5/25/2021

Breuh Tum Cemilan Yang Masih Eksis Sampai Sekarang

 

Foto : Proses pembuatan breuh tum di Gampong Jurong Kupula, Mukim Garot, kec Indrajaya, Kab Pidie


Aceh memiliki kekayaan akan kuliner tradisional yang tidak kalah dengan daerah lain di Indonesia, namun di antara ribuan makanan tradisional Aceh ada beberapa makanan tradisional yang mulai jarang bahkan hilang dalam masyarakat Aceh.


Breuh tum merupakan salah satu makanan tradisional Aceh yang sudah jarang kita jumpai, bahkan banyak dari masyarakat Aceh khususnya Pidie saat ini tida pernah melihat lagi breuh tum itu apa terlebih lagi proses pembuatannya. 


Mengulas sedikit mengenai sejarah dari makanan tradisional khas Pidie yang sekarang mulai terpinggirkan dengan hadirnya makanan-makanan instan, dan juga anak-anak yang sudah jarang makan makanan tradisional Aceh.


Breuh tum adalah makanan trdisional Aceh yang terbuat dari bahan dasar beras, dulunya breuh tum di jadikan sebagai cemilan saat panen padi, biasanya di hidangkan dengan gula ataupun dengan parutan kelapa, dalam perkembangan selanjutnya breuh tum juga di sajikan bersamaan dengan pisang thok atau minum lainnya, selain itu breuh tum juga di olah sebagai jajanan anak-anak dengan cara di campurkan dengan air gula dan di cetak petak-petak hingga mengeras atau biasa disebut kue kepang.


Foto : Breuh tum yang telah jadi di Gampong Jurong Kupula, Mukim Garot, Kec Indrajaya, Kab Pidie


Proses pembuatannya sendiri tidak terlalu rumit seperti pada makanan tradisional Aceh lainnya, hanya saja para pembuatnya tidak ramai atau banyak seperti pada pembuatan kue tradisional pada umumnya. Makanan ini berbahan dasar beras yang telah di takar lalu di masukkan kedalam sebuah oven yang unik, kenapa dikatakan unik karena ovennya berbentuk seperti barbell ukuran besar dan terdapat alat atau stiur sebagai alat putarannya. Ovennya sendiri buatan jepang yang di datangkan dari Medan.


Seperti yang di jelaskan oleh bapak jailani (62) asal meunasah Tuha Lala Kecamatan Mila, pertama beras yang sudah di takar dalam 4 kaleung susu kecil di masukkan dalam oven dan selanjutnya di sangrai dengan suhu yang panas dengan cara ovennya di putar-putar hingga beras yang di masukkan tadi panasnya merata selama 10  menit, setelah itu breuh tum sudah  di keluarkan dengan cara di masukkan kepala oven dalam karung goni lalu ditarik bagian belakang atau kunci penutup oven tersebut dengan suara khas dentumannya,  Tummmmm……!


Pak jailani juga menjelaskan dari tahun 1980 beliau menjalankan usaha pembuatan breuh tum banyak  daerah atau gampong yang telah beliau singgahi mulai dari wilayah Pidie hingga ulee glee Pidie jaya beliau datangi, beliau akan singgah di setiap tempat yang sawahnya telah panen, biasanya pada satu tempat atau gampong beliau akan tinggal selama seminggu sampai dua minggu tergantung daerah tersebut jauh atau dekat. Dalam sekali pembuatan breuh tum di kenakan biaya satu mok (kaleng susu kecil) lima ribu rupiah.


Selain bapak jailani ada juga beberapa orang lainnya yang mempunyai usaha sama seperti beliau seperti yang dikatakannya ada Bbua Noh trubue, Abua Mae Bluek, mereka semua masih melanjutkan usahanya sampai sekarang meskipun masyarakat sudah banyak yang lupa tapi dengan adanya mereka kita mengharapkan breuh tum kembali eksis seperti masa lalu.(an)


Read More

5/05/2021

Sultan Munawar Syah Dalam Sejarah Aceh

 

Foto : Makam Sultan Munawar Syah di Gampong Hagu, Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie


Panteraja merupakan daerah kawasan yang berada dalam administratif Pidie Jaya, pada masa Kesultanan Aceh Darussalam kawasan ini terdapat pelabuhan yang digunakan sebagai akses menyeberangi lautan menuju Malaka dalam melawan Portugis oleh Sultan Iskandar Muda pada masa beliau memerintah Aceh Darussalam (1607-1636 M).


Sebelum kesultanan Aceh Darussalam terbentuk, Aceh dulunya memiliki banyak kerajaan kecil dari wilayah timur hingga selatan. Beberapa dari kerajaan tersebut mempunyai pengaruh besar terbentuknya Kesultanan Aceh Darussalam seperti kerajaan Perlak yang kemudian digabungkan dengan kerajaan Samudra Pasai, Kerajaan Pedir serta Kerajaan Lamuri.


Tokoh utama dalam terbentuknya Kesultanan Aceh tersebut tidak lain adalah Sultan Ali Mughayat Syah (1514-1530 M). Beliau merupakan sultan pertama yang menyatukan Aceh dalam satu kesatuan. Beliau merupakan cucu dari seorang sultan yang sangat berpengaruh saat itu yaitu Sultan Munawar Syah yang makam beliau terletak di atas buktik Gampong Hagu, Kecamatan Pante Raja, Pidie Jaya.


Pada nisan makam beliau sebelah selatan atau kaki, baik sisi depan maupun belakangnya, terdapat tulisan menyebutkan secara terang bahwa Sultan Munawar Syah adalah putera dari Sultan Muhammad Syah Lamuri yang makam beliau terletak di Kuta Leubok Lamreh, Aceh Besar, setelah meninggalnya pada 908 H / 1503 M. “Temuan ini dengan demikian memastikan bawah kawasan situs Lamreh dan Kuta Leubok merupakan kota tinggalan sejarah kerajaan Lamuri yang pernah disebut dalam prasasti Tamil peninggalan kerajaan Chola di India Selatan (1000-1200 M) dan laporan-laporan Arabo-Persia,”kata Sukarna Putra (Wakil Ketua Cisah, 17 november 2013).


Foto : Nama-Lamuri-yang-disebutkan-pada-batu-nisan-di-Pante-Raja-Pidie-Jaya-kanan-dan-Lamuri-dalam-sebuah-karya-geografi-ditulis-Burzuk-Syahriyar-Ar-Rahmhurmudziy-pada-abad-ke-5-H. (Sumber: CISAH)


Penyebutan “Lamuri” pada epitaf nisan tersebut, menurut peneliti sejarah kebudayaan Islam, Taqiyuddin Muhammad, sejauh ini merupakan satu-satunya dan kali pertama ditemukan di Aceh. Di samping telah menyingkap suatu kenyataan sejarah yang baru bahwa indatu para penguasa Aceh dalam masa abad ke-16 adalah Sultan Muhammad Syah yang dimakamkan di Kuta Leubok, Kecamatan Mesjid Raya, Aceh Besar.


Untuk akses menuju kemakam sangat tidak mendukung, memaksa siapa saja yang hendak kesana harus melewati perkebunan warga serta jalan yang menanjak dan licin, untuk mencapai ke puncak Buket Tu membutuhkan fisik dan energi ekstra dan pastinya kondisi cuaca yang mendukung. Masyarakat sekitar menyebutnya jirat teungku meureuhom,


Foto : Kondisi komplek makam Sultan Munawar Syah di Gampong Hagu, Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie


Diatas puncak, tampak makam Sultan Munawar Syah dengan kondisi sangat memprihatinkan dan sangat jelas terlihat tidak terawat, makam yang berbentuk seperti gundukan tanah yang telah dikelilingi oleh pagar, hanya batu nisan yang berada diatasnyalah yang membedakan dengan gundukan tanah lain. Selain itu juga terdapat beberapa makam lainnya namun tidak ada penjelasan siapa empunya makam tersebut.


Kondisi ini sangat miris, seharusnya pemerintah sudah sewajarnya merawat makam tersebut serta menjaga cagar budaya agar para peziarah yang ingin kesana bisa bejalan dengan leluasa, tentunya untuk generasi  kedepan agar lebih mengetahui akan sebuah sejarah dan perjuangan dari para leluhur mereka.(an)


Foto : Salah satu nisan type yang terdapat dalam komplek makam Sultan Munawar Syah di Gampong Hagu, Kecamatan Pante Raja, Kabupaten Pidie Jaya


Read More