12/06/2021

Rapa'i Geurimpheng Warisan Budaya Dari Pidie

Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Suku bangsa di wilayah Aceh memiliki bentuk-bentuk seni budaya yang berciri khas daerah masing-masing yang menjadikan keberagaman, kekayaan dan identitas suatu daerah.  Pengaruh Islam dalam perkembangan sosial budaya masyarakat Aceh sudah terlihat sejak  berdirinya kerajaan Islam di Peureulak dan Pasai yang kemudian corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaannya. 


Keanekaragaman tersebut dapat dilihat pada seni tari, seni rupa, seni musik vokal, seni tutur maupun musik. Salah satu yang menjadi bukti nyata adalah penyebaran Rapa’i sebagai salah satu alat musik pengiring seni vokal, seni tari maupun seni musik tradisional Aceh di tiap suku-suku terlihat merata. Mulai dari wilayah pesisir Utara, pesisir Timur hinggai pesisir Barat Aceh mempunya kesenian Rapa’i seperti: Rapa’i Uroh dan Rapa’i Lagee Pase Aceh Utara, Rapa’i Geurimpheng Pidie, Rapa’i Geleng Aceh Selatan, dan Rapa’i Debus Aceh Barat. 


Seni tari Aceh menggunakan alat musik rapa’i mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri. Semula rapa’i hanya dilakukan dalam upacara tertentu yang bersifat ritual. Hal ini dicirikan dengan kombinasi yang serasi Antara tari, musik, dan sastra, ditarikan secara massal atau kelompok dengan arena terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak sederhana dilakukan secara berulang ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.


Pemilihan rapa’i sebagai alat musik kesenian Aceh bukan tanpa alasan. Hal ini sangat berkaitan dengan perkembangan sufisme di Aceh pada awal kedatangannya. Islam sufi adalah islam yang tidak mengikat diri pada hal-hal formal yang sangat kaku, lebih pada pemujaan keindahan dan pendekatan keiklasan yang universal. Ini membawa kaum sufi tidak bisa memisahkan diri dari nyanyian dan tarian. Menurut Rafli Kande tokoh seniman Aceh mengatakan semua aulia (sufi) adalah pemusik dan menyukai rapa’i bukan hanya di Aceh, namun di Timur Tengah dan Afrika, di mana tradisi sufi lahir. Rapa’i menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. 


Rapa’i masuk ke Aceh bersamaan islam masuk dan berkembang di Aceh, sehingga sufi-sufi besar Aceh masa lalu adalah para seniman, penyair, dan peyanyi. Mereka memiliki rapa’i dan mengajarkan mistiknya dengan rapa’i. Inilah kenapa menurut Rafli, musik Aceh modern harus menyertakan rapa’i dalam iramanya. Rapa’i menunjukkan identitas keislaman, kebudayaan, dan sejarah. Bagi Rafli, kalau tidak menggunakan rapa’i alam menyanyi artinya tidak mengetahui sejarah dan memahami dasar ajaran agama yang disampaikan indatu dahulu. Dalam sejarahnya, syair para sufi disampaikan dengan iringan rapa’i. Dasar nyanyian asli Aceh adalah puisi para sufi dan para ulama.


Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Rapa`i dimainkan dalam posisi duduk dengan formasi setengah lingkaran dengan gerakan-gerakan kecil. Rapa’i Geurimpheng berasal dari daerah Pidie. Musik rapa’i ini hampir sama dengan musik rapa’i Lagee, hanya disertakan dalam tarian likok dan anggok. Pertunjukan dilakukan setelah para pemain duduk berbaris atau setengah lingkaran, dipimpin seorang khalifah, melakukan atraksi dalam berbagai pola lantai disesuaikan dengan irama lagu dan tetabuhan musik rapa’i. Bentuk rapa’i tidak jauh berbeda dengan rapa’i lainnya di Aceh yaitu berdiameter antara 35 cm hingga 38 cm.


Menurut Hafifuddin berdasarkan wawancara dengan seniman rapa’i, Khairul Anwar, kesenian rapa’i geurimpeng merupakan salah satu jenis kesenian yang berkembang pesat dan diminati generasi muda. Pertunjukannya memiliki pola irama bersahutan dengan jumlah pemain ganjil; 9, 11, dan 13 orang yang disebut dengan umat/pendamping, jumlah syekh (pengatur nada) berjumlah 3 orang.


Fungsi syekh adalah pengatur tempo dan irama dengan sebutan taksa, takdua, taklhee (pukulan satu, pukulan dua, pukulan tiga). Rapa’i Geurimpeng dimainkan secara duduk setengah lingkaran dan bersila.


Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Pendukung memainkan pukulan dasar rapa’i dengan pola irama tak-dum, tak-dum dan berbagai pola lainnya. Rapa’i geurimpeng dalam permainannya juga diisi dengan chae (lagu). Rapa’i geurimpeng lebih menonjolkan permainan irama atau variasi rithem, berbeda dengan rapa’i geleng yang lebih menonjolkan atraksi permainan rapa’i atau pemanfaatan rapa’i sebagai hand property pertunjukan. Rapa’i geleng kaya variasi gerak tari. Bentuk Rapa’i geurimpeng lebih besar dari rapa’i geleng dengan diameter membrane 17 inci, sering disebutkan dengan ring 17 dan diameter belakang berkisar antara 16 inci, ketebalan baloh dua cm, dan lebar empat cm. dilengkapi oleh dua buah piringan logam kecil pada baloh kayunya, untuk menentukan tingkat kenyaringan suara rapa'i digunakan kayu rotan yang disisipkan ke dalam antara kayu dan kulit kambing tadi, maka perbedaan yang mencolok dari intensitas bunyi rapa’i geurimpheng ini adalah lebih nyaring dengan jalinan interlocking yang cepat.


Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa Syekh Ahmad Rifa’i merupakan salah seorang pengikut rombongan Syekh Abdul Kadir Jailani dari India yang mengembangkan tarekat kadiriyah yang dibawa oleh pengikutnya ke negeri Pasee dan memperkenalkan rapa’i di Aceh. Setiap berdakwah ia selalu membawa dan menabuh rapa’i untuk mengumpulkan masyarakat Aceh, masyarakat yang tidak tahu nama alat musik tersebut menyebutnya dengan nama rapa’i, sesuai dengan nama Syekh Ahmad Rifa’i, lama-kelamaan penyebutannya menjadi rapa’i.(an)


Read More

11/25/2021

Pernak-Pernik Perayaan Maulid Di Pidie

Foto : Dalong yang sudah dihias (tempat untuk menaruh  lauk pauk pada perayaan maulid).


Perayaan Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, pada 12 Rabi’ul Awal dalam penanggalan Hijriah. Kata Maulid atau Milad dalam bahasa Arab berarti lahir. Nabi Muhammad lahir pada tahun 570 M yang dikenal dengan tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun tersebut pasukan Abrahah dengan menunggang gajah menyerbu kota Makkah untuk menghancurkan Kakbah. Ibu Muhammad bernama Aminah dan ayahnya bernama Abdullah. Abdul Muthalib adalah kakeknya yang merupakan seorang kepala suku Quraisy yang memiliki pengaruh besar dalam lingkungannya. Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya telah wafat sejak Baginda dalam kandungan. Kemudian Nabi Muhammad diserahkan kepada Halimatus Sa’diyyah, hingga usia 4 tahun. Setelah itu ia kembali kepada ibu kandungnya selama kurang lebih 2 tahun sebelum akhirnya ia menjadi yatim piatu diumur 6 tahun. Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad selama 2 tahun. Setelah Abdul Muthalib wafat ia tinggal bersama pamanyanya, Abu Thalib. Nabi Muhammad merupakan tauladan bagi umat Islam, di usia mudanya ia telah dijuluki sebagai Al-Amin, orang terpercara. Dalam perjalanannya yang begitu banyak tantangan untuk menyerukan agama Allah, Nabi Muhammad juga berperan penting dalam hal kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan, kebajikan dan solidaritas.


Memperingati hari lahirnya Baginda Nabi, sebagai ekspresi rasa syukur atas nikmat iman, Islam dan ihsan yang telah diperoleh berkat perjuangan Rasulullah Muhammad Saw, umumnya di Aceh sudah menjadi tradisi masyarakat mengadakan kenduri, syukuran biasanya diadakan dalam bentuk acara makan-makan dengan menu yang sangat istimewa seraya diiringi dengan zikir shalawat sesuai dengan kebiasaan daerah masing-masing.


Walaupun Nabi Muhammad dilahirkan pada 12 tanggal Rabiul Awwal tahun 570 M di Makkah, namun tradisi Maulid tidak hanya diperingati pada tanggal tersebut saja. Para pecinta Nabi sudah memperingati momen agung ini setiap hari mulai dari awal sampai dengan akhir bulan. Bahkan ada yang melaksanakannya di luar bulan Rabiul Awal dan lebih dari itu ada pula yang menjadikan peringatan kelahiran Nabi sebagai acara di seluruh bulan.   Ini merupakan kecintaan atas anugerah datangnya manusia paling sempurna di muka bumi ini yang membawa risalah dari Allah SWT bagi manusia. Ekspresi kecintaan umat Islam di Indonesia pun diwujudkan dengan berbagai macam acara seperti pembacaan Barzanji (riwayat hidup Nabi), ceramah keagamaan, dan juga perlombaan, seperti lomba baca Al-Qur’an, lomba azan, lomba shalawat, dan sebagainya.


Foto : Masyarakat melakukan shalawatan sebelum menikmati hidangan makanan.


Ahli Tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab mengungkapkan bahwa Maulid Nabi dirayakan dengan cara meriah baru dilaksanakan pada zaman Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa kekhalifahan Al-Hakim Billah. Menurutnya, inti dari perayaan Maulid Nabi adalah untuk memperkenalkan Nabi Muhammad SAW kepada setiap generasi. Kenal adalah pintu untuk mencintai. Sehingga dengan mengenal Nabi Muhammad SAW, maka umat Muslim bisa mencintainya.


Nabi Muhammad sendiri juga memperingati kelahirannya dengan berpuasa di hari Senin. Ketika ditanya oleh sahabat, “Kenapa engkau berpuasa ya Rasul? aku berpuasa karena di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula lah aku mendapatkan wahyu pertama kali,” jawab Nabi.   Dalam artikel NU Online berjudul  Maulid Nabi Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, disebutkan beberapa dalil syar’I peringatan Maulid dari Al-Qur’an dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah dalam QS Yunus ayat 58 yang artinya, “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58).   Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 ini. Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7.


Kanduri Maulod (Kenduri Maulid) atau dengan kata lain Maulidurrasul bagi masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang ulee alam (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir, pembawa dan penyebar agama Islam. Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.


Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, maka masih ada kesempatan pada bulan dua bulan lainnya. Umumnya seluruh gampong mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan dan kesempatan dari masyarakat.


Pada hari maulid, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Masyarakat Aceh memiliki kekhasan dalam konsumsi pangan seperti ketika perayaan tradisi maulid. Istilah yang digunakan yaitu budaya memasak Kuah Belangong (kuah belanga) yaitu budaya memasak daging yang sebelumnya telah disembelih dan selanjutnya dimasak di meunasah (mushola) atau dipekarangan mesjid dalam belangga besar. Ada berpuluh-puluh belangga tergantung jumlah sapi atau kambing yang disembelih di desa. Desa yang mengundang menyediakan idang (hidangan) yang dibawa oleh setiap warganya yang berisi lauk pauk dan nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang yang disebut bu kulah. Bila perayaan maulid besar, maka warga diminta untuk menyediakan idang meulapeh (hidangan berlapis-lapis), dimana bu kulah dan lauk disusun berlapis dalam idang yang ditutup dengan tudung saja dan dibungkus dengan kain warna warni. Bila perayaan kecil, idang cukup satu lapis yang didalamnya diisi oleh bu kulah dan lauk.


Foto : Proses pembagian nasi maulid kepada masayarakat.


Dalam tradisi maulid, anak-anak yatim dan fakir miskin mendapat pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang. Tradisi tradisi maulid di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair-syair mengagungkan Allah SWT dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut-mulut remaja Dayah. dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW di Aceh. Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak acara, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sejarah agama islam untuk dijadikan sebagai ajaran oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan. Sarana prasarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i juga tidak luput dari hasil seniman-seniman remaja setempat. Bentuk-Bentuk mimbar dibuat dalam bentuk bangunan, pesawat, helikopter, mobil dan lain-lain sehingga suasana semakin semarak. Bentuk-bentuk binatang yang dibuat berupa binatang-binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW seperti unta dan laba-laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah.


Tradisi maulid sebagai adat dan budaya Aceh. Budaya dan adat pada tradisi maulid sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Di Aceh. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam. Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW pada masyarakat aceh merupakan wadah untuk silaturahmi masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Solidaritas mekanik yang terjalin dapat dilihat pada masyarakat Aceh, tradisi maulid ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah swt dan kecintaan mereka kepada Rasulullah saw serta memperkokoh ukhuwah Islamiah untuk menumbuhkan solidaritas sosial, memperkuat ikatan sosial dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relevan dengan tujuan Islam. Solidaritas organis hampir tidak terlihat dalam pelaksanaan kenduri maulid ini karena semua masyarakat berkumpul, berbagi, serta merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.


Perayaan maulid di Pidie pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Aceh, hanya saja ada saja terdapat beberapa perbedaan. Pertama dari menu hidangan, kita melihat bahwa di bahwa menu kenduri di  daerah Pidie lebih bervariasi, diantaranya seperti kuah kari, masak puteh, dan kerupuk muling (emping melinjo). Bahkan di daerah tertentu dalam pengamatan penulis, disediakan  buah-buahan seperti buah gelima Mekkah (pome), Giri, mangga, quini dan lain sebagainya. Yang uniknya lagi, di dataran tinggi Pidie (mencakup wilayah Tangse, Mane dan Geumpang) selain disediakan lauk pauk ala maulid juga ada kuliner tradisional berupa leumang.


Foto : Seorang anak sedang menunggu pembagian lauk pauk nasi maulid.


Kedua, terdapat perbedaan waktu dalam pelaksanaan pembagian nasi kenduri maulid. Di sebagian wilayah Pidie, terutama di wilayah pesisir, nasi maulid dibagikan kepada masyarakat atau undangan pada sore hari (setelah Ashar), sementara itu, dikawasan lainnya ada yg dibagikan siang hari. Tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga terdapat perbedaan. 

Ketiga, perbedaan lainnya terletak pada metode pembagian nasi maulid. Di beberapa tempat kenduri sudah dibungkus-bungkus dan dimasukkan dalam kresek, sehingga ketika pembagiannya lebih simpel. Namun, ada juga yang nasi kenduri dibungkus secara tidak lengkap, artinya masyarakat hanya membungkus nasi saja dalam daun pisang atau media lainnya, sedangkan lauk pauk dimasukkan wadah terpisah baik berupa rantang, baskom atau lainnya. Jika kenduri seperti ini maka pembagiannya menggunakan metode "caluek", pertama dibagikan nasi, kemudian bungkusnya dibuka dan menunggu panitia membagikan lauk pauknya secara bergiliran. Metode seperti ini terkadang tidak efektif, karena tidak ada kesesuai mendapatkan lauk pauk (tidak sama rata).(ay) 


Sumber :

Dara Fatia. TRADISI MAULID: PERKUAT SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT ACEH. Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran. 2020.

Muhammad Yunus. TRADISI PERAYAAN KENDURI MAULID NABI DI ACEH BESAR. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. 2020.

https://harianrakyataceh.com/2020/10/29/maulid-sejarah-tradisi-dan-dalilnya/. Diakses tanggal 4 November 2021 jam 12.00 wib.


Read More

11/05/2021

Adat Meublang



Aceh sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur yang memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-hari. Walupun seiring berjalannya waktu masyarakat sudah mulai kurang memahami antara adat dengan sebuah kebiasaan semata (reusam). Bahkan ada yang menganggap adat sebagai mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya telah berpikir maju.


Tetapi bagi sebagian masyarakat Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam kehidupan sebagai bagian dari norma kehidupan. Karena itu, bagi yang melanggar maka akan dikenakan sanksi seperti yang telah disepakati oleh  masyarakat adat tersebut, tentu saja sanksi antar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Namun, hukuman dari sebuah pelanggaran adat ialah “malu” merupakan sebuah keseragaman. Hal ini senada dengan hadih maja “meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya (‘melanggar hukum “syar’i” besar akibat, melanggar adat malu di dunia)”.


Adat meublang adalah salah satu adat yang dimiliki masyarakat Aceh. Sawah merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Aceh, dimana masyarakat dapat menggantungkan hidup dalam mencari penghasilan melalui sawah. Dalam kehidupan orang Aceh bersawah memilik sejumlah ketentuan yang sudah berlaku secara turun temurun demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Salah satunya “hanjeut teumeubang watèe padé mirah”, yang mana maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut terkena imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda atau sanksi oleh keujruen blang.


Larangan “ceumeucah lam ujeuen tunjai”, yaitu membersihkan semak belukar dan “hanjeut ceumeucah watèe rôh padé” (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal panen. Masih saat “rôh padé”, juga dilarang membawa daun nipah secara terbuka (diketahui bahwa orang-orang tua di Aceh suka mengisap rokok linting yang terbuat dari daun nipah) atau akan terkena penyakit “putéh padé” sehingga padi di sawah tidak berisi.




Tata cara turun ke sawah dalam adat masyarakat Aceh disesuaikan dengan hadih maja yaitu “keunong siblah tabue jareueng, keunong sikureueng tabu beurata, keunong tujôh padé lam umong, keunong limong padé ka dara, keunong tiga padé ka rhôh, keunong satoh padé ka tuha” (kena sebelas tabur yang jarang, kena sembilan tabur yang rata, kena tujuh padi dalam sawah, kena lima padi sudah gadis, kena tiga padi sudah berisi, kena satu padi sudah tua).


Cara bertanam atau turun ke sawah berdasarkan konsep keuneunong (menentukan keadaan Alam dan waktu untuk musim tanam, dan waktu untuk panen) ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan keuneunong digunakan dengan cara menggunakan angka 25 sebagai angka utama, lalu dikurangi dengan angka bulan Masehi dan dikali dua.


Misalnya, bulan Oktober, keuneunong yang cocok adalah 5, yaitu berdasarkan 25 – [10 x 2] sama dengan 25 – 20 dan hasilnya adalah 5 (lima).


Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan peredaran bintang, dilakukan musyawarah desa (duek pakat gampông), yang biasanya dilakukan oleh gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada masyarakat saat yang tepat untuk turun ke sawah. Demikian arifnya adat meublang di gampông-gampông yang ada di Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka, keamanan dan ketenteraman dalam gampông tak lagi diragukan.


Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga atau instansi adat yang berwenang yakni keujruen blang yang di bawahnya terdapat keujruen syik dan keujruen muda.


Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, keujruen blang  dipilih oleh masyarakat dalam mukim atau gampong tersebut, seorang keujruen blang  mempunyai tugas:


Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:


a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;

b. mengatur pembagian air ke sawah petani;

c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;

d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat

dalam usaha pertanian sawah;

e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat

meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem

pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan

f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha

pertanian sawah.(an)


Sumber : 

Keujruen Mukim Andeu, Kec Mila

Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat


Read More

10/26/2021

Kota Sigli Dalam Sejarah Kolonial

 

Foto : Bangunan dengan gaya arsitektur Eropa peninggalan kolonial Belanda, Gampong Blok Bengkel, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Sigli sebuah nama Kecamatan dan sebagai ibu kota dari Kabupaten Pidie. Luasnya kira-kira 3078 KM serta jumlah peduduk mencapai 330.359(2015), Kota Sigli dikenal sebagai Kota strategi dilalui jalur lintas Sumatra, wilayah ini dulunya ialah bengkel kereta api terbesar di Aceh tetapi sejak vakumnya perkereta-apian Aceh kota ini menjadi tidak seramai dulu.


Kota Sigli daerah yang banyak menyimpan sejarah pada masa silam, menyangkut jalinan antara Aceh dengan Bugis tak lepas dari perdagangan Nusantara terhadap awal abad 15. Sejak era kuno pelayaran dan perdagangan dari Barat dan negara Cina memerlukan pelabuhan persinggahan untuk membawa modal dan menumpuk barang, salah saut pelabuhannya ialah Kuala Pidie di Kota Sigli.


Sedikit mengulas sejarah kota perantauan mengenai banyaknya peninggalan masa lalu dari bangunan yang pernah di tinggalkan oleh para penjajah hingga penamaan desa yang unik karena mempunyai sejarah yang sangat panjang.

 

Selain penduduknya yang gemar merantau, tata kelola Kota sekarang yang amburadul menjadikan wajah Kota Sigli menjadi semrawut dan tidak seperti dulu lagi, saya sedikit mengulas balik tentang sejarah Kota Sigli pada masa kolonial Belanda.


Sejarah terus berlanjut dengan kedatangan bangsa asing ke nusantara, diantaranya Portugis, Inggris, dan Belanda. Misi dagang yang dibawa Belanda kemudian berujung dengan kekerasan bersenjata. Perang Aceh dengan Belanda pun berlangsung dalam waktu yang lama. Ketika pusat Kerajaan Aceh (Dalam) berhasil direbut Belanda pada 24 Januari 1874, serta Sulthan Alaiddin Mahmud Syah mangkat pada 28 Januari 1874 karena wabah kolera, maka pusat kerajaan Aceh dipindahkan ke Keumala, Pidie. Belanda baru bisa menguasai Aceh secara de facto pada tahun 1904, yaitu ketika Belanda dapat menduduki benteng Kuta Glee di Batee Iliek.


Kemudian dengan Surat Keputusan Vander Guevernement General Van Nederland Indie tanggal 7 September 1934, Aceh dibagi menjadi enam Afdeeling (kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Asisten Residen, salah satunya adalah Afdeeling Pidie.


Setelah Indonesia merdeka pemerintah pusat mengeluarkan undang-undang No 7 tahun 1956 tentang pembentukan Kabupaten daerah tingkat II Pidie sejalan dengan meningkatnya akitivitas pemerintahan dan pembangunan pada saat itu, maka pada tahun 1988 Menteri dalam Negeri mengeluarkan surat keputusan nomor 136.21-526 tentang pembentukan wilayah pembantu Bupati Pidie dan kota sigli sendiri termasuk dalam wilayah tersebut sebagai ibu kota yang menaungi sepuluh kecamatan di dalamnya.


Sekarang Kota Sigli tidak lagi sebagai wilayah pembantu dari Bupati Pidie dikarenakan sudah menjadi kecamatan yang berdiri sendiri dan menaungi 15 Gampong/Desa yang berada di dalam wilayahnya.


Saat belanda menguasai Kota Sigli mereka banyak mendirikan bangunan yang bergaya arsitekur Eropa, seperti bentuk bangunan yang tinggi, bengkel kereta api terbesar di Sumatra sekarang banyak dari bangunan tersebut masih berdiri kokoh dan ada pula yang sudah di hancurkan untuk perluasan Kota Sigli.


Foto : Menara Air bukti sejarah tempat penaikan Sang Saka Merah Putih oleh Rakyat Aceh di Sigli, Gampong Blok Bengkel, Kecamatan Kota Sigli. Kabupaten Pidie.


Salah satunya peninggalan Belanda yang masih bisa kita jumpai sekarang adalah sebuah water riding (tower air) ,yang berada di wilayah Blok Bengkel, dulunya bangunan tersebut di buat Belanda sebagai penampungan air, dan setelah Belanda pergi dari bumi Aceh bangunan tersebut menjadi milik PDAM.


Bangunan tersebut mempunyai sejarah yang heroik bagi Indonesia umumnya, bangsa Aceh khususnya, tower air yang berada di Blok Bengkel ini menjadi saksi pada saat Indonesia merdeka pada 17 agustus 1945, masyarakat Pidie saat itu belum mengetahui hal tersebut. Pada tanggal 26 agustus 1945 berita kemerdekaan masuk ke Aceh melalui radio, maka di kibarkanlah untuk pertama kali di Aceh bendera Merah Putih atas menara air Belanda.


Foto : Prasasti pada menara air peninggalan Kolonial Belanda, Gampong Blok Bengkel, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Selain tower air tersebut ada beberapa lagi bangunan yang masih bisa kita lihat, seperti perumahan para pekerja kereta api yang terdapat di blok bengkel, rumah milik Jendral Belanda terdapat di Blok Bengkel, serta bengkel kereta api yang sekarang di jadikan sebagai gedung olahraga (GOR) yang terdapat dalam wilayah Keramat Luar.


Itulah penjelasan sedikit dari Kota Sigli, kota para perantau di negeri orang dan penjelasan tentang beberapa Gampong (Desa) yang namanya sangat unik serta memiliki sejarah panjang bagi Kota Sigli, akan saya ulas pada kesepatan yang lain.(an)


Sumber :H M Zainuddin, Atjeh dalam Inskripsi dan Lintasan Sedjarah, Agustus 1972, Kutaradja,   Panitia Seminar Pekan Kebudayaan Aceh II.


Read More

10/05/2021

Mengenal Rumoh Adat Aceh

Foto : Rumoh Aceh Raya Bentara Blang Ratnawangsa federasi mukim XII yang di bangun pada tahun 1352 H / 1933 M, Gampong Meunasah Jurong, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Rumah ialah bangunan yang dijadikan tempat tinggal dalam jangka waktu tertentu, tempat dalam bahasa suku Aceh disebut rumoh (rumah) yang berbentuk bangunan- tradisional atau lebih tepatnya disebut Rumoh Aceh. Rumoh Aceh merupakan bangunan yang dibentuk diatas tiang-tiang bundar yang terbuat dari batang-batang kayu yang kuat. Tiang-tiang itu disebut tameh. Adapun jumlah tiang mencapai 20 hingga 24 buah yang besarnya lebih kurang 30 cm. Tinggi bangunan sampai batas lantai lebih kurang dua setengah meter, sedangkan tinggi keseluruhan bangunan itu lebih kurang lima meter.


Bagian bangunan yang berada di bawah lantai merupakan kolong terbuka karena tidak dihiasi dengan dinding. Bagian ruangan rumah yang berada di atas tiang-tiang terbagi atas tiga ruangan, yaitu ruangan depan (seuramoe keu), ruang tengah yang disebut tungai. dan ruang belakang (seuramoe likot). Ruang tengah letaknya lebih tinggi setengah meter dari pada ruang depan dan ruang belakang. Keseluruhan ruangan berbentuk empat persegi.


Pada bagian tengah dinding depan terdapat pintu masuk dan pada dinding samping kanan dan kiri terdapat jendela, sedangkan untuk mengakses atas rumah didirikan sebuah tangga dari kayu. Atap rumah yang berabung satu berbentuk memanjang dari samping kiri ke samping kanan dengan dua cucuran atap. Kedua cucuran atap berada pada bahagian depan dan belakang rumah, sedangkan perabungnya berada di bagian atas ruang tengah. Di tambah  depan rumah terdapat balai tempat duduk-duduk dan pada salah satu sudut rumah terdapat lumbung padi.


Rumoh Aceh adalah rumah yang didirikan di atas tiang- tiang sehingga bentuk rumoh Aceh dapat dilihat dari bagian bawah, bagian atas dan bagian atap. Bagian bawah berbentuk kolong rumah yang berada di bawah lantai. Kolong rumah itu berada dalam keadaan terbuka karena tidak diberi berdinding. Tinggi lantai dari rumah lebih kurang 2,3 meter bagi lantai ruang depan dan ruang belakang, dan 2,8 meter bagi lantai ruang tengah. Tinggi kolong rumah yang berada di bawah ruang depan dan ruang belakang adalah 2,3 meter, sedangkan tinggi kolong yang berada di bawah ruang tengah adalah 2,8 meter.


Pada kolong didapati deretan tiang-tiang rumah yang terdiri atas empat deretan, yaitu deretan depan, deretan tengah depan, deretan tengah belakang dan deretan belakang. Pada masing-masing deretan itu terdapat enam buah tiang. Tiang-tiang itu berderet menurut arah Timur-Barat. Jarak antara tiang dengan tiang dalam satu deretan lebih kurang dua setengah meter. Demikian juga jarak antara satu deretan tiang dengan deretan tiang yang lain.


Pada bagian depan kolong itu kadang-kadang terdapat balai tempat duduk, sedangkan pada bagian belakang terdapat kandang ayam atau itik. Namun sekarang kandang ayam itu sudah jarang ditempatkan pada kolong rumah.


Bagian atas merupakan bagian ruangan rumah. Keseluruhan ruangan Rumoh Aceh berbentuk  bujur sangkar yang dibagi atas tiga ruangan yang lebih kecil, yaitu ruang depan (serambi depan), yang disebut seuramoe keue atau seuramoe reu nyeuen (serambi bahagian tangga), ruang tengah yang disebut tungai dan ruang belakang yang disebut seuramoe likot.


Pintu rumah terdapat pada bagian tengah dinding depan. Sekarang letak pintu rumah kadang-kadang pada ujung sebelah kiri atau kanan ruangan depan. yang berukuran lebih kurang lebar 0,8 meter, dan tingginya 1.8 meter. Jendela rumah yang disebut tingkap terdapat pada dinding sebelah kiri dan kanan setiap ruangan. Tetapi rumoh Aceh terdahulu tidak menggunakan jendela.


Pada ruangan tengah (tungai) terdapat loteng yang disebut para. Para itu selain berfungsi sebagai loteng juga berfungsi sebagai tempat yang menyimpan barang-barang yang jarang digunakan atau senjata senjata tajam seperti tombak, pedang, kalawang dan lainnya.


Atap rumoh Aceh yang terbuat dari anyaman daun rumbia adalah atap yang berabung satu. Rabung itu memanjang dari samping kiri ke samping kanan, sedangkan cucuran atapnya berada di bahagian depan dan belakang rumah. Rabung rumah yang disebut tampong berada di bagian atas ruang tengah.


Ruangan tengah lebih tinggi setengah meter dari pada serambi depan dan serambi belakang. Sedangkan serambi depan dan serambi belakang sama tingginya. Oleh karena itu lantai ketiga ruangan tidak bersatu. Jadi masing-masing ruangan mempunyai lantai yang terpisah-pisah.


Pada dinding sebelah samping kanan dan kiri terdapat jendela yang berukuran lebih kurang lebar 0.6 meter dan tingginya 1 meter yang disebut tingkap. Kadang-kadang jendela terdapat juga pada dinding sisi depan. Jendela tersebut terdapat pada rumah yang berdinding papan, sedangkan pada rumah yang berdinding tepas pada umumnya tidak memakai jendela.


Diatas dinding depan bahagian luar kadang-kadang terdapat juga rak tempat meletakkan barang-barang kecil yang disebut sandeng. Pada serambi depan ini biasnya diletakkan meja tempat anak-belajar dan kursi. Pada umumnya sebagian besar rumoh Aceh tidak diperlengkapi dengan perlengkapan tersebut. Untuk tempat duduk pada umumnya menggunakan tikar yang dihampar sepanjang serambi depan tersebut. Jadi. serambi depan ini sifatnya terbuka.


Kalau serambi depan sifatnya terbuka, maka ruangan tengah sifatnya tertutup, karena di ruangan tengah ini terdapat dua buah bilik (kamar) tempat tidur. Kedua kamar tersebut masing-masing terletak di ujung sebelah kiri dan di ujung sebelah kanan ruangan tengah tersebut. Jika letak kedua kamar itu didasarkan pada kebiasaan letak rumoh Aceh, yaitu menghadap ke Utara atau ke Selatan maka kedua kamar itu masing-masing terletak di sebelah Timur dan di sebelah Barat. Sedangkan di tengah-tengah ruangan terdapat gang yang menghubungkan serambi depan dengan serambi belakang yang disebut rambat. Kedua kamar tersebut masing-masing diberi nama rumoh inong dan  rumoh anjong. Rumoh inong adalah kamar yang berada di sebelah barat sedangkan rumoh anjong adalah kamar yang berada di sebelah Timur.


Setiap masing-masing kamar terdapat jendela. Jendela untuk rumoh anjong pada dinding kamar sebelah Timur, sedangkan jendela rumoh inong pada dinding kamar sebelah Barat. Pintu kedua kamar itu terletak pada dinding yang menghadap ke ruang belakang (serambi belakang). Namun ada juga pada dinding yang menghadap ke rambat (gang).


Sebagaimana halnya dengan ruangan depan maka ruangan belakangpun tidak terdapat ruangan-ruangan kecil. Jadi ruangan belakang ini berbentuk sebuah ruangan saja. Namun ruangan belakang ini berbeda dengan ruangan depan karena ruangan belakang kadang-kadang diperlebar sedikit dengan cara menambah dua buah tiang lagi pada bahagian Timur dari ruangan belakang ini. Bagian ruangan yang ditambah ini disebut anjong atau ulee keude. Di sinilah biasanya posisi dapur. Selain penambahan ruangan di sebelah Timur, kadang masih ada lagi penambahan ruangan kira-kira satu setengah meter lagi arah ke belakang dengan cara memasang balok toi yang ujung bagian belakangnya lebih panjang satu setengah meter dari pada ukuran biasa. Yang dimaksud dengan balok toi adalah balok yang menghubungkan tiang deretan tengah belakang dengan tiang deretan belakang. Dengan memasang balok toi yang ujungnya lebih panjang satu setengah meter, maka pada ujung yang dilebihkan itu dapat disambung lagi lantai ruangan belakang itu sehingga ruangan belakang menjadi bertambah luas. Bagian ruangan yang ditambah itu kebagian belakang ini disebut tiphik. Di tempat itu biasanya disimpan kayu bakar, guci tempat air dan lain-lain.


Pada dinding ujung sebelah barat dari ruangan belakang itu terdapat sebuah jendela yang besarnya sama dengan jendela yang terdapat pada serambi depan, sedangkan pada ujung sebelah timur tidak terdapat jendela yang posisi bagian dapur.


Seperti telah dikemukakan di atas, maka sekarang ada juga rumoh Aceh yang mempunyai ruangan khusus untuk dapur yang disebut rumoh dapu. rumoh dapu  didirikan di belakang rumah dan berdempetan dengan ruangan belakang. Letak ruangan dapur tersebut lebih rendah dari serambi belakang: malah kadang-kadang berada di atas tanah. Antara ruangan belakang dengan ruangan dapur dihubungkan oleh sebuah tungai. Bagi rumah yang mempunyai ruangan dapur tersendiri tentu tidak lagi menggunakan ruangan belakang sebagai tempat kegiatan masak-memasak.


Ruangan lain yang juga dapat kita dapati dibagian luar rumah adalah ruangan balai yang disebut bale. Balai ini merupakan ruangan terbuka sebagai tempat duduk-duduk bersantai yang terdapat di depan rumah. Tinggi ruangan itu kira-kira satu meter dari tanah.


Berikut ini akan dilihat fungsi dari ruangan-ruangan yang ada.


Foto : Rumoh Aceh Raya Raja Husen Bentara Reubee yang dibangun pada tahun 1351 H 1932 M, Gampong Neulop, Kecamatan Delima, Kabupaten Pidie.

Ruangan depan adalah ruangan yang serba guna sesuai dengan keadaannya yang terbuka karena tidak berbilik-bilik. Fungsi ruangan depan antara lain sebagai tempat menerima tamu, tempat duduk untuk makan ketika ada acara-acara kenduri dan perkawinan, tempat anak anak belajar dan mengaji, tempat sembahyang dan tempat tidur-tiduran. Selain itu ruangan depan ini dipergunakan sebagai tempat tidur bagi anak-anak, terutama anak laki-laki.


Bagi rumah yang mempunyai tradisi menggunakan kursi tempat duduk, maka kursi tersebut diletakkan pada ruangan ini. Selain itu ruangan ini juga dipergunakan sebagai tempat menyimpan padi jika padi tersebut tidak muat lagi di dalam lumbung.


Ruangan tengah sebagaimana yang telah dikemukakan pada bagian terdahulu adalah ruangan yang terdiri atas dua buah bilik (kamar), masing-masing terdapat sebelah Timur dan sebelah Barat, dan sebuah gang. Oleh karena itu fungsi utama ruangan tengah ini adalah sebagai ruangan tempat tidur. Sedangkan gang yang terdapat di tengah-tengah berfungsi sebagai tempat lalu lintas antara ruangan (serambi) depan dengan ruangan (serambi) belakang.


Kamar sebelah Barat yang disebut rumoh inong biasanya ditempati oleh kepala keluarga, sedangkan kamar sebelah Timur yang disebut rumoh anjong ditempati oleh anak-anak perempuan. Jika ada anak perempuan yang sudah dinikahkan rumoh inong ditempati oleh anak perempuan tersebut, sedangkan kepala keluarga pindah ke rumoh anjong. Anak-anak yang semula menempati rumoh anjong pindah ke ruangan (serambi) belakang di ujung sebelah Barat. Selanjutnya bila ada dua anak perempuan yang sudah dinikahkan, sedangkan kepala keluarga tersebut belum mampu mendirikan rumah yang lain, maka kamar sebelah Barat diserahkan untuk anak perempuan yang tertua dan kamar sebelah Timur diserahkan untuk anak perempuan yang muda. Dalam keadaan seperti ini kepala keluarga terpaksa menyingkir ke serambi belakang bagian Barat.


Sebahagian ruangan belakang dipergunakan sebagai ruangan dapur dan ruangan tempat makan. Dapur berada sebelah Timur. Jika ruangan belakang ini menggunakan anjong atau ulee keude maka dapur diletakkan di anjong. Bahagian Barat dari ruangan belakang ini dipergunakan sebagai tempat duduk dan tempat sembahyang. terkadang tempat ini dipergunakan juga untuk tempat tidur bagi keluarga yang banyak anggota keluarga.(an)

 

Sumber :

Arsitektur Tradisional Provinsi Daerah Istimewa Aceh, 1984

wawancara keluarga Bentara Reubee

Read More

9/25/2021

Mengenali Tradisi Keumaweuh

Foto : Peuceureuemen kepada calon ayah dan ibu sebagai Filosofi menjaga kecantikan.


Dalam praktik adat istiadat di Kabupaten Pidie, terdapat suatu adat  khusus untuk memuliakan orang yang sedang hamil, adat ini dinamakan keumaweuh. Secara umum keumaweuh dapat diartikan sebagai tradisi kenduri yang dilakukan pada masa usia kehamilan tujuh bulanan, sering disebut juga dengan kenduri bu gateeng (membawa nasi untuk orang hamil).


Keumaweuh biasanya dilaksanan pada saat kehamilan pertama saja, sedangkan untuk kehamilan berikutnya tidak lagi dilakukan kenduri, hanya pelaksanaan peusijuek pada saat kehamilan ganjil, yaitu kehamilan ke tiga, lima dan tujuh. Setelah itu tidak ada lagi kenduri untuk ibu hamil.


Pelaksanaan prosesi adat istiadat bagi orang hamil dimulai pada tiga bulan usia kehamilan. Lazimnya pada masa awal kehamilan, sebagian besar ibu hamil memiliki keinginan (ngidam) untuk mengkonsumsi buah-buahan, terutama buah yang rasanya asam. Prosesi ini dinamakan dengan mee pisang lincah (membawa pisang rujak).


Foto : Tumpoe, bulukat, dan oen sinijuek sebagai alat dalam proses keumaweuh.


Menginjak usia lima bulan kehamilan dilakukan peusijuek sekaligus rah ulee. Ritual ini dilakukan dua kali, pertama pada usia lima bulanan kehamilan dan yang kedua pada tujuh bulanan (hari keumaweuh). Perbedaannya pada tahap pertama dilakukan oleh ibu pihak istri, sedangkan tahap kedua dilakukan oleh ibu pihak suami.  Masih diusia kehamilan yang sama, selang beberapa hari setelah dilaksanakan ritual peusijeuk dan rah uleei phoen, maka ibu pihak suami kembali datang dengan membawa bu chue atau bu meugantung, yaitu  nasi lengkap dengan lauk pauk untuk orang hamil.


Nasi yang dibawa diserahkan kepada ibu pihak perempuan, nasi tersebut selain dimakan untuk memuliakan besan, nantinya juga akan dibungkus daun pisang dan dibagikan kepada keluarga-keluarga pihak perempuan, jika nasi banyak turut pula dibagikan pula kepada tetangga.


Selang dua atau tiga hari berikutnya, giliran ibu pihak istri mempersiapkan bulukat (ketan) lengkap dengan ayam panggang dan tumpoe. Banyaknya ketan yang dimasak sesuai dengan jumlah beras yang dihabiskan pada saat memasak bu meugantung dahulu, misalnya keluarga suami menghabiskan beras 15 bambu, maka ketan yang persiapkan juga harus sama jumlahnya yaitu 15 bambu.


Foto : Keluarga dari pihak lelaki membawa nasi dan kue-kue sebagai bawaan kepada pihak perempuan.

Pada saat hari keumaweuh tiba, ibu pihak suami kembali menjenguk menantunya dengan membawa perlengkapan yang telah dipersiapkan. Para tokoh adat gampong dan keluarga juga ikut berpartisipasi. Prosesi ini di awali dengan memakai kain di atas kepala suami dan istri. Kemudian dilanjutkan dengan ritual peusijuek serta rah ulee tahap kedua, makna filosofis yang terkandung di dalamnya bahwa menjadi seorang ayah dan ibu tentu akan menghadapi berbagai permasalahan dan rintangan hidup, maka oleh sebab itu permasalahan yang muncul harus disikapi dengan kepala yang dingin, tidak boleh emosi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.


Kemudian dilanjutkan boh beudak (memakai bedak), boh minyeuk oek (memakai minyak rambut) dan meucereumeen (bercermin). Makna filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu menjaga kecantikan. Dan dilanjutkan dengan makan bersama dengan keluarga dan tamu undangan yang berhadir.


Dalam kenduri tujuh bulanan juga dibawa berbagai macam kue, mulai dari kue kering seperti keukarah, loyang, ruti lumpu dan sebagainya. Selain itu juga dibawa jenis  kue basah seperti timphan, tape ruboh,  leughok, boh rom-rom dan lainnya. Kue-kue tersebut dibawa tergantung kondisi keuangan, jika memiliki uang lebih maka kue yang dibawa juga banyak, begitupun sebaliknya.(ay)


Read More

9/06/2021

Mie Suree Kuliner Dari Pesisir Laweung

 

Foto : Hidangan Mie suree (mie ikan tongkol) yang siap untuk disantap, Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.


Bicara tentang kuliner Aceh, sudah pasti tidak akan pernah luput dari yang namanya Mie Aceh. Dengan aroma dan rasa khas yang nikmat selalu jadi incaran para wisatawan yang berkunjung ke Aceh. Makanan khas favorit orang Aceh ini sudah sangat terkenal hingga ke manca negara karena citarasanya. Siapa saja yang telah mencicipinya pasti akan merasa lengket dan cocok dilidah serta ingin merasakan dan menikmatinya kembali.


Bagi wisatawan yang berkunjung ke Aceh dan ingin menikmati kuliner ini, sangat mudah di jumpai karena bisa ditemukan setiap sudut kota yang ada di Aceh. Hampir semua warung kopi menyediakan kuliner ini yang bisa dipesan sesuai selera, untuk menambah rasa nikmat biasanya mie Aceh akan ditambahkan dengan daging sapi, telur ayam, udang, cumi-cumi dan kepiting. 


Mie Eungkot Suree atau yang lebih dikenal dengan "mie ikan tongkol", ada juga yang menyebutnya "Mie Suree". Mie Aceh yang satu ini punya cita rasa yang berbeda dengan yang lain karena ditambahkan ikan tongkol untuk menambah aroma dan rasa nikmatnya, sehingga mempunyai perbedaan daya tarik tersendiri dari kenikmatan dan rasanya tersebut.


Foto : Proses pembuatan mie suree (mie ikan tongkol), Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.


Bagi anda para pencinta kuliner, akan rugi rasanya jika belum menikmati kuliner khas Aceh yang satu ini. Bila ingin merasakan mie eungkot suree ini, bisa lansung datang ke Laweung, Kabupaten Pidie, Provinsi Aceh. 


Daerah ini terkenal dengan kuliner mie ikan tongkol, selain itu di tambah dengan destinasi wisata Guha Tujoh. Lokasi ini berjarak dua puluh menit perjalanan dari Kota Sigli. Untuk memudahkan, anda bisa menuju Ujoeng Pie melalui Jalan Banda Aceh – Medan, lalu masuk ke Simpang Beutong dan menuju ke Simpang 4 (empat) Laweung. 


Foto : Ikan tongkol (suree) yang sudah dibersihkan dan dipotong kecil-kecil, Ujong Pie, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie.


Salah satu tempat yang bisa anda jumpai untuk menimkati kuliner ini di "Warmindo Ungkot Suree" Laweung, tepatnya di jalan pintu masuk utama yaitu arah lorong menuju pelabuhan Ujong Pie atau Tempat Pendaratan Ikan (TPI) Ujong Pie, Laweung. 


Nah, disimpang ini akan ada sebuah warung yang di desain dengan sederhana yang bersebelahan dengan sebuah kios kelontong. Letaknya yang berada ditepi pantai menambah suasana jadi labih memikat untuk bersantai sambil menikmati gurihnya mie tongkol, apalagi kalau disuguhkan dengan minuman yang dingin-dingin, jadi makin nikmat rasanya.(an)


Read More

8/25/2021

Ie Bu Asyura Tradisi Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Sepuluh Muharram

Foto : Ibu Fauziah sedang mengaduk ie bu Asyura yang akan disantap bersama masyarakat Gampong Teupin Raya, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.


Sistem penanggalan dalam Islam terdapat 12 bulan dalam setahun, sistem ini dikenal dengan sebutan Hijriah. Hitungan bulan pertama diawali dengan  Muharram, secara umum dapat diartikan sebagai “bulan yang diharamkan atau bulan yang terdapat larangan”. Penamaan tersebut merujuk kepada kebiasaan orang-orang Arab dahulu yang melarang melakukan peperangan, pembunuhan, atau pertumpahan darah ketika datang bulan Muharram.


Setiap tanggal 1 pada bulan Muharram dihitung sebagai tahun baru dalam Islam, umat muslim diberbagai belahan dunia merayakan dengan gegap gempita. Bulan Muharram juga memiliki berbagai keistimewaan dan tradisi yang dilakukan oleh umat muslim, terutama pada hari Asyura.


Hari Asyura berasal dari akar kata “Asyara” berarti sepuluh, maknanya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari tersebut banyak memuat peristiwa-peristiwa penting para Anbiya, diantaranya: pada hari Asyura diciptakan Nabi Adam di surga oleh Allah swt, diterima taubat nabi Adam setelah makan buah Khuldi, Allah mengangkat Nabi Idris pada kedudukan yang tinggi, berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di bukit Zuhdi setelah enam bulan mengarungi banjir besar, selamat Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, tenggelamnya Fir’aun ke dasar laut Merah, dikeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan paus, selamat nabi Yusuf dari kejahatan saudara-saudaranya yang menceburkan ia dalam sumur, selamatnya Nabi Ibrahim dari siksa raja Namruz, diangkatnya Nabi Isa ke langit, disembuhkan Nabi Ya’qub dari buta, sembuhnya penyakit Nabi Ayyub setelah tujuh tahun menderita, diampuni kesalahan Nabi Daud, Allah memberikan kerajaan kepada Nabi Sulaiman, diampuni dosa-dosa Nabi Muhammad yang dahulu maupun yang akan datang, dan masih banyak peristiwa-peristiwa penting lainnya.


Foto : Ibu-ibu sedang memeras santan yang akan dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan ie bu Asyura di Gampong Teupin Raya, Kecamatan Bate, Kabupaten Pidie.


Atas dasar banyak peristiwa tersebut, maka para Nabi  melakukan puasa pada hari Asyura, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada hamba-hamba pilihan. Nabi Muhammad kemudian mensyariatkan pada umatnya bahwa setiap hari Asyura melakukan puasa,  dengan harapan agar Allah mengampuni segala dosa-dosa yang telah dikerjakan selama satu tahun.


Selain terdapat peristiwa-peristiwa penting, pada hari Asyura juga terdapat suatu tradisi yaitu masak bubur Asyura. Tradisi ini dalam kebudayaan masyarakat Muslim di Aceh dikenal dengan sebutan khanduri ie bu Asyura.


 Pelaksanaan khanduri ie bu Asyura.


Pelaksanaan khanduri ie bu Asyura (kenduri bubur Asyura) memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat di Aceh. Tradisi ini sudah menjadi warisan turun-temurun dan menjadi kearifan lokal, sehingga setiap tanggal 10 Muharram tiba maka dilaksanakan kenduri bubur Asyura.


Ie bu Asyura ini dimasak oleh kaum ibu-ibu di gampong (desa), sebelum kenduri dilaksanakan terlebih dahulu mengadakan musyawarah untuk memutuskan tempat dan mekanisme kerja. Setiap ibu-ibu melakukan patungan uang (ripee) guna membeli bahan-bahan masak bubur dan keperluan penting lainnya.


Setidaknya, untuk membuat bubur Asyura diperlukan bahan ragam jenis biji-bijian seperti: kacang hijau, kacang tanah, kacang kuning, kacang merah, jagung, sagu, beras, dan sagu. Selain itu diperlukan gula dan garam. Untuk membuat cita rasa bubur yang lebih nikmat maka dicampurkan beberapa jenis umbi-umbian, nangka, dan pisang. Bagi sebagian masyarakat di Pidie juga menggunakan santan, tetapi sebagian tempat ada juga yang cukup menggunakan air saja, tanpa menggunakan santan. Tentunya pilihan sangat tergantung pada selera masing-masing.


Foto : Bahan dalam pembuatan ie bu Asyura diantaranya jagung dan kacang merah


Proses memasak bubur terbilang masih sangat tradisional, bubur dimasak menggunakan kayu bakar, hal ini boleh jadi untuk mensiasati agar lebih hemat biaya, karena lamanya masak bubur membutuhkan waktu 2-3 jam, oleh sebab itu alternatifnya harus menggunakan kayu bakar. Bubur diaduk oleh ibu-ibu silih berganti sehingga mengental dan benar-benar matang. Apabila sudah matang maka bubur siap dibagikan kepada masyarakat.


Kenduri bubur Asyura di Pidie secara khusus dan Aceh secara umum jika dimaknai lebih jauh mengandung beberapa nilai positif. Pertama, momentum kenduri ini sebagai ajang silaturrahmi antar sesama, mengokohkan persatuan umat melalui kenduri. Kedua, pelaksanaan kenduri menjadi perwujudan dari nilai-nilai syari’at, dimana dalam Islam sangat dianjurkan agar memberikan sedekah, tentunya sedekah tidak hanya dipahami dalam bentuk uang, boleh jadi berupa makanan atau tenaga. Ketiga, kenduri bubur Asyura memberi pesan dan kesan bahwa Aceh memiliki kekayaan budaya yang wajib dilestarikan oleh generasi bangsa.(ay)

 

 

  


Read More

8/05/2021

Sekilas Sosok Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan

Foto : Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA saat dilantik sebagai Gubernur Aceh tahun 1986-1993 (doc https://id.wikipedia.org/wiki/Ibrahim_Hassan)


Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA., ialah salah satu tokoh ternama yang pernah mengisi relung ingatan masyarakat Aceh dengan beragam prestasi yang pernah ditautkan semasa hidupnya sebagai salah seorang putra berpengaruh terhadap reputasi naik turun dalam mengelola pemerintahan Aceh saat itu. 


Lelaki hitam manis ini lahir di Lampoh Weng, Pidie, Aceh pada 16 Maret 1935 dan meninggal pada 22 Januari 2007 silam (pada usia 71 Tahun).


Beliau  pernah menduduki kursi pemerintahan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Aceh periode 1986-1993, dan mempelopori Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur ‘an (LPTQ) sehingga beliau dinilai sangat berjasa dalam melahirkan generasi qur’ani di Aceh. Gerakan ini dimulai pada tahun 1989, beliau juga mengundang hafidz/hafidzah dan qari serta qariah al-qur’an dari Jakarta untuk datang ke Aceh, salah satunya, Haji Muammar ZA, qari berprestasi nasional maupun internasional selama tiga bulan di Banda Aceh, dari sinilah cikal bakal pertama Pesantren Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) resmi berdiri di Aceh tahun 1999 belakangan menyusul beberapa pesantren lain hingga saat ini.


Foto : Rumoh Aceh keluarga Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA, yang masa kecil Beliau habiskan dirumah tersebut, Lampoh Weng Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Beragam jabatan strategis pernah diembannya dalam dunia pemerintahan,  menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik periode 1993-1995, di dunia akademis pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) periode 1973-1982. Dia memperoleh gelar master bussiness of administration (MBA) di Universitas Syracause, New York pada tahun 1965 dan memperoleh gelar doktor dari almamater Institut Penelitian Beras Internasional (IRRI) di Los Banos, Filipina pada tahun 1979 dengan judul disertasinya : ”Rice Marketing in Aceh, A Regional Analysis”. 


Ikut berperan dalam dunia perpolitikan disokong oleh Golkar mengantarkan beliau menjadi Gubernur Daerah Istimewa Aceh dengan mendapatkan suara mayoritas parlemen DPRD Aceh (DPRA saat itu), menjadi simpul erat dengan kekuasaan tirani Soeharto membuat dia berkecimpung dalam keadaan kondusifitas dan konflik Aceh yang berkepanjangan. 


Dalam penerapan DOM di Aceh beliau menjadi salah seorang yang dimintai keterangan oleh Parlemen Jakarta melalui panitian khusus-nya setelah setahun Presiden Soeharto lengser.


Perjalanan panjangnya menjadi motivasi tersendiri bagi generasi Aceh selanjutnya, semangat menuntut ilmu hingga menduduki jabatan penting di daerah hingga nasional patut diacungi jempol sebagai generasi emas Aceh yang pernah berkilau pada masanya, terlepas dari kontroversi yang melibatkan namanya. Karena itu adalah konsekuensi dalam menentukan sikap dan namamu tetap pernah mengisi relung sejarah Aceh.(ma)


Read More

7/26/2021

Khanduri Glee Silaturrahmi Yang Harmonis Antar Masyarakat Gampong Kulee

 

Foto : Para tetua adat Gampong Kalee sedang mendengar sedikit arahan dari Camat Kecamatan Batee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie

Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat majemuk dalam berbagai multi dimensi yang kaya akan adat dan budaya serta kearifan lokal lainnya, keanekaragaman budaya dan kebiasaan tersebut masih dilakukan secara turun temurun hingga saat ini. Bahkan generasi muda sekarang tidak mengetahui sejak kapan kebiasaan itu dimulai. 


Salah satu kearifan lokal yang masih bertahan hingga sekarang ialah pelaksanaan khanduri Glee (Khanduri Seuneubok), warisan tersebut biasanya dilakukan menjelang mebuka lahan untuk bercocok tanam.


Komunikasi ritual dipahami sebagai kegiatan berbagi, berpartisipasi, berkumpul dan kepemilikan akan keyakinan yang sama (earey,1989).”


Khanduri Glee merupakan ritual masyarakat Aceh yang mendiami ladang, perkebunan dan perbukitan yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta juga sebagai media penyampaian pesan kepada masyarakat mengenai pelaksanaan bercocok tanam. Adat ini dilaksanakan setiap bulan maret tahun masehi, dan biasanya diadakan pada hari senin atau hari kamis.


Setiap masyarakat yang memiliki ladang dan hendak menanam, terlebih dahulu untuk ikut berpartisipasi dalam acara khanduri glee, keikutsertaan ini didasarkan atas perintah dari “Peutua Glee/Pawang Glee” (lembaga adat aceh yang khusus mengurusi di bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan).


Dua minggu menjelang pembukaan ladang para petua glee dan anggotanya akan meninjau lokasi untuk pelaksanaan kenduri serta memberikan seruan kepada para petani sebelum turun ke ladang. Jabatan petua glee sebagai ketua bidang kehutanan sangat disegani dan dipatuhi oleh petani setempat karena pada saat penanaman di ladang dan hal lainnya perlu musyawarah dari petuah glee.


Foto : Ibu-ibu sedang menyiapkan masakan untuk disantap bersama-sama pada khanduri glee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Pelaksanaan kenduri di mulai dengan menyembelih seekor lembu, seluruh petani dan masyarakat sekitar di undang untuk memasak dan menikmati khanduri glee secara bersama-sama tak lupa juga disertai dengan baca doa yang dipimpin oleh pemuka atau tengku daerah tersebut  yang bertujuan agar tanaman bebas dari penyakit dan serangan hama. Bagi setiap petani yang bercocok tanam akan mendapat bagian jatah daging sapi yang di bagi oleh peutua glee.


Tujuan lain dari khanduri glee ialah untuk mewujudkan terbangunnya silaturrahmi yang harmonis antar masyarakat. Barang kali ada diantara masyarakat jarang berjumpa, maka dengan adanya acara seperti ini masyarakat gampong saling bertegur sapa, lain dari itu pula nilai yang terkandung adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas rezeki yang telah Allah swt berikan.


Dahulu khanduri ini berlangsung beberapa kali dalam setahun namun tidak dikoordinir oleh peutua glee tapi dilaksanakan oleh ketua lhok bersama dengan beberapa aneuk seuneubok, sedangkan untuk sekarang khanduri glee di lakukan sekali dalam setahun dan langsung dikoordinir oleh peutua glee. Seperti khanduri glee yang di lakukan oleh masyarakat Gampong Kulee, Kecamatan Batee, dalam kegiatan tersebut masyarakat Gampong Kulee sangat antusias melaksanakan khanduri glee.


Seperti yang sudah di jelaskan dua minggu sebelum hari yang telah di tentukan masyarakat terlebih dahulu telah di beritahukan oleh peutua glee, dan satu hari sebelum khanduri glee  di laksanakan masyarakat bersama-sama mengadakan meuseuraya (gotong-royong) pada tempat yang akan di laksanakan khanduri. 


Foto : Ibu-ibu sedang menyiapkan masakan untuk disantap bersama-sama pada khanduri glee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Setelah sampai pada hari yang telah disepakati, baik masyarakat Gampong Kulee maupun warga sekitar dan tamu undangan akan bersama-sama ke tempat khanduri di adakan, yaitu di atas bukit yang terdapat sebuah makam diatasnya dan masyarakat menyebutnya makam cot mane.


Acara ini dimulai pukul 10 pagi, acara khanduri glee di laksanakan dengan pertama dilakukannya pemotongan sapi dan selanjutnya di bagikan kepada warga yang akan turun ke ladang untuk di masak secara bersama-sama. Dalam kegiatan tersebut Teungku memimpin acara langsung memulai membacakan yasin dan zikir kemudian di ikuti oleh semua warga yang hadir, selama satu jam masyarakat larut dalam doa dan zikir yang dipimpin oleh Teungku Imum, setelah kegiatan membaca yasin dan doa bersama selesai selanjutnya dilanjutkan dengan acara makan bersama dan acarapun selesai.


Itulah sedikit penjelasan dalam kegiatan khanduri glee yang di laksanakan di Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, semoga saja kedepannya budaya khanduri glee tersebut tetap terjaga kelestariannya agar generasi Pidie selanjutnya masih bisa melihat dan mengenal budaya dan adat yang diwarisi oleh indatoe kita terdahulu.(an)

 


Read More

7/05/2021

Kuala Gigieng Pidie Sebagai Bandar Transaksi Perdagangan Abad Ke-15

 

Foto : Makam Lahuda (Tuan Besar) yang terletak di depan masjid tua Syaikh Burhanuddin Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Salah satu pesisir pantai utara Pidie ialah kawasan Kuala Gigieng Peukan Lheu. Sejak abad ke-15M daerah ini sudah ramai disinggahi oleh pedagang-pedagang Islam yang disebut dengan sebutan “Lahuda”, atau kelompok tuan besar dalam melakukan transaksi barang dagangan.


Nama Gigieng berarti tempat kegiatan transaksi perdagangan (Peukan Gigieng) yang berasal dari bahasa India yang berarti “Kota Perdagangan” (Reza Fahlevi, 2016: 2). Oleh sebab itu Gigieng dikenal sebagai pusat perniagaan/ bandar para saudagar-saudagar Islam yang berasal Gujarat India. Selain itu Gigieng juga beroperasi sebagai pusat kegiatan penyiaran Islam di Pidie, sejak menjadi obor Islam dunia pada abad ke-9 sampai 14 Masehi ketika orang-orang Arab menguasai Gibraltar Spanyol seperti yang telah dituliskan dalam bukunya “Penaklukan Muslim Yang mengubah Dunia” (Kennedy, 2015: 394).


Secara umum perdagangan yang dilakukan pedagang muslim dapat digambarkan sejak mula  berdatangan ketempat pusat perdagangan, kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal dipusat transaksi barang, baik sementara atau menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan (Fahzian Aldevan, 2014: 1). 


Peukan Gigieng (Keudee Gigieng) merupakan salah satu teluk lalu lalang kapal-kapal tongkang atau para pedagang Islam asal Gujarat India serta Canton Cina dewasa itu (Reza Fahlevi, 4 Juni 2016). 


Pada awal abad ke 15 M, munculnya Gigieng Pidie dalam kancah perdagangan di Selat Malaka tidak terlepas dari faktor geografis, bahwa Gigieng sangat mendukung faktor lalu lintas pelayaran para pedagang Muslim dari Arab, India, dan Cina, yang berkaitan erat dengan banyaknya kapal-kapal saudagar asing yang berniaga dipelabuhan Kuala Lheue/Gigieng dan nusantara kala itu.


Foto : Kuala Gigieng di padati boat nelayan, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Penjual dan pemilik toko toko tersebut ialah pengusaha dari Arab, India dan Cina mulai dari Gigieng sampai ke Kuala Peukan. Berdasarkan konstektual historis dan arkeologi yang ditemukan yaitu lempingan pecah belah dan makam Lahuda, besar dugaan bahwa Kuala Gigieng pada abad ke-15 M terkenal sebagai pusat aktifitas perdagangan Islam dari bangsa Arab, Gujarat, Benggala (India), dan Cina yang hijrah ke Gigieng untuk melakukan transaksi jual beli atau bongkar muat barang dewasa itu. 


Dengan mengutip sumber dari Abdul Jalil seorang penjual kain di Gigieng disampaikan bahwa “di Gigieng Polo Gang ada satu makam Lahuda (Nahkoda) seorang pedagang terkaya asal Gujarat, profesinya dibidang transaksi barang-barang dagangan”, juga memperoleh keterangan dari Teungku Ibrahim Khatib Gigieng bahwa “Lahuda di Gigieng sebagai pedagang dan penjual pecah-belah serta pengusaha emas. Lokasinya di depan SDN 2 Gigieng sekarang, dahulu ada toko-toko besar terbuat dari bangunan kayu atau bangunan Lheue.


Selain dipusat Gigieng, selanjutnya H.M. Jamil mengemukakan bahwa untuk wilayah Gigieng Peukan Tuha, kala itu juga tersedia rute keluar-masuk armada tongkang ke gudang untuk bongkar muat barang-barang di dermaga jembatan Keuranji. Sehingga nama gudang tersebut lahir satu kampung namanya “Keude Peukan Tuha”. Di lokasi inilah Gigieng dijadikan pusat penyimpanan barang-barang dagangan, yang dipasok dari negeri Arab, India dan Cina. Di sini pula tersedia tempat penginapan khusus saudagar-saudagar besar atau tuan besar, asal Gujarat India. Menurut keterangannya di Gampong Keude Peukan Tuha dan Blang Pantee, ada bekas Tongkang tenggelam di lokasi jalur Jembatan Keuranji” yaitu sewaktu masih jayanya Gigieng bahwa Jembatan Keuranji, bisa menghubungkan antara gedung Peukan Tuha, dengan Lampoih Weng/Pulo Raya, terus menghubungkan ke Gigieng sebagai pusat transaksi perdagangan hingga ke Kuala Peukan Lheue dewasa itu (Sumber, H.M. Jamil; 14 Agustus 2019).


Secara historis dan arkeologi, ditemukan sebuah makam daerah Gigieng Pidie tetapi tanpa tulisan di batu nisan Lahuda (Tuan Besar). Beliau adalah seorang saudagar kaya dan mubaligh Islam, berasal dari Gujarat (India). Selama transaksi barang dagangan di Gigieng, beliau pernah menikah (kawin) dengan seorang gadis setempat. Namun tidak mewariskan keturunannya dan makam terletak disamping suaminya. Menurut teori Gujarat bahwa kegiatan Islam salah satunya melalui perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita setempat yang memiliki jalinan baik, lalu diteruskan dengan perkawinan antara penduduk setempat dengan para pedagang Islam yang kemudian wanita tersebut masuk Islam (Fahzian Aldevan, 2014: 1).


Foto : Makam Lahuda (Tuan Besar) yang terletak di depan masjid tua Syaikh Burhanuddin Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie


Seperti halnya Lahuda (pedagang besar) salah seorang dari golongan pembawa Islam ke Aceh (Gigieng) dengan melalui jalan perdagangan. Menurut kajian Husaini Ibrahim (2014: 5) dijelaskan bahwa “Mereka (dia) membawa Islam ke Aceh sambil berdagang dan mendakwahkan Islam sambil menunggu musim angin yang baik melalui hubungan perdagangan, yang kebanyakan pedaganga-pedagang itu berasal dari India yang datang berniaga ke Aceh dan kawasan lainnya di Asia Tenggara”. Hal ini dapat juga dihubungkan dengan perkembangan hubungan antara Gujarat, Gigieng Pidie, Samudra Pasai dan kawasan Asia Tenggara yang sudah merupakan daerah sibuk pada saat itu. Kemajuan pedagang muslim yang didukung oleh mubaligh berkaitan erat dengan perkembangan perdagangan internasional lewat Selat Malaka sejak abad ke-7 dan ke-8 M, sehingga sejumlah tempat di Nusantara boleh jadi telah dikunjungi oleh pedagang-pedagang Muslim (Uka Tjandasasmita, 2009: 17). Hubungan antara Muslim Gujarat di pantai utara Aceh dan Kepulauan Nusantara sebagai poros India dan Tiongkok yang telah memainkan peranan penting dan mencapai puncak pada abad ke-15 M.



Konon dari hal tersebut bahwa pedagang-pedagang Islam, asal dari Gujarat (India) sudah mewarnai unsur budaya dan bahasa di sekitar Gigieng, Pidie, Gajah Aye, Laweueng sampai Aceh Besar. Misalnya sampai dewasa ini nama-nama warga dan tempat di Gigieng Pidie masih mewarnai unsur dari bahasa Gujarat, Benggala asal India, seperti sebutan orang dagang, orang keling, juga ada gelar Habib dan Sab. Warga Gigieng dan Pidie umumnya suka memakai pakaian merah dan kuning serta hitam. Suka makan sirih dan memainkan Rapa’I dan seudati. Masakan juga mirip sekali resep gulai-gulai India banyak memakai kunyit, cabe dan ketumbar (Miala, 1970: 6). Aktifitasnya yang digemari adalah “Berdagang dan Berjualan”. Dimana mereka bermukim tentu akan membuka usahanya atau rumah makan dengan masakan khas yaitu kari ala Hindustan dan rumah-rumah makan diabadikan adalah “Warung Gigieng dan Warung Mantak”. Selain itu bahwa warga Gigieng suka sekali berjualan rempah-rempah, tidak hanya di Sigli, tetapi disejumlah kota-kota di Aceh; Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe dan Langsa.(an)


Read More