1/21/2023

Jejak Belanda di Pidie

Foto : Pintu masuk komplek kuburan Belanda di Banda Aceh
https://kumparan.com/acehkini/foto-kerkhof-petjut-di-aceh-kuburan-militer-belanda-terbesar-di-
luar-negeri-1xP1MZE0LF8/full


Perang Aceh-Belanda menjadi catatan sejarah yang terus melekat dalam ingatan generasi anak bangsa, betapa tidak, peristiwa ini memberikan dampak hebat terhadap mundurnya sebuah peradaban. Genderang perang ditabuhkan sejak tahun 1873-1915, tidak ingin harga diri bangsa dilecehkan melalui praktik kolonialisme Belanda sehingga para pejuang melakukan jihad fisabilillah untuk mengusir kafir menguasai Tanah Air. Perang begitu panjang mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak, baik korban nyawa maupun harta.


Dalam literatur Sejarah disebutkan bahwa kedatangan Belanda pertama kali ke Aceh untuk misi perdagangan, melihat posisi Aceh sangat  strategis secara geografis, memiliki pelabuhan-pelabuhan besar, ditambah hasil alam yang melimpah ruah terutama rempah-rempah, sehingga kondisi ini menimbulkan hasrat bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Para penjajah seperti Portugis, Inggris, Perancis, dan Belanda memang bersaing kuat agar dapat menguasai Aceh, alasannya  karena bagi siapa yang dapat menguasai pelabuhan-pelabuhan di sepanjang pantai Timur Aceh maka akan dapat menguasai ekonomi global, mengingat produksi lada di Aceh jumlahnya mencapai setengah dari total produksi lada Dunia.


Dari itu secara perlahan-lahan Belanda mengepak sayap-sayapnya untuk menguasai Aceh, intrik-intrik jahat  mulai dilaksanakan, Belanda melakukan pendekatan-pendekatan terhadap Raja-raja kecil yang menguasai daerah Pantai Timur untuk mendukung hajat mereka, namun para Raja menolak keras permintaan tersebut, Raja masih sangat loyal terhadap janji setia kepada Sultan Aceh.


Foto : Salah satu makam Belanda yang masih tersisa dengan kondisi rusak berat dan 
tidak terawat di Gampong Benteng, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Belanda kemudian mengubah strategi dari cara damai dan akhirnya memutuskan untuk menggunakan kekuatan militer, harapannya dapat menguasai Aceh. Belanda mendaratkan lebih kurang 3000 pasukan bersenjata lengkap di Pantai Timur Aceh, salah satu pusatnya berada di wilayah Pidie. 


Kedatangan Belanda langsung dihadang pejuang Aceh, pertempuran sengit tidak dapat dihindari. Pertempuran ini merupakan pertempuran terdahsyat yang dialami Belanda dalam sejarah perangnya, hal ini terbukti dengan banyaknya serdadu Belanda yang tewas dalam peperangan tersebut. Pukulan telak terhadap Belanda membuat mereka gagal menguasai daerah dan perdagangan di wilayah Pantai Timur Aceh. 


Menurut Anthony Reid, ada beberapa alasan mengapa Belanda mengalami kesulitan menaklukkan dan menguasai perdagangan di sepanjang Pantai Timur Aceh, salah satu alasan tersebut karena ekspansi Belanda sangat bergantung terhadap besar laba yang dihasilkan dari daerah jajahan, dan pada saat bersamaan Belanda harus menghadapi Perancis, Inggris, dan Amerika yang berusaha menguasai aset ekonomi Nusantara.


Dalam periode agresi Belanda pertama hingga kedua tepatnya daritahun 1873 sampai 1904, tercatat sebanyak sekitar puluhan ribu serdadu Belanda tewas di medan pertempuran. Bukti sejarah tersebut dapat dilacak melalui beberapa tempat yang dijadikan sebagai kuburan Belanda. Tempat pemakaman ini  sering  disebut dengan Kerkhof.


Foto : Nisan bagian kepala yang memuat informasi dalam bahasa Belanda menjelaskan tahun meninggal, 
Gampong Benteng, Kecamatan Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Selain di Banda Aceh, persebaran kerkhof  juga ada di Sabang, Meulaboh, Panton Labu, Pidie, Blangkejeren, Takengon, Tapaktuan dan Kutacane. Keberadan kerkhof di Kabupaten Pidie tepatnya di Gampong (Desa)  Benteng, Kecamatan Kota Sigli, disana diperkirakan ada sekitar 1000 lebih kuburan para marsose Belanda. Selain itu juga ada beberapa peninggalan Belanda lainnya seperti, rumah dinas controleur yang letaknya tidak jauh dari lokasi kuburan tersebut. Kemudian juga terdapat penjara serta rumah sakit peninggalan masa kolonial Belanda.


Tidak seperti kerkhof Banda Aceh yang mendapat perawatan serta dijadikan tempat wisata, keberadaan kerkhof Pidie tidak mendapatkan perawatan sama sekali. Banyak kuburan tersebut kondisinya rusak parah, hal ini akibat Tsunami, dan tidak sedikit juga ada yang dihancurkan oleh tangan-tangan tidak bertanggung jawab, bahkan daerah tersebut kini dijadikan sebagai kuburan umum. Bukan hanya itu saja, beberapa tempat tersebut sudah beralih fungsi menjadi rumah serta kebun warga.


Sangat disayangkan aset sejarah yang nilainya berharga lenyap begitu saja, padahal jika mampu dikemas dengan baik dapat dijadikan destinasi wisata sejarah sehingga dapat menambah pendapatan asli daerah (PAD) Kabupaten Pidie. Kemudian dapat membuka ruang-ruang penelitan bagi insan akademik. Dan terlebih penting sebagai uapaya melawan lupa bahwa perang Belanda-Aceh bukan dongeng tetapi fakta dan memiliki buktu otentik, sehingga generasi Aceh selanjutnya mengetahui bagaimana para pejuang-pejuang Aceh dulunya menjaga dan mempertahankan  Negeri Aceh tercinta agar tidak dijajah oleh bangsa Asing.(ay)


Read More