6/25/2021

Asal Mula Kupiah Meukeutop

 

Foto : Pengrajin kupiah Meukeutop di gampong Rawa Tungkop, Kec Indrajaya, Kab Pidie


Kupiah Meukeutop semenjak dulu sudah menjadi ciri khas ke-Aceh-an, karena dipakai oleh para raja-raja Aceh dan juga bangsawan Aceh. Tak ayal, kupiah Meukeutop disebut sebagai warisan raja-raja.


Dewasa ini, banyak juga warga Aceh yang memakai kupiah tersebut. Akan tetapi hanya saat tertentu saja, seperti saat acara pernikahan, khitanan, dan acara-acara sakral lainnya. Selebihnya jika dihari biasa, kita jarang menjumpai masyarakat yang memakai kupiah tersebut.


Pada kupiah Meukeutop terdapat beberapa warna yang dominan yaitu merah, kuning, hijau, putih dan hitam. Kelima warna tersebut memiliki makna tersendiri. Merah melambangkan nilai keberanian atau kepahlawanan, kuning bermakna negara atau kerajaan, hijau melambangkan keagamaan, putih artinya keikhlasan atau kesucian dan hitam bermakna ketegasan hati.


Sedangkan jika kita amati bentuk atau motif yang terdapat pada kupiah Meukeutop mirip dengan huruf  Hijaiyyah yaitu “lam”. Pada simbol “lam” itu terlihat ada semacam tangga yang tersusun kedalam 4 tingkatan atau bagian. Setiap tingkatan ini juga mempunyai makna tersendiri. Pada tingkatan pertama bermakna hukum agama, tingkatan kedua bermakna adat, pada tingkatan ketiga bermakna qanun, sedangkan tingkatan keempat bermakna reusam.


Ada yang menarik mengenai kupiah Meukeutop. Ini berkenaan dengan kekeliruan kita dalam memahami sejarah dan menyebut nama kupiah tersebut. Dari segi sejarahnya, sebagian besar orang Aceh memahami bahwa asal muasal kupiah tersebut adalah dari Meulaboh (kabupaten Aceh Barat). Alasannya, karena kupiah tersebut sering dipakai oleh Teuku Umar yang berasal dari Aceh Barat. 


Padahal, jika ditelusuri asal kupiah Meukeutop bukanlah dari Aceh Barat, melainkan dari Pidie tepatnya dari gampong Tungkop. Sesepuh Gampong Tungkop menuturkan ketika Aceh melawan kolonial Belanda, Teuku Umar sering berpindah-pindah tempat dari satu daerah ke daerah lainnya di Aceh. Adalah Teuku Umar yang berkampanye kepada seluruh rakyat Aceh yang disinggahinya untuk membangkitkan gairah Perang Sabil.


Nah, ketika Teuku Umar singgah di Gampong Tungkop berjumpa pengrajin kupiah Meukeutop yang menjahit kupiah itu secara tradisional. Pengrajin itu kagum kepada Teuku Umar dan menghadiahkan kupiah Meukeutop


Mungkin untuk memuliakan hadiah pemberian pengrajin Tungkop, kupiah tersebut selalu dipakai sebagai penutup kepala oleh Teuku Umar. Selain Teuku Umar, terdapat juga pahlawan Aceh lainnya yang hidup satu masa dengan teuku Umar yaitu Panglima Polem, yang menggunakan kupiah Meukeutop sebagai penutup kepala.


Hari ini, Kupiah Meukeutop, sudah menjadi icon atau simbol kabupaten Aceh Barat. Hal ini ditandai dengan adanya tiga monumen berciri khas kupiah Meukeutop yang didirikan di wilayah pemerintah Kabupaten Aceh Barat (Meulaboh). Sehingga tidak heran, jika orang berbicara tentang kupiah Meukeutop maka alam pikirannya tertuju ke Aceh Barat.


Foto : Pengrajin kupiah Meukeutop di gampong Rawa Tungkop, Kec Indrajaya, Kab Pidie


Tentang nama kupiah Meukeutop, sebagian besar masyarakat masih tidak begitu tahu dan simpang siur. Namun demikian, menurut penuturan tokoh gampong Tungkop, kupiah yang dipakai oleh bangsawan dan pahlawan Aceh baik Teuku Umar dan Panglima Polem, dan sebagainya, mereka menyebutnya kupiah Tungkop, bukan kupiah Muekeutop. Ini merujuk pada daerahnya yaitu gampong Tungkop sebagai penghasil kupiah tersebut yang dikenal sudah ada sejak  zaman penjajahan Belanda. 


Di Pidie, hanya dua daerah yang warganya memiliki skill dalam membuat kerajinan kupiah Meukeutop, yaitu Garot Cut dan Kemukiman Tungkop. Oleh karenanya, sebagian orang menyebut dan yakin sekali bahwa kupiah Meukeutop  asal mulanya ialah dari pemukiman Tungkop, tepatnya di gampong Rawa Tungkop Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.


Orang yang pertama membuah kupiah Tungkop dalam sejarah dikenal bernama Nek Sapiah dan Nek Sabi. Setelah beliau meninggal, seni kerajinan ini dilanjutkan oleh keturunannya. Dan seiring dengan perjalanan waktu generasi Tungkop ikut membantu melestarikan kerajinan tersebut.


Masykur Syafruddin, kolektor manuskrip sejarah Pidie, mengatakan bahwa dari beberapa manuskrip dan surat tulis tangan yang ditemukannya, juga mengikuti pendapat dari tetua masyarakat Aceh yang tinggal dipedalaman, tidak dikenal kupiah yang namanya Meukeutop melainkan yang ada ialah kupiah Garot dan kupiah Tungkop. Dan, jauh sebelum Teuku Umar juga Panglima Polem sudah duluan ada dan dikenal kupiah tersebut dikalangan Raja dan Bangsawan Aceh.  


Dalam versi lain, berdasarkan penelusuran penulis di lapak google, diceritakan oleh Zainuddin Ali Kumba dalam tulisannya di web. suaraumumaceh.id. Sejarah penamaan Meukeutop diyakini asal mulanya berasal dari Mahkota Raja yang dipakai oleh Raja-raja adil di Aceh yang disebut juga Meukuta Alam.


Konon, Mahkota Raja ini  berasal dari zaman Nabi Sulaiman A.S. yang terbuat dari emas, perak dan kuningan dan bertahtakan batu Delima serta batu Geulintang bewarba putih lengkap dengan ukiran-ukirannya. Mahkota itu dipercayai berbentuk kupiah Meukeutop.


Foto : Kupiah Meukeutop hasil dari pengrajin gampong Rawa Tungkop, Kec Indrajaya, Kab Pidie


Kupiah itu pertama sekali di pakai oleh Nabi Sulaiman. Pasca wafatnya, kupiah tersebut berpindah tangan kepada raja-raja selanjutnya, sampai akhirnya berpindah ke tangan ke Raja Aceh yaitu Raja Malikul Saleh, yang dipakai saat dinobatkan oleh para ulama sebagai sultan Samudera Pasai.


Mahkota inilah yang dipakai secara turun temurun sampai ke zaman kerajaan seterusnya. Hanya saja perbedaannya Mahkota itu terbuat daripada logam yang bertahtakan batu delima, sedangkan kupiah Meukeutop saat ini terbuat dari kain. 


Selain dua versi tersebut, ada juga yang menyebutkan bahwa nama kupiah Meukeutop seperti yang kita ketahui sekarang merupakan nama yang muncul karena pemelesetan kata dalam pengucapan keseharian masyarakat Aceh. Dari awal mulanya bernama Tungkop, lama kelamaan bergeser menjadi nama Meukeutop. Pendapat yang satu ini tentu tidak boleh diabaikan juga. Karena sudah menjadi semacam kebiasaan jika masyarakat Aceh suka memplesetkan kata-kata. 


Terbukti sampai dengan saat ini, kupiah tersebut masih dikerjakan oleh perempuan-perempuan yang ada di Tungkop dan Garot. Di gampong Tungkop bahkan sudah ada kelompok perempuan yang karena kesadarannya terhadap warisan budayanya, mereka mulai menyibukkan dirinya dalam memlestarikan kerajinan kupiah tersebut secara bersama-sama.


Perempuan yang dari segi umurnya masih muda diajarkan sampai mampu membuat kupiah sendiri. Dan, berkat dari kegigihan anggotanya,  kelompok perempuan tersebut dilirik oleh pemerintah melalui Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Pidie untuk dipromosikan hasil kerajinannya ke daerah luar. 


Modifikasi Turki


Sejak kapan Meukeutop memasyarakat? Meukeutop diyakini ada benang merah dengan kupiah Tarbus dari Turki. Pada abada ke-16, Aceh memiliki hubungan mesra dengan Turki. Ahli-ahli Turki diundang ke Aceh. Salah satu yang dimodifikasi oleh pengrajin Aceh yakni tarbus dengan memberikan sentuhan-sentuhan motif Aceh.


Ada dua model Meukeutop yakni berbentuk biasa (tidak memiliki puncak seperti tarbus Turki) yang dipakai oleh masyarakat. Bentuk kedua memiliki puncak yang mirip buah Guerembang (sejenis buah mangga yang pohonnya tumbuh dekat pantai). Meukeutop bentuk kedua inilah yang dijadikan Meukeutop kebesaran Aceh.


Meukeutop dirancang bertingkat-tingkat seperti anak tangga berkaitan dengan filosofis orang Aceh yang memiliki tiga aturan pedoman hidup yang saling bertaut yaitu hukum agama, hukum adat, dan qanun.



Meukeutop
dijadikan pelengkap busana adat tradisional Aceh dan suvenir kepada tamu. Pada acara perkawinan, kupiah ini digunakan oleh pengantin pria lengkap pakaian adat serta sebilah rencong terselip dibagian depan.(ms)


Read More

6/06/2021

Menelusuri Sejarah Krueng Tuha Reubee

 

Foto : Irigasi Krueng Tuha Reube di Gampong Neulop, Kec Delima, Kab Pidie

Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk yang berada diberbagai belahan dunia. Tanpa adanya air, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan akan mati. Dengan kata lain, air yang turun dari langit dan yang keluar dari bumi menjadi sumber kebutuhan utama untuk proses agar setiap makhluk dapat melangsungkan kehidupannya. Firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 32:


Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai


Di sisi lain, manusia juga memanfaatkan air untuk meningkatkan taraf ekonomi. Contohnya bagi masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai petani, wabil khusus bagi masyarakat Reubee, Kabupaten Pidie. Masyarakat disana sangat bergantung pada ketersediaan air, para petani memanfaatkan sumber air dari krueng (sungai) untuk dialiri ke sawah. Jika air tersedia maka hasil panen akan melimpah, begitupun sebaliknya jika ketersediaan air tidak mencukupi maka hasilnya akan rendah bahkan terancam gagal panen.


Bagi masyarakat Reubee, krueng Teungku Syik menjadi akses penting untuk mengairi persawahan para petani. Krueng ini menjadi simbol kebanggan dan kewibawaan bagi masyarakat setempat, karena krueng Teungku Syik menyimpan sejarah panjang.


Asal - usul Krueng Tuha Reubee


Ada dua versi sumber terkait asal-usul krueng tuha Reubee. Pertama, menurut cerita rakyat, krueng tuha berawal dari kisah khalwah (mengasingkan diri) Daeng Mansyur atau masyhur namanya dengan laqab Teungku Syik di Reubee, dia adalah salah satu ulama besar Pidie kala itu. Mengasingkan diri dari keramaian telah menjadi tradisi spiritual dalam dunia Islam, kegiatan yang dilakukan selama pengasingan diantaranya bezikir, berdoa, dan melakukan ibadah-ibadah lain, tujuannya untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Ilahi, sebagaimana sering dilakukan oleh baginda Rasulullah di gua Hira.


Setelah beberapa lama mengasingkan diri, Teungku Syik ingin kembali Reubee. Setelah sampai di Keumala, ia beristirahat sejenak sembari melihat air jernih nan dingin yang bersumber dari pegunungan, timbul hasrat dalam benak ulama ini agar air di Keumala juga dapat dinikmati oleh masyarakat yang berada dikampungnya. Singkat cerita ia bermunajah kehadirat Allah, lalu diseretlah tongkatnya ke tanah hingga sampai ke kampung tempat asal ulama bermukim. Berkat qaramah yang dimiliki akhirnya terbentuklah aliran air dari seretan tongkat. Aliran ini kemudian dikenal sebagai krueng Teungku Syik di Reubee atau sebagian orang menyebutnya krueng tuha Reubee.


Foto : Aliran krueng tuha reubee di belakang pasar Reube, Gampong Neulop, Kec Delima, Kab Pidie

Versi di atas sarat unsur mistis, jika ditelaah dengan kondisi masa moderen sekarang tentu tidak akan mampu diterima oleh akal pikiran, tapi begitulah cerita yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat di Pidie. Dipercaya atau tidak kembali pada setiap individu.


Kedua, asal usul krueng tuha Reubee bermula pada masa perkasa alam Iskandar Muda meudagang ke Pidie pada Tgk Syik di Reubee. Istilah meudagang sering disematkan pada orang atau kelompok yang menetap di dayah (pesantren) untuk mengkaji ilmu agama. 


Dalam tahapan belajar, perkasa alam dikenal sebagai murid yang pandai, mampu menguasai dan menganalisa surah (penjelasan) kitab dari Tgk Syik. Sehingga terpadulah kasih sayang yang harmonis antara guru dan murid, bahkan dia menjadi murid kesayangan ulama karismatik yang bermukim di Reubee ini. Tidak hanya dengan guru, perkasa alam juga pandai berinteraksi dengan murid-murid seangkatan dengannya, budi baik membuat dia disenangi oleh banyak orang.


Setelah beberapa lama di Reubee, Perkasa Alam Iskandar Muda mampu membentuk iklim komunikatif dengan berbagai elemen masyarakat Pidie, terutama para pemuda yang berhasil membentuk front khusus sebagai wadah persatuan. Keberhasilan menghimpun kekuatan ini dimanfaatkan untuk gerakan pembangunan, saban hari Perkasa Alam dan masyarakat “blusukan” ke berbagai perkampungan di Pidie untuk melihat potensi yang ada. Salah satu potensi yang sangat menjanjikan adalah pertanian di Reubee, namun para petani memiliki keterbatasan stok air sehingga menjadi permasalahan pertanian. Maka setelah meminta pendapat Teungku Syik dan melakukan musyawarah dengan stakeholder, akhirnya Perkasa Alam memberi titah untuk membuat mega proyek berupa pembuatan aliran air yang bersumber dari Keumala untuk mengairi persawahan masyarakat Reubee dan sekitarnya. Sumber versi kedua nampaknya lebih logis, dan di dukung oleh literatur sejarawan-sejarawan melayu, seperti H.M Zainuddin dalam karyanya singa Aceh.


Kondisi Saat Ini


Beberapa hari yang lalu, penulis mewawancarai beberapa masyarakat Reubee serta melakukan observasi. Dari hasil temuan di lapangan, penulis melihat bahwa krueng tuha tampak seperti tidak terurus, sudah dangkal, bahkan ditumbuhi tanaman liar di sepanjang aliran sungai. kondisi semacam ini membuat aliran tersebut tidak maksimal fungsinya.


Menurut keterangan salah seorang warga Reubee, terakhir dilakukan normalisasi krueng tuha  diawal masa jabatan Roni Ahmad-Fadhlullah T.M Daud, kegiatan tersebut di prakarsai oleh kawoem abusyik dan dibantu oleh masyakat setempat. Namun setelah itu tidak ada lagi ada kegiatan normalisasi krueng tuha Reubee.


Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sejarah di wilayah tempat Sultan Iskandar Muda menuntut ilmu pengetahuan, maka sangat diharapkan aksi pemerintah Kabupaten Pidie serta segenap masyarakat Reubee agar menjaga aset sejarah yang ada. Bagi pemerintah kiranya dapat mengalokasi anggaran khusus dan berkelanjutan untuk kegiatan normalisasi krueng Teungku Syik yang sangat bersejarah. Selain krueng tuha, masih banyak sekali cagar budaya atau situs-situs purbakala yang masih terabaikan dan luput dari perhatian pemerintah Kabupeten Pidie.


Perlu keseriusan pemerintah dalam penanganan hal ini,  penyelamatan aset sejarah  penting dilakukan agar dapat digunakan sebagai bahan edukasi, membuka ruang pengkajian dan penelitian akademik untuk referensi keilmuan bagi kita dan generasi berikutnya. Jangan sampai generasi dimasa yang akan datang hanya mendengar sejarah saja tapi tidak ditemukan lagi bukti konkritnya.


Untuk meringankan beban pemerintah, maka perlu bekerjasama dengan lintas komunitas dan organisasi, penulis yakin para pemuda di Pidie mau dan mampu menjadi mitra bagi pemerintah untuk penanganan masalah pelestarian sejarah. Apalagi pemerintah periode ini mengusung jargon“Pidie meusigrak” artinya bersama-sama untuk bangkit, maka untuk itu mengelola ide dan kekuatan masyarakat Pidie terutama para pemuda untuk mesin pembangunan merupakan keinginan bersama, agar Pidie menjadi Kabupaten yang lebih bermartabat di masa yang akan datang.(ay)




Read More