9/25/2021

Mengenali Tradisi Keumaweuh

Foto : Peuceureuemen kepada calon ayah dan ibu sebagai Filosofi menjaga kecantikan.


Dalam praktik adat istiadat di Kabupaten Pidie, terdapat suatu adat  khusus untuk memuliakan orang yang sedang hamil, adat ini dinamakan keumaweuh. Secara umum keumaweuh dapat diartikan sebagai tradisi kenduri yang dilakukan pada masa usia kehamilan tujuh bulanan, sering disebut juga dengan kenduri bu gateeng (membawa nasi untuk orang hamil).


Keumaweuh biasanya dilaksanan pada saat kehamilan pertama saja, sedangkan untuk kehamilan berikutnya tidak lagi dilakukan kenduri, hanya pelaksanaan peusijuek pada saat kehamilan ganjil, yaitu kehamilan ke tiga, lima dan tujuh. Setelah itu tidak ada lagi kenduri untuk ibu hamil.


Pelaksanaan prosesi adat istiadat bagi orang hamil dimulai pada tiga bulan usia kehamilan. Lazimnya pada masa awal kehamilan, sebagian besar ibu hamil memiliki keinginan (ngidam) untuk mengkonsumsi buah-buahan, terutama buah yang rasanya asam. Prosesi ini dinamakan dengan mee pisang lincah (membawa pisang rujak).


Foto : Tumpoe, bulukat, dan oen sinijuek sebagai alat dalam proses keumaweuh.


Menginjak usia lima bulan kehamilan dilakukan peusijuek sekaligus rah ulee. Ritual ini dilakukan dua kali, pertama pada usia lima bulanan kehamilan dan yang kedua pada tujuh bulanan (hari keumaweuh). Perbedaannya pada tahap pertama dilakukan oleh ibu pihak istri, sedangkan tahap kedua dilakukan oleh ibu pihak suami.  Masih diusia kehamilan yang sama, selang beberapa hari setelah dilaksanakan ritual peusijeuk dan rah uleei phoen, maka ibu pihak suami kembali datang dengan membawa bu chue atau bu meugantung, yaitu  nasi lengkap dengan lauk pauk untuk orang hamil.


Nasi yang dibawa diserahkan kepada ibu pihak perempuan, nasi tersebut selain dimakan untuk memuliakan besan, nantinya juga akan dibungkus daun pisang dan dibagikan kepada keluarga-keluarga pihak perempuan, jika nasi banyak turut pula dibagikan pula kepada tetangga.


Selang dua atau tiga hari berikutnya, giliran ibu pihak istri mempersiapkan bulukat (ketan) lengkap dengan ayam panggang dan tumpoe. Banyaknya ketan yang dimasak sesuai dengan jumlah beras yang dihabiskan pada saat memasak bu meugantung dahulu, misalnya keluarga suami menghabiskan beras 15 bambu, maka ketan yang persiapkan juga harus sama jumlahnya yaitu 15 bambu.


Foto : Keluarga dari pihak lelaki membawa nasi dan kue-kue sebagai bawaan kepada pihak perempuan.

Pada saat hari keumaweuh tiba, ibu pihak suami kembali menjenguk menantunya dengan membawa perlengkapan yang telah dipersiapkan. Para tokoh adat gampong dan keluarga juga ikut berpartisipasi. Prosesi ini di awali dengan memakai kain di atas kepala suami dan istri. Kemudian dilanjutkan dengan ritual peusijuek serta rah ulee tahap kedua, makna filosofis yang terkandung di dalamnya bahwa menjadi seorang ayah dan ibu tentu akan menghadapi berbagai permasalahan dan rintangan hidup, maka oleh sebab itu permasalahan yang muncul harus disikapi dengan kepala yang dingin, tidak boleh emosi dalam menyelesaikan permasalahan keluarga.


Kemudian dilanjutkan boh beudak (memakai bedak), boh minyeuk oek (memakai minyak rambut) dan meucereumeen (bercermin). Makna filosofis yang terkandung di dalamnya yaitu menjaga kecantikan. Dan dilanjutkan dengan makan bersama dengan keluarga dan tamu undangan yang berhadir.


Dalam kenduri tujuh bulanan juga dibawa berbagai macam kue, mulai dari kue kering seperti keukarah, loyang, ruti lumpu dan sebagainya. Selain itu juga dibawa jenis  kue basah seperti timphan, tape ruboh,  leughok, boh rom-rom dan lainnya. Kue-kue tersebut dibawa tergantung kondisi keuangan, jika memiliki uang lebih maka kue yang dibawa juga banyak, begitupun sebaliknya.(ay)



Baca Juga:



EmoticonEmoticon