1/25/2022

Hubungan Teungku Lam Alieng Dan Mukim Kunyet

Foto : Komplek makam Teungku Lam Alieng beserta beberapa pengikutnya di jalan lintas Padang Tiji-Reubee, Mukim Peudaya, Kecamatan Padang Tiji.
 

Dahulu para pendatang membuka kebun baru, ketika sedang membersihkan lahan mereka menemukan inoeng kunyet (induk kunyet) sebesar guci (drum 200liter) di Gampong Dayah Tanoh oleh karena penemuan tersebut menjadikan nama daerah dengan sebutan Kunyet.


Hutan dalam wilayah Mukim Kunyet saat itu sangat lebat merupakan kawasan binatang buas  seperti harimau. Akibat pembukaan lahan untuk pemukiman dan perkebunan, harimau turun ke perkampungan dan memangsa ternak kerbau, sapi dan kambing milik masyarakat Mukim Kunyet. Pengelolaan sumber daya alam saat itu berada di bawah penguasaan dan pengawasan mukim.


Masa Belanda hingga Indonesia Merdeka


Pada masa pertama kali Tengku Nyak Raja menjabat sebagai Ulee Balang. Kala itu  penduduk Mukim Kunyet masih sedikit yang tersebar di 15 gampong, mata pencaharian penduduk pada pertanian padi sawah, ternak kerbau dan sapi, juga digalakkan menanam lada dan lada dari Mukim Kunyet terkenal mempunyai kualitas tinggi.


Pada tahun 1874 daerah ini terkena wabah penyakit taeun ija bro’k (peulaweu) atau kolera. Sebutan ini Karena virus mematikan pada masa itu menjadikan kain-kain kotor sebagai sarang dan kemudian menular pada manusia. Penyakit yang menghantui masyarakat di Mukim Kunyet selama lebih kurang 30 hari menyebabkan meninggal dunia tiga hingga lima orang per hari.


Hagu Baroh merupakan benteng pertahanan pasukan Aceh di wilayah Padang Tiji sekitar tahun 1910, yang pada saat itu pasukan telah mundur lebih kedalam karena pasukan Belanda terus menyerang. Belanda memusnahkan Gampong Hagu Baroh tanpa ada yang tersisa bangunannya sehingga penduduk terpaksa meninggalkan gampongnya. Tidak terkecuali benteng pertahanan yang dikomandoi oleh Teungku Lam Alieng dihancurkan oleh pihan Belanda. Banyak pasukan Muslim Aceh dibunuh termasuk Teungku Lam Alieng dengan cara diseret oleh kuda. Teungku Lam Alieng berasal dari Gampong Lam Alieng, Mukim Glie Yeung Kuta Cot Glie, Aceh Besar dan meninggal di Hago Baroh Mukim Kunyet. Makam Teungku Lam Alieng beserta dua pengawalnya sekarang terletak dipinggir jalan Padang Tiji-Reubee tepatnya di Mukim Peudaya.


Foto : Terdapat dua makam dalam komplek makam Teungku Lam Alieng dan salah satunya makam Beliau.


Penetapan Batas Wilayah Mukim Kunyet berdasarkan Penentuan oleh Ulee Balang.


Tengku Muhammad Daud dari Gampong Meunasah Baro Kunyet terpilih menjadi imuem mukim Kunyet. Pemilihan imum mukim dilakukan secara langsung oleh masyarakat Mukim Kunyet sebanyak 14 gampong. Sistem pengelolaan Sumber Daya Alam (SDA) mulai ditata dari perkebunan yang diatur oleh petua Seuneubok, hutan diatur oleh pawang uteun, namun demikian masyarakat belum memanfaatkan sumber daya hutan untuk penghidupan. Pada masa ini gangguan harimau masih sering terjadi sehingga banyak ternak masyarakat yang mati dimangsa oleh harimau.

Karena kesuburan lahan di Mukim Kunyet, banyak masyarakat dari luar Mukim Kunyet datang membuka lahan dan menetap di Mukim Kunyet sehingga jumlah penduduknya semakin bertambah. Pengairan persawahan masih mengandalkan tadah hujan sehingga musim tanam hanya bisa dilakukan setahun sekali dengan menanam padi lokal, sebelum turun ke sawah masyarakat lebih dahulu mengadakan khanduri blang guna berdoa memohon pada yang maha kuasa agar hasil produksi padi melimpah dan tidak ada kendalanya. Kebiasaan melakukan khanduri blang terus dilakukan sebelum turun ke sawah. Namun saat itu masyarakat sering gagal panen karena kekurangan air pada masa penanaman padi sawah. Lahan petanian sawah padi sering dilanda hama dan penyakit tanaman padi seperti sering terserang hama burung tulo, hama babi, geusong dan tikoh (tikus).

Peranan lembaga adat seperti pawang uteun dan keujruen blang terus ditingkatkan untuk mengatur Sumber Daya Alam (SDA) atau pemanfaatan lahan di Mukim Kunyet dampaknya perkebunan semakin berkembang dan pada saat itu masyarakat sudah mulai menanam durian di samping tumbuhan lada yang berkembang sangat baik. Kayu belum merupakan komoditi yang diperjual belikan masih digunakan sebagai kebutuhan pribadi dan kebutuhan untuk pembangunan fasilitas di gampong atau mukim.
Pada masa Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) Tahun 1953-1956 Mukim Kunyet dijadikan markas oleh pasukan DI/TII di Paya Reube sehingga sering terjadi pertempuran antara pasukan DI/TII dengan TNI bahkan sampai menggunakan pesawat tempur dan alteleri berat lainnya.

Tahun 1956-1960 Mukim Kunyet dipimpin oleh Imuem Mukim Teungku Sofyan. Masa jabatan beliau ini terus menggalakkan kegiatan-kegiatan sosial dan budaya yang telah dilakukan sebelumnya. Karena Aceh masih dilanda konflik DI/TII maka tidak banyak perubahan di Mukim Kunyet. Pada saat ini juga harga lada cukup tinggi sehingga masyarakat semakin menggalakkan tanaman lada.

Tahun 1960-1970 Teungku Madan menjabat sebagai Imuem Mukim. Pada masa ini terjadi gejolak perang Partai Komunis Indonesia (PKI), namun aktivitas masyarakat berjalan seperti biasa. Pernah terjadi gempa besar sebelum pemberontakan PKI.

Seiring bertambahnya penduduk dan kebutuhan semakin meningkat, masyarakat mulai memanfaatkan hutan sebagai sumber mata pencaharian. Pembukaan lahan hutan tersebut digunakan sebagai lahan perkebunan. Hasil tanaman buah-buahan seperti durian, langsat dan rambutan cukup banyak. Dari hasil produksi pertanian  ini dapat meningkatkan pendapatan ekonomi masyarakat.

Tahun 1970-1980 masa ini wilayah Mukim Kunyet ditempatkan pos militer untuk meredam konflik keamanan yang sering terjadi. Namun aktivitas masyarakat tetap sebagaimana biasanya dan masih bisa melakukan kegiatan pertanian berkebun di wilayah dekat dengan hutan.

Pada masa ini harga komoditas cengkeh dimonopoli oleh Tommy Suharto anak dari presiden Suharto melalui Badan Penyangga Penjualan Cengkeh (BPPC), sehingga harga komoditas menjadi anjlok dan  banyak kebun cengkeh ditinggalkan oleh masyarakat.

Banyak tanaman lada yang mati akibat banyak hal salah satunya karena penyakit, oleh karena itu harga lada mulai menurun sampai akhirnya tanaman lada ditinggalkan oleh masyarakat Mukim Kunyet. Dampak menurunnya harga lada, ekonomi masyarakat semakin tidak menentu. Keadaan ini diperburuk karena masa ini hasil pertanian sawah juga tidak begitu baik akibat kekurangan air di sawah dua kondisi ini mengakibatkan terjadinya kekurangan pangan di Mukim Kunyet. 

Selanjunya pemerintahan mukim mulai kurang beperan seiring pemberlakuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa dan camat dari Kecamatan Padang Tiji telah menghapuskan keberadaan lembaga mukim.(an)

Read More

1/05/2022

Syaikh Abdullah Tiro

Foto : Komplek makam Teungku Syaikh Abdullah Tiro Gampong Pante Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Muhamad Saman atau yang lebih dikenan dengan sebutan Tgk Chik Di Tiro adalah putra dari Tengku Sjech Abdullah anak Tengku Sjech Ubaidillah dari kampung Garot negeri XII Mukim Samaindra, Pidie. Ibunya bernama Siti Aisyah, putri dari Tengku Sjech Abdussalam Muda Tiro anak Leube Polem Tjot Rheum, kakak dari Tgk Chik Muhammad Amin Dajah Tjut. Ia lahir pada tahun 1836 Masehi, bertepatan dengan 1251 H / 1836 M di Dajah Krueng kenegerian Tjombok Lamlo (Kota Bakti) (Zentgraff, 1982: 29).


Komplek makam Teungku Abdullah tiro berada di gampong Pante Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie, terletak dalam sebidang tanah di samping irigasi Krueng Baro. Dalam komplek  tersebut selain makan teungku Abdullah juga terdapat sepuluh makam lainnya yang merupakan keluarga dari beliau.


Foto : Selain makam Teungku Syaikh Abdullah Tiro terdapat juga beberapa makam dari keluarga beliau, Gampong Pante Garot, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Hingga saat ini masih tersimpan arakata atau silsilah keturunan beliau yang disimpan oleh ahli waris. Bagian atas kertas tertulis: Silsilah Keturunan Alm. Tengku Chik di Tiro, bagian bawah kertas tertera sejumlah tanda tangan. Camat Indrapuri, Muhammad Jahja Amin; Bupati Aceh Besar, Ibrahim, dan Abdul Wahab Umar Tiro selaku pihak keluarga, yang mana pada keterangan di atas tanda tangan pada kertas tersebut tertulis, “di perbuat oleh Tjitjit (anak dari tjutju) Alm. Tgk. Sjhik di Tiro”.


Teungku Chik di Tiro mempunyai lima putra dan satu putri, yaitu Teungku Mat Amin, Teungku Mahidin, Teungku di Tungkob, Teungku di Buket (Teungku Muhammad Ali Zainul abidin), dan Teungku Lambada, dan seorang putri bernama Fatimah. semasa kecil beliau hidup dalam masyarakat kaum agama dan bergaul dengan ayahnya yang mengajar bermacam-macam ilmu di Garot. Setelah berusia 15 tahun ia pindah belajar pada pamannya Teungku Chik Dayah Tjut di Tiro dalam bermacam ilmu. Kemudian pindah belajar pada Teungku Muhammad Arsyad (Teungku Chik di Jan Ie Leubeu). Setelah itu, ia melanjutkan menuntut ilmu pada Teungku Abdullah Dajah Meunasah Blang, selanjutnya beliau belajar pada Teungku Chik Tanjung Bungong di Tanjung Bungong. Tidak berhenti disitu  Teungku Chik di Tiro belum puas terhadap ilmu yang didapatnya selama ini. Kemudian beliau pergi ke Lam Krak, Aceh Besar untuk memperluas wawasan dan pandangannya. Setelah dua tahun di sana beliau kembali ke Tiro lalu mendirikan sebuah dayah di Pante Garot dan mengajar bersama pamannya Teungku Dayah Tjut guna untuk mengajarkan dan memperkuat bermacama macam ilmu agama yang telah beliau pelajari sebelumya, beliau juga sangat dikenal sebagai ulama yang pernah jaya pada masanya.


Satu hal yang unik dalam penamaan keluarga besar Tiro yaitu menamai nama anak dan cucu mereka dengan nama yang sama dari nama buyut yang hidup pada zaman dan generasi yang sebelumnya. Bahkan hingga kini hal tersebut masih berlaku dalam keluarga besar ini.(an)


Foto : Silsilah keturunan Syaik Abdullah Tiro


Read More