang zalim, Maka dari hijrah tersebut  kemudian hari mereka berasimilasi dengan penduduk setempat, dan ada juga yang menjadi tokoh agama bahkan ada yang menjadi Sultan Aceh.

 Foto : Tim Beulangong Tanoh berfoto tepat di depan komplek makam Habib Teupin Wan, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie

Snock Hurgronje menjelaskan keberadaan Habib Teupin Wan paling banyak menyusahkan Belanda dan dapat membangkitkan semangat masyarakat Aceh untuk melawan kafir Belanda, sehingga tidak mengherankan apabila pihak Belanda menyebut Habib Teupin Wan berpotensi menjadi Teungku Chik di Tiro ke dua (E.Gobee dan C.Adriananse.1990).

Perjuangan Habib Teupin Wan di Aceh Besar harus terhenti setelah Belanda menguasai hampir seluruh wilayah Aceh Besar dan mendirikan pemerintahan sipil pertama pada tahun 1878-1883, selanjutnya Habib Teupin Wan beserta pasukannya melanjutkan perlawanan ke Keumala dan berdiam di gunung-gunung dekat Tangse.

Pada tahun 1907 dan tahun-tahun berikutnya Habib Teupin Wan dan para pengikutnya selalu berhubungan dengan para ulama-ulama Tiro, yakni sebuah kelompok inti penentang yang ideal semakin menciut jumlahnya karena tidak mau lagi di tundukkan atau berkompromi, walaupun kondisi pengikutnya  telah menciut tapi Habib Teupin Wan dengan ulama-ulama Tiro yang tersisa masih melanjutkan perjuangan, bahkan dalam sebuah surat dari Tuanku Mahmud kepada Habib Teupin Wan pada tanggal 27 rajab 1327 H / 14 agustus 1909 M, yang isi surat tersebut menyerukan supaya Habib Teupin Wan, Teungku Mahyuddin, Teungku di Buket bin Teungku Chik di Tiro, Teungku Hasyem, Teungku Ulee Tutue dan Teungku Ibrahim untuk menyerah kepada Belanda, tetapi Habib Teupin Wan bersama ulama lainnya tidak menghiraukan surat ini dan terus melanjutkan perjuangan melawan kafir Belanda.

Menurut Ali Hasyimi (1989)  dalam bukunya yang berjudul “Ulama Aceh Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangunan Tamadun Bangsa”, menjelaskan bahwa usulan untuk berdamai datang juga dari Tuanku Raja Keumala setelah beliau kembali dari Timur Tengah, beliau mengirim surat kepada Habib Teupin Wan, Teungku Mahyiddin Tiro, Teungku Syeikh Harun, Teungku Muda Syam, dan kepada pejuang lainnya untuk mempertimbangkan penempuhan cara baru dalam melanjutkan perjuangan, tetapi hal tersebut tidak di setujui  oleh Habib Teupin Wan dan ulama-ulama lainnya.

Pada tanggal 21 mei 1910 pasukan Belanda yang dipimpin oleh Schmidt berhasil menghancurkan pasukan para ulama Tiro, dan menewaskan Teungku Mayet di Tiro, Teungku Syeikh Harun, Teungku Muda Syam, Teungku Syeh Samin dan Habib Cut Putra dari Habib Teupin Wan. Habib Cut bernama lengkap Habib Muhammad bin Abdurrahman Asseqaf, memiliki saudara perempuan yang bernama “Cut Aja Leumik”. Habib Cut merupakan bagian dari pada pejuang yang tidak mengenal kompromi dengan Belanda, Habib Cut memilih benteng pertahanannya di Tiro.

 Foto : Tampak salah satu makam di tutup dengan kain putih yang menandakan makam tersebut empunya dari Habib Teupin Wan, Gampong Blang Dalam, Kecamatan Tangse, Kabupaten Pidie

Dengan meninggal putranya Habib Teupin Wan tetap melanjutkan perlawanan, bahkan Habib Teupin Wan menjadi semakin saleh, nilai harta benda duniawi menjadi semakin kecil dan tidak berarti sama sekali bagi beliau di bandingkan dengan keagungan cahaya abadi.

Pada 25 September 1911, merupakan hari raya dan beberapa orang pengikut Habib pergi ke sebuah kampung di Tangse untuk merayakannya, hal tersebut di ketahui oleh pihak Belanda, dan pada tanggal 27 September berangkatlah pasukan yang terdiri dari 30 anggota Marsose di bawah pimpinan B.J. Schmidt untuk mencari jejak-jejak pengikut Habib yang telah kembali. Tanggal 29 september pasukan Marsose bergerak di sepanjang sebuah alur, yang bernama alur Blang Jeureuloh dan melewati lereng-lereng yang lebat hutannya, di sana mereka menjumpai bekas tapak kaki yang bersimpang siur, pasukan menuruti tapak kaki itu sampai ke sebuah jalan kecil yang ramai di lalui orang, pasukan bergerak terus hingga seorang di barisan depan yang melalui semak-semak dapat melihat atap sebuah pondok, segera ia merebahkan badan ke tanah bersama pasukan lainnya.

Dekat pondok tersebut berdiri sekelompok pejuang Aceh yang di pimpin oleh orang tua yang telah beruban dan menggenggam sebilah keris di sebelah tangannya, sedangkan di tangan lainnya sebuah revolver, beliau lah Habib Teupin Wan yang telah siap untuk melawan para Marsose yang bermunculan dari semak-semak, tidak ada sikap bimbang sedikitpun pada beliau untuk menghadapi kafir Belanda.

Akhirnya pertempuran terjadi, pihak pejuang Aceh yang di pimpin oleh Habib Teupin Wan bertempur dengan gagah berani, mereka semua bertekat untuk mati syahid bersama dengan pimpinannya, dalam pertempuran ini Habib Teupin Wan sang Panglima perang Aceh syahid tepat pada 5 syawal 1329 H / 29 september 1911M, tanpa ada kata menyerah,dan tanpa rasa takut pada dirinya, dan makam beliau terletak di Gampong Blang Dalam Kecamatan Tangse.

Dalam al-quran surat ali imran ayat 169 Allah berfirman “janganlah kamu mengira bahwa-orang-orang yang gugur di jalan Allah itu mati,bahkan mereka hidup di sisi Tuhannya dengan mendapat rizqi”.(an)
Read More