7/05/2022

Kupiah Meukeutop

Foto : Pengrajin Kupiah Tungkop sedang mengerjakan peuneukap kupiah meukeutop di Gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.


Kabupaten Pidie terletak diantara 04,30° sampai dengan 04,60° garis lintang utara dan 95° sampai 96,20° garis bujur timur, dengan batas sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatas dengan kabupaten Aceh Barat, sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah Timur berbatas dengan kabupaten Pidie Jaya. Luas kabupaten menurut monografis 3.562,14 km2 yang dibagi ke dalam 23 kecamatan, 94 kemukiman dan 732 desa atau gampong dengan penduduk 378.278 jiwa (Aceh dalam Angka : 2010).


Masyarakat Aceh pada umumnya telah lama mengenal dan menggunakan penutup kepala atau topi, baik untuk pakaian sehari-hari maupun upacara adat. Penutup kepala laki-laki dalam bahasa Aceh telah dikenal sejak dahulu berupa kupiah meukeutop, sejenis kupiah yang biasanya dipakai para santri di pesantren dan orang yang beribadah haji. Pada masa kerajaan Aceh pada umumnya lelaki Aceh memakai kupiah meukeutop, seorang bangsawan menggunakan kupiah dengan ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kupiah yang digunakan oleh rakyat biasa. Seperti kupiah meukeutop yang digunakan oleh Teuku Umar, dan Teuku Panglima Polem pada saat berjuang. Akan tetapi pada masa sekarang kupiah meukeutop tidak lagi dipakai oleh bangsawan maupun rakyat biasa dalam kehidupan sehari-hari, pemakaian kupiah meukeutop sekarang khusus pada acara-acara adat perkawinan, sunnah Rasul dan acara-acara adat lainnya.


Sejauh ini belum diketahui pasti sejak kapan penutup kepala laki-laki masyarakat Pidie ini mulai dikembangkan. Namun khusus penutup kepala jenis ini sudah dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1637). Kemudian pada abad ke-19 M, kupiah ini juga telah dipakai oleh tokoh-tokoh pahlawan Aceh seperti teuku Umar, Teuku Panglima Polem, dan Kepala-kepala Sagi di Aceh lainnya (Rasyid, 2000:13).


Pada masa Sultan Iskandar Muda (1606-1637) kupiah tersebut sering di pakai oleh para raja dan kaum bangsawan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan pada masa dahulu harga kupiah meukeutop sama dengan harga 1 (satu) mayam Mas Murni. Dikarenakan harga tersebut, maka kaum bangsawan dan para raja yang pada umumnya memakai kupiah meukeutop, namun kupiah meukeutop bukan kupiah bagi para raja dan bangsawan, namun barang siapa yang sanggup membeli maka orang tersebut boleh memakai. Dikarenakan harga yang sangat mahal pada masa kerajaan dulu, maka kaum bangsawan dan para raja dominan yang memakai kupiah tersebut. Pada zaman kerajaan Aceh ada beberapa golongan kekerabatan yaitu golongan raja, golongan ulee balang, golongan ulama dan golongan rakyat biasa.


Pada abad ke-19, kupiah meukeutop juga banyak dipakai oleh tokoh-tokoh pahlawan Aceh seperti: Teuku Umar, Teuku Panglima Polem, dan kepala-kepala suku di Aceh. Namun ada beberapa perubahan bentuk baik dari segi motif, bentuk dan aksesoris. Bentuk yang dipakai oleh Teuku Umar dan Panglima Polem berbeda dengan bentuk yang dipakai sekarang. Kupiah meukeutop yang dipakai oleh Teuku Umar yang merupakan orang kedua memasyurkan kupiah meukeutop setelah Sultan Iskandar Muda berbentuk topi Turbus yang dipotong melingkar tanpa lekukan dibagian badan kupiah, dan ada lilitan kain dibagian bawah kupiah tanpa memakai tengkulok, tidak memakai panggoda/tampok (berbentuk bintang/bunga) yang terletak di atas.


Motifnya sendiri sangat berbeda dengan yang dipakai oleh Panglima Polem, serta yang sekarang juga sangat jauh perbedaannya dengan yang dipakai oleh Teuku Umar, bahan kain yang dipakai oleh Teuku Umar tidak memakai banyak warna, hanya saja motif bungong campli (bunga cabai) dan bungong geunti (berbentuk kunci) sudah tersemat di kupiah meukeutop, sedangkan sekarang motif dibuat dengan cara disusun secara melingkar berbetuk geometris sehingga lahirlah bentuk motif bungong campli (bunga cabai) atau bungong geunti (berbentuk kunci). Dengan demikian terbukti jelas bahwa kedua motif tersebut adalah motif asli kupiah meukeutop yang sudah ada pada masa Teuku Umar dan tidak ada perubahan maupun penambahan motif sampai sekarang. Dari segi bentuk yang dipakai oleh Teuku Umar bentuknya lebih rendah dari yang dipakai Panglima Polem dan masa sekarang.


Sedangkan yang dipakai oleh Panglima Polem sudah sedikit mengalami perubahan, walaupun masih berbentuk keruncut terpotong, tetapi sudah ada lekukan dibagian badan, dan untuk motif bungong campli (bunga cabai) dan bungong geunti (berbentuk kunci) sudah tampak jelas, warna yang digunakan sama dengan sekarang, hanya kupiah meukeutop yang dipakai Panglima Polem tidak menggunakan kain tengkulok, panggoda/tampok, (berbentuk bintang) dan tidak memakai aksesoris-aksesoris. Dari segi bentuk yang dipakai oleh Panglima Polem lebih tinggi bentuknya dibandingkan yang dipakai oleh Teuku Umar.


Kupiah meukeutop pada masa sekarang ini sudah dimodifikasikan sesuai dengan pesanan pembeli, dan lebih indah dibandingkan dengan kupiah yang dipakai oleh Teuku Umar dan Panglima Polem, yang pertama dari segi bentuknya melengkung antara bagian badan dengan puncak kupiah, serta sudah ada hiasan seperti pagoda/tampok, dan aksesoris seperti priek-priek (berbentuk seuntai bunga), bros dan kain Tengkulok.


Dengan demikain, sangat jelas perbedaan antara yang dipakai oleh Tuku Umar, Panglima Polem, dan yang digunakan pada masa sekarang, bagian atas melengkung terletak pada tengkulok, aksesoris dan pagoda/tampok (berbentu bintang/bunga) serta tinggi rendahnya bentuk dari tersebut.


Kupiah meukeutop berbentuk seperti Topi Turbus yang sampai sekarang masih dipakai oleh Suku Kurdi di Turki. Hal ini disebabkan karena Negara Turki dan Aceh adalah bersaudara pada saat itu. Persaudaraan ini dapat dilihat dalam sejarah pada saat kerajaan Aceh melawan Portugis di Malaka, pada saat itu Aceh belum memiliki bendera kebesaran. Kerajaan Turki mengizinkan Kerajaan Aceh untuk mengibarkan bendera Turki untuk melawan Portugis pada saat itu. Dan sekarang dapat dilihat bendera Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda hampir sama dengan Bendera Turki hanya saja yang membedakan bendera Aceh memiliki pedang yang menyerupai tulisan Bismillah yang disebut bendera Alam Peudeung. Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah.


Dari sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak hal antara kerajaan Aceh dengan Turki membenarkan adanya kerjasama antar keduanya. Hubungan kerjasama tersebut merupakan bukti nyata bahwa Kerajaan Aceh pernah melakukan kontak budaya dengan kerajaan Turki. Sebagai akibat dari interaksi budaya tersebut terjadi perpaduan (akulturasi) antara unsur kebudayaan yang baru (unsur budaya yang datang dari kerajaan Turki) dengan unsur kebudayaan lama (unsur budaya yang terdapat dalam masyarakat Pidie). Demikianlah pula kupiah meukeutop sebagai salah satu wujud dari hasil akulturasi kedua unsur kebudayaan tersebut.


Pada masa dahulu kain yang digunakan untuk membuat kupiah meukeutop disebut “ija syam” (kain syam), yaitu kain dari Negeri Arab. Jadi kupiah meukeutop berkembang setelah masuknya pengaruh islam ke Aceh. Hal ini terbukti dari makna-makna warna yang digunakan pada kupiah meukeutop adalah warna-warna yang melambangkan islam. Yaitu merah berani, berani mengambil sikap antara haq dan bathil, kuning melambangkan kesebaran, hijau sendiri bermakna keseburan dan kemakmuran dan warna hitam berarti ketaqwaan kepada Allah SWT. Pada motif kupiah meukeutop dibuat warna yang bertingkat seperti bentuk tangga, dimana tangga pertama bermakna hukom, tangga kedua bermakna adat, tangga ketiga bermakna qanun, dan tangga keempat bermakna reusam.


Sampai saat ini kupiah meukeutop masih menjadi salah satu pelengkap busana adat tradisional masyarakat Aceh sekaligus sebagai identitas. Selain itu, kupiah tersebut juga mengandung nilai ekonomi yang dapat menunjang penghidupan pengrajin. Di Gampong Rawa Tungkup dan Garot Cut, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie merupakan dua wilayah sentral produksi kupiah meukeutop. Kerajinan pembuatan kupiah meukeutop merupakan usaha yang melibatkan tenaga kerja perempuan, mulai dari yang muda sampai kepada yang tua. 


Bahan Dalam Pembuatan Kupiah Meukeutop


Menurut Rasyid, 2000:15 bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sebuah kupiah meukeutop adalah :

- Kain teteron hijau, kuning, merah, dan hitam, yaitu masing-masing ¼ meter

- Kain katun warna putih ¼ meter

- Kapuk ½ kg

- Benang jernal 2 pintal

- Benang jahit 1 gulung

- Tepung ganji


Kain teteron kemudian di gunting kira-kira 2 cm kemudian dijahit dan disusun menurut motif yang dikehendaki. Selain tetoron, kain katun juga digunakan untuk membuat sebuah kupiah meukeutop, kain katun yang diperlukan adalah warna putih, kain tersebut akan digunakan sebagai lapisan bagian dalam kupiah meukeutop sehingga kupiah tampak lebih rapi dan menarik.


Benang-benang yang digunakan untuk menjahit kupiah meukeutop adalah benang jahit biasa 1 gulung dan benang jermai 2 pintal yang berwarna putih. Benang biasa digunakan untuk menjahit bagian badan kupiah dan benang jermai berfungsi untuk membuat ikat kulah dan bagia pada puncak. Kapuk sebanyak ½ kg berfungsi untuk membuat dulun, yaitu gulungan kapas yang sudah dibersihkan dari biji kapas kemudian digulung menggunakan alat yang disebut ‘aneuk leut” yang panjangnya disesuaikan dan biasanya untuk membuat sebuah kupiah membutuhkan 96 batang dulun. Untuk membuat sebuah kupiah meukeutop juga sedikit menggunakan tepung kanji kira-kira 100 gr. Tepung kanji ini lalu dicampur dengan air kemudian kain teteron dimasukkan kedalamnya lalu dijemur sampai kering. Kegiatan ini berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh kupiah meukeutop.


Peralatan Untuk Membuat Kupiah Meukeutop


Jenis peralatan yang digunakan untuk membuat kupiah meukeutop yaitu (Rasyid, 2000:16):

- Jarum jahit

- Gunting

- Aneuk leut (alat menggulung kapas, terbuat dari bambu)

- Panggang, yaitu alat untuk menjepit kain pada saat dijahit terbuat dari bambu.


Proses Pembuatan Kupiah Meukeutop


Proses pembuatan kupiah meukeutop di awali dengan pemotongan (menggunting) kain teteron kira-kira 2 cm persegi. Namun sebelumnya kain teteron dibasahi dengan air tepung kanji lalu dikeringkan. Tepung kanji berfungsi untuk menjadikan kain lebih keras dan kokoh.

Kain teteron yang sudah dipotong-potong (digunting) kemudian disatukan dengan cara dijahit menggunakan teknik jahitan seperti jelujur, dijahit berderet-deret menurut susunan tertentu. Bentuk rangkaian ini disebut keunarang.

Keunarang tersebut kemudian dipotong-potong dan dijahit kembali menurut sesuai motif yang ada pada kupiah, sehingga berbentuklah bagian badan yang disebut peuneukap.

Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan dulun yaitu isi bagian dalam peuneukap yang terbuat dari kapas yang sudah bersih lalu digulung dengan menggunakan aneuk leut sehingga berbentuk batang-batangan pohon dari kapas sekitar 1 cm dan berjumlah 96 batang dulun untuk satu buah, dengan panjang sesuai dengan panjang peuneukap.

Peuneukap yang sudah diisi dengan dulun kemudian dilapisi dengan kertas Koran dan kain putih didalamnya. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkeras/memperkokoh bagian peuneukap dan selanjutnya fungsi kain putih adalah untuk menutupi bagian dalam kupiah supaya kelihatan rapi dan indah.

Untuk selanjutnya mengerjakan bagian puncak kupiah, pekerjaan ini sama halnya dengan proses pembuatan peneukap namun pada bagian paling atas dari puncak kupiah ini dibuat dari benang putih (benang nilon/jermai) disebut ikat kulah. Kemudian dihiasi pula dengan jahitan benang dalam posisi vertikal yang disebut bagia, lalu bagian dalam puncak kupiah tersebut dilapisi dengan kain berwarna putih supaya terlihat lebih rapi. Selanjutnya adalah menyatukan bagian badan (peuneukap) dengan bagian puncak kupiah, selesailah sebuah kupiah yang dinamakan kupiah meukeutop.

Ragam Hias, Motif dan Makna

Kain yang diisi kapuk dibagian tengahnya dan dibagian luar dihiasi kain-kain kecil aneka warna (merah, kuning, hijau dan hitam) yang disusun secara melingkar dalam bentuk geometris sehingga melahirkan motif tertentu yaitu bunga cabai (bungoeng campli) dan berbentuk kunci (bungoeng geunti), kupiah ini biasanya dililit sehelai kain teungkulok yang pada bagian belakang kupiah berbentuk segitiga. Hiasan lain pada kupiah meukeutop adalah berupa “tampok” yang dilekatkan pada bagian atas atau puncak topi. Tampok tebuat dari emas atau perak dan suasa yang disepuk serta batu permata. Kemudian priek-priek, yaitu hiasan kupiah yang disangkutkan pada bagian sisi kanan kupiah, berbentuk untaian bunga terbuat dari emas atau perak yang sepuh emas dan permata.

Dari ragam hias yang terdapat pada kupiah meukeutop juga sedikit mempunyai arti simbolik. Lilitan kain teungkulok pada kupiah meukeutop selain untuk keindahan adalah melambangkan keperkasaan seseorang laki-laki. Selanjutnya motif bungoeng campli (bunga cabai) melambangkan kecerdasan atau semangat yang serius/sungguh-sungguh. Sedangkan untuk motif bungoeng geunti (berbentuk kunci) belum diperoleh informasi yang pasti. Demikan pula untuk tampok dan priek-priek yang disematkan pada kupiah meukeutop belum diperoleh informasi yang akurat.

Tampok pada yang menyerupai tangga juga mempunyai arti simbolik. Anak tangga atas berarti hukum islam, anak tangga yang kedua dari atas adalah adat, anak tangga yang ketiga dari atas berarti qanun, dan anak tangga yang keempat dari atas (terakhir) berarti reusam (rasam).(ay)



Sumber :

Syawal Muhammad, Modal social pada pemberdayaan perempuan (suatu studi pada perempuan pengrajin kelompok Tungkop indah di gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Idrajaya, Kabupaten Pidie. 2016. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Syiah Kuala.

Nurlisma, Proses pembuatan kupiah meukeutop di desa Garot Cut Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie. 2015. Program studi pendidikan kesejahteraan keluarga. Universitas Syiah Kuala.

Kelompok pengrajin Tungkop Indah, Rawa Tungkop, Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Kelompok pengrajin Garot Cut, Indrajaya, Kabupaten Pidie.







Read More