12/25/2020

Panorama Cot Weng


Foto : Tampak keindahan bukit cot weng dari jalan Batee-Krueng Raya, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab pidie


Melintas jalan Medan-Banda Aceh merupakan rutinitas publik jalur jalan nasional Sumatera-Aceh, dan mudah dilewati dengan jalan yang terbilang mulus. Namun bagi segilintir orang, melewati jalan yang sama akan menimbulkan rasa jenuh. Terlebih jalan yang terkenal dengan gunung Seulawah ini kini kerap dilalui oleh mobil-mobil angkutan umum.


Bagi siapapun yang pernah melintas dari bundaran Lambaro, Aceh Besar menuju Pidie pasti pernah merasakan macet. Walaupun persentasi macet berbeda jauh dengan kondisi DKI Jakarta.


Selain jalur nasional, ada satu jalur lagi yang di bisa di lalui menuju Banda Aceh yaitu jalur Laweung. Alasan sederhana ini lah yang memicu hasrat saya untuk memilih alternatif lain kala menempuh perjalanan Pidie-Banda Aceh. Selain jenuh melintas jalan yang sama, melewati jalur lain tentu memberikan kesan unik dan sensasi yang berbeda.

 

Foto : Tempat santai bersama keluarga, sahabat yang di sediakan


Bergerak dari Pidie ke Banda Aceh melewati jalur Laweung, Guha Tujoh, hingga Krueng Raya yang berada  di Aceh Besar.Perjalanan awal dimulai dari Grong-Grong, tidak ada penumpang dan pengemudi lintas Timur Utara Aceh yang tidak tahu daerah ini, yaitu sebuah kota kecil di Kabupaten Pidie  yang sore harinya terjadi kemacetan total walau hanya satu kilometer.


Dalam perjalanan kali ini ada hal yang sangat menarik yang saya temukan diperbatasan Laweung dan Batee. sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan mata, menenangkan jiwa. Namanya Cot Weng atau Puncak Kulee, puncak yang sangat sejuk ditambah pepohonan tumbuh rindang dengan khas hijau daun.


Puncak idaman tiap orang itu tidak jauh dari pemukiman warga, lokasi tersebut selalu ramai pengunjung di sore hari. Menuju puncak tentu tidak sulit dan juga tidak mudah, pasalnya jalannya sedikit menanjak tapi sudah beraspal, walaupun ada beberapa titik yang berlubang disebabkan banyak mobil-mobil besar yang lalu lalang di jalan itu.


Dari ketinggian Puncak Kulee, mata akan di suguhi keindahan pusat kota Sigli yang indah serta laut biru, tampak air laut kebiruan berpadu dengan pemandangan alam sekitar yang membuat takjub. Saat cuaca cerah, dari tempat ini kita bisa saksikan langit biru berhiaskan awan putih yang membuat siapa saja terpesona.

 

Foto : View garis pantai terlihat jelas dari atas bukit cot weng, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Banyak muda-mudi menghabiskan waktu sore menjelang magrib di sini sembari menikmati matahari terbenam (sunset) dan kadang kala menunggu senja yang datang dari arah bukit, ada yang sengaja mendokumentasikan keindahan sore itu dengan ‘view’ berbeda, sekitaran tempat ini juga banyak penjual yang biasa menyuguhkan minuman dan makanan segar.


Selain pemandangan yang indah Cot Weng juga sering dijadikan sebagai spot foto Prewedding, bukan hanya masyarakat sekitar ada yang rela jauh-jauh datang kemari hanya untuk keindahan alam semesta ini.


Saya terpikir untuk kembali ke destinasi wisata ini pada lain kesempatan dan bagi kalian yang suka melakukan perjalanan, jalur ini sangat direkomendasikan.(fh)


Foto : Banyak pondok - pondok untuk yang biasa menyuguhkan minuman dan makanan segar


Read More

12/05/2020

Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany

Foto : Komplek makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany yang kurang terawat di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie

Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan tidak saja pada masa Rasulluallah SAW namuan juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelahnya sampai masa-masa paling kemudian.

Team Beulangong Tanoh kembali melakukan ziarah kemakam seorang ulama besar yang berasal dari  Madinah yaitu Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-madany beliau hijrah ke Pidie di perkirakan sekitar abad ke -10 H. Makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-madany terdapat di kemukiman Sanggeu, tepatnya di Meunasah Ketumbu,Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Posisi Makam  terletak di dalam kebun warga.


Terlihat dari batu nisan tersebut ada yang berbeda dari jenis batu nisan biasanyan, nisan ini berbentuk Tharbusy yang dalam bahasa Persia disebut ”Sarbusy” yang berarti penutup kepala.
 

Syaikh Abdurrahim wafat pada tahun 943 H atau 1537 M di pidie, beliau merupakan seorang ulama besar dari Madinah, keberadaan makam ulama besar ini sudah di ketahui sejak 2008 oleh MAPESA (MasyarakatPeduliSejarah Aceh).

Tetapi sangat di sayangkan batu-batunisan di komplek tersebut tidak terurus dan terlihat miring  di akibatkan karena sudah berumur ratusan tahun, serta pada bagian puncaknya pun rata-rata sudah di rusak oleh tangan-tangan jahil manusia untuk di jadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.

 

Foto : Tim Beulangong Tanoh sedang membersihkan lumut yang terdapat pada nisa kepala makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie


Sedangkan pada makam Syaikh Abdurrahim nisan tersebut keduanya masih utuh hanya saja posisi berdirinya yang sudah miring, lumut tebal tampak menghiasi beberapa bagian permukaan batu, beruntungnya lumut tebal tersebut tidak merusak inskripsi yang terdapat di bagian bawah (pinggang) kedua nisan.


Sejauh ini belum di temukan catatan tentang  riwayat hidup beliau, bahkan nama beliau saja belum pernah di jumpai dalam literasi kepustakaan sejarah Aceh, dengan demikian belum dapat di ketahui pasti tahun lahirnya kapan beliau hijrah ke pidie hingga kepada siapa beliau telah berguru dan siapa murid-muridnya.

 

Foto : Tampak makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany bersebelahan dengan makam lain yang kondisi nisannya sudah patah di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie


Berikut ini adalah bunyi inskripsi yang terdapat pada batu nisan makam Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madany :

 

-Inskripsi pada nisan kepala

 

1. الشيخ الأفخر المحترم
2. والعارف العالم معظم
3. المتحلي بالاسماء مكرم
4. ذو المفاخر في علومه ومعارفه
5. والمحاسن في فعلا ته ومراسمه
6. والعامل بصالح العبادات وعما [؟] (والأعمال)
7. أطله الله ببشير غفرانه
8. واصطفاه من بين العباد (إلى معاونه؟)

 

Terjemahan :


1. Syaikh (tuan guru) yang paling dibanggakan lagi dihormati

2. yang ‘arif lagi ‘alim, [dan dia] diagungkan

3. yang terhias dengan nama-nama (sifat-sifat terpuji), [dan dia] dimuliakan

4. yang memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuannya

5. dan memiliki segala keelokan dalam berbagai perbuatan dan tingkah lakunya

6. dan yang selalu mengerjakan ibadah dan amal yang shalih

7. semoga Allah menyejukkannya dengan berita gembira keampunannya

8. dan memilihnya di antara para hamba [untuk menjadi bagian dari pertolongan-Nya].


-Inskripsi pada nisan kaki


1. توفي الشيخ العارف الكا [مل]
2. المتقي (المنسقي ؟) الفقير المغفور
3. شيخ عبد الرحيم بن صالح المدني
4. تغمده الله بغفران رحمته
5. وأسكنه أوساط رضوان جنته
6. بعد هجرة النبوية صلى
7. الله عليه وسلم سنة ثالث و أر
8.  بعين وتسعمائة يوم الجمعة شهر رمضان

 

Terjemahan :

 

1. Telah diwafatkan Syaikh yang ‘arif lagi kamil (sempurna)

2. yang bertaqwa (yang sangat penurut?) lagi faqir, yang [semoga] diampuni

3. Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy

4. semoga Allah meliputinya dengan keampunan kasih sayang-Nya

5. serta menempatkannya di tengah-tengah ridhwan syurga-Nya

6. setelah hijrah Nabi, semoga shalawat

7. Allah dan salam tercurah kepada beliau, tahun tiga dan

8. empat puluh dan sembilan ratus (943) hari Jum’at dalam bulan Ramadhan.

 

Dari cerita di atas dapat kita bayangkan bagaimana keadaan dan suasana Aceh pada masa lalu khususnya wilayah Pedir yang berpusat di daerah Keulibeut dan Sanggeu dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan Islam.(an)


Sumber : https://www.mapesaaceh.com/2015/12/nur-dari-madinah-di-pidie.html, di akses pada tanggal 5 desember 2020



Read More

11/27/2020

Empieng Breuh Kuliner Khas Pidie Yang Mulai Terpinggirkan

Foto : Ibu-ibu sedang menumbuk beras yang akan dijadikan sebagai empieng di Gampong Leubue, Kec Pidie, Kab pidie

ADALAH sebuah realitas yang tak bisa dimungkiri bahwa Pidie merupakan salah satu kabupaten di Aceh yang, semakin banyak dieksplore maka semakin banyak melahirkan kekaguman. Tidak hanya bagi orang yang lahir dan bermastautin di Pidie, namun juga bagi orang luar Pidie.
 
Diakui atau tidak, wilayah bekas kerajaan Pedir ini menyimpan banyak sekali warisan sosial atau khazanah kebudayaan, seperti di bidang olahraga tradisi ada Geudeu-geudeu, di bidang pertanian ada Yok Creuh dan Langai, serta beragam warisan sosial lainnya.

 

Dan yang membuat kita semakin kagum dengan Pidie ialah tersedianya banyak penganan tradisional yang juga menjadi kuliner khas milik orang Pidie. Sebut saja Apam, siapa yang tidak mengenal Apam? Semenjak puncuk kepemimpinan Pidie dipegang oleh Abusyik atau Roni Ahmad, eksistensi penganan tradisional yang satu ini menjadi semakin melangit. Meskipun tak bisa ditolak juga fakta lainnya; Apam sering diplesetkan oleh banyak orang dengan sesuatu yang berkonotasi negatif.

 

Selain Apam, di Pidie juga terdapat kuliner tradisional lainnya yang juga khas, yakni Empieng Breuh. Empieng Breuh tidaklah sepopuler Apam, namun sampai kini ia masih diproduksi dan dijajakan di pasar-pasar tradisional.

 

Saya yakin generasi Pidie sekarang, dan generasi Aceh secara umum, yang lahirnya diatas tahun 2000an tidak banyak yang tahu mengenai kuliner bernama Empieng Breuh. Jikapun hendak dikumpulkan secara acak, misalnya sebanyak 20 orang saja, maka bisa dipastikan 80 persen lebih tidak akan ada yang mengenalnya Empieng Breuh.

 

mpieng Breuh terbuat dari bahan baku yaitu beras, yang kemudian diproses dengan cara ditumbuk. Untuk menikmatinya bisa dilakukan dengan cara menambahkan gula pasir yang dicampur dengan parutan kelapa, atau bisa juga langsung dinikmati begitu saja. Rasanya sangat renyah, apalagi yang baru siap diproduksi.

 

Di berbagai warung kopi yang ada di pelosok Pidie, misalnya di kampung-kampung yang agak pedalaman, Empieng Breuh masih agak mudah dijumpai. Banyak pemilik warung kopi menjadikan Empieng Breuh sebagai bagian dari varian khas minuman di warungnya. Ya, Empieng Breuh sangat nikmat bila disantap dengan Pisang thok, yaitu pisang yang sudah dihaluskan dengan cara ditumbuk pakai tulang daun pisang. Selain itu Empieng Breuh juga tak kalah nikmatnya bila ditaburkan ke dalam kopi boh manok.

 

Sedih memang membayangkan eksistensi Empieng Breuh, yang semakin kesini, ia semakin terpinggirkan. Padahal, Empieng Breuh memiliki nilai filosofis dan sarat dengan nilai sejarah.

 

Konon, saat Aceh masih dalam masa perjuangan ketika melawan bangsa Kolonial Belanda, yang saat itu mereka sangat bernafsu untuk mempusakai hasil alam Aceh, orang-orang Aceh yang terlibat dalam pergerakan perjuangan tersebut selalu membawa bekal makanan yang salah satunya ialah Empieng Breuh.

 

Foto : Proses sangrai beras sebelum di tumbuk untuk pembuatan empieng di Gampong Leubue, Kec Pidie, Kab Pidie

 

Empieng Breuh menjadi sumber amunisi energi mereka, saat lapar dalam pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Mereka, para pejuang mengganjal perutnya dengan Empieng Breuh saat bersembunyi dalam hutan dari kejaran marsose Belanda.

 

Kenapa Empieng Breuh menjadi pilihan? Ini karena Empieng Breuh yang berbahan baku beras memiliki kandungan nutrisi tinggi dan ia ringan untuk dibawa-bawa, tidak berat. Tak hanya itu, Empieng Breuh sifatnya awet, bisa disimpan dalam waktu yang lama meski tanpa pengawet.

 

Makanya, sebagai orang Pidie dan orang Aceh tentunya, kita patut menjaga eksistensi Empieng Breuh. Karena dengan cara itu, secara tidak langsung, kita sudah merawat ingatan akan perjuangan para pendahulu kita dalam melawan para penjajah.

 

Kita patut berbangga sekaligus bersyukur atas kegigihan para pejuang Aceh dulu, berkat dedikasi mereka, Aceh menjadi satu-satunya daerah di Indonesia yang tidak berhasil dikuasai dan dijajah oleh Belanda. Bahkan, salah satu panglima angkatan perang Belanda yang sangat terkenal dengan kepiawannya dalam menyusun taktik dan strategi perang, Johan Herman Rudolf Kohler, menemui ajalnya di Aceh. Dalam satu kesaksian, menjelang nafas terakhirnya, Kohler sempat pula berucap; “O, God, ik ben getroffen!” (Ya, Tuhan, aku tertembak)

 

Sangat disayangkan bila menilik fakta hari ini di mana Empieng Breuh semakin dilupakan seiring dengan masuknya penganan-penganan dari luar yang bernuansa global. Pun para generasi sekarang merasa semacam ada penurunan derajatnya atau ketertinggalan (kuno) bila mereka terlihat doyan dan menikmati Empieng Breuh. Sementara bila terlihat doyan dalam menikmati penganan yang bernuansa global, semisal pizza, spagety, seolah pada mereka terangkat derajatnya menuju masa kekinian (modern).

 

Menyalahkan masuknya penganan luar sebagai penyebab terpinggirkannya Empieng Breuh tentu bukan sebuah alasan yang wajar. Hal ini karena era globalisasi merupakan sebuah kemestian sebagai bagian dari perubahan sosial yang tidak bisa dihindari.

 

Foto : Empieng yang sudah jadi dan siap untuk di pasarkan

 

Namun demikian, kini yang perlu kita cari adalah upaya untuk melestarikan Empieng Breuh, sebagai kuliner tradisional Pidie agar semakin eksis lagi. Saya sebagai orang Pidie memiliki pandangan, bila bupati Pidie Abusyik (Roni Ahmad) merupakan sosok yang punya ambisi dalam menyelamatkan kuliner tradisional. Seperti halnya Apam, dibawah kemudi Abusyiklah namanya kian terangkat seiring dengan adanya acara kenduri Apam yang diselenggarakan tiap tahunnya. 

 

Nah, untuk kedepan saya kira, di Pidie perlu dibuat semacam pameran kuliner tradisional Pidie, yang dalam acara tersebut memuat tentang informasi seputar kuliner tradisional Pidie seperti Empieng Breuh, Beureune, Haluwa Bluek, Meuseukat, dan lain sebagainya. Jadi tidak hanya melulu dengan acara kenduri Apam, atau dalam istilah lain, hanya Apam yang terus dipromosikan. Dan, yang sangat penting adalah, setiap jenis makanan atau kuliner tradisional Pidie tersebut ditampilkan ke khalayak umum, bila perlu disertai juga dengan atraksi atau proses pembuatannya.

 

Acara seperti ini, yang mengangkat tentang kuliner tradisional, secara tidak langsung sudah memotivasi para ibu-ibu atau bapak-bapak yang selama ini masih setia dalam membuat kuliner tradisional. Disamping itu, melalui acara semacam ini para generasi sekarang bertambah wawasannya dan sekaligus akan bangga terhadap produk daerah asalnya, Pidie.

 

Kemudian, bagi pembuat Empieng Breuh, kini sudah saatnya untuk mengemas produk berupa Empieng Breuh itu agar lebih memiliki daya tarik, sehingga kita bisa menjualnya ke daerah-daerah luar. Banyak penganan luar, yang karena kemasannya menarik menjadi rebutan di pasar, padahal isinya tidak semenarik di kemasan. Kita perlu mencontohi itu.

 

Pemerintah tingkat gampong, yang warganya punya usaha Empieng Breuh, saya kira, layak dan patut juga untuk  mengalokasikan secuil dana APBG-nya untuk menggalakkan produksi Empieng Breuh. Bisa berupa pemberian modal, atau insentif kepada mereka atas upayanya merawat warisan sosial Pidie, yaitu berupa makanan tradisional yang namanya Empieng Breuh.(ms)
 

Read More

11/06/2020

Mengenal Sosok Tuanku Hasyim Banta Muda

 

Foto : Sketsa wajah Tuanku Hasyim Banta Muda 

Sumber : https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEhi6hBn9gIegzbVB1OeFIwpTxxhKQ2ewbfSqgLvw95Fqog7_A0wIxnPaK6GSbl0pgmiZKv2Hh3g36u-yRvzhniwhRyzeU1s1g5JpQh-RNyvs0fh8ywui10llD0CaGCHwk1eA4nArZVGXSru/s1920/Capture+2020-08-06+13.59.04+%25281%2529.jpg

 

Pusara itu terlihat sederhana terletak di pekarangan masjid lama Padang Tiji, KabupatenPidie, Aceh.Siapa sangka di tempat itulah jasad sang Panglima tertinggi sekaligus Wali Nanggroe terakhir Kesultanan Aceh Darussalam, Tuanku Hasyim Banta Muda di semayamkan. 

Tuanku Hasyim Banta Muda lahir di Gampong Lambada dalam Sagi Mukim XXVI Aceh Besar, sekitar tahun 1834 Masehi.Ayahnya bemama Laksamana Tuanku Abdul Kadir yang semasa hidup nya memangku jabatan perwalian di Aceh Timur. Tuanku Hasyim Banta Muda merupakan Putera pertama dari tiga bersaudara, dua diantaranya ialahTuanku Raja Itam danTuanku Mahmud Banta Keucik.

Menilik kembali silsilah keturunan Tuanku Hasyim Banta Muda ialah putera dari laksamana Tuanku Abdul Kadir dari ibnu Raja Muda Tuanku Cut Zainal Abidin dari Ibnu Sultan Alaidin Mahmud syah dari Ibnu Sultan Abidin Johan Syah dari Ibnu Sultan Alaidin Ahmad Syah dari Ibnu Nuruddin Abdurahim Maharaja Lela dari Ibnu Fakih Zainal Abidin Syah dari Ibnu Malik Daim Mansyur syah dari Ibnu ‘Abdullah Al Malikul Amin dari Ibnu Malik Syah Daim Syah dari Ibnu Abdul Jalil Daim Husin Syah dari Ibnu Malik Mahmud Hakim Syah dari Ibnu Musa Daim Syah dari Ibnu Hasyim Nuruddin Syah dari Ibnu Mansyur  Syah dari Ibnu Sulaiman Syah Daim Ali Iskandar dari Ibnu Malik Ibrahim Syah Daim yaitu saudara sewali dari tokoh Alaidin yang bernama Machdum Abi Abdillah As Syekh Abdurauf Al Mulaqqab Tuan di Kandang Syekh Bandar Darussalam.

                                                Foto : Silsilah Tuanku Hasyim Banta Muda

                                                      Sumber : Atjeh, H. C. Zentgraff. Atjeh.


Pada tahun 495 Hijriah rombongan yang terdiri dari 500 orang berhasil mengislamkan penduduk Aceh Raya, kemudian rombongan tersebut terpecah menjadi dua, sebahagian rombongan dibawah pimpinan Mansyur meneruskan perjalanannya dalam dakwah Islam ke Makassar (Ujung Pandang), sedangkan sebahagian lagi termasuk keturunan Machdum Abdi Abdillah Johan Syah - Ali MughayatSyah - Iskandar Muda terus bermukim dan menetap di Aceh untuk menyempurnakan pertumbuhan dan melaksanakan pembangunan Aceh dalam segala bidang.

Beberapa tahun kemudian Mansyur keturunan Ibrahim Syah Daim kembali dari Makassar ke Aceh setelah beberapa kali pergantian Sultan dari garis keturunan satu dan lain maka cicit Mansyur diangkat menjadi Sultan Aceh yang bernama Alaidin Ahmad Syah. Kemudian yang terakhir Sultan Alaidin Mahmud Daud Syah.Pada masa inilah Tuanku Hasyim mulai memegang peranan dan turun ke arena pertempuran menghadapi serangan Belanda.


Sultan Aceh pada saat itu dalam masa kemunduran akibat pihak Belanda sangat intensif menyerang Aceh,sehingga para petinggi kerajaan harus mengadakan rapat tertutup untuk mencari penyelesaian tentang permasalahan yang di hadapi oleh istana, setelah rapat selesai pihak kerajaan menyarankan Tuanku Hasyim Banta Muda untuk di angkat menjadi raja namun dengan halusnya beliau menolak tawaran tersebut.

Tuanku Hasyim Banta Muda menunjuk Mahmud syah yang masih berusia belia sebagai Sultan Aceh.Beliau sendiri bersedia menjadi pemangku Sultan Aceh (WaliNanggroe) hingga Mahmud syah cukup usia untuk dikukuhkan sebagai Sultan Aceh berikutnya. Namun dalam selang waktu yang tak lama Sultan Mahmud syah terjangkit wabah kolera dan ia mangkat pada 26 Januari 1874, di Pagar aye Aceh Besar. Tuanku Hasyim Kembali ditunjuk sebagai Sultan, lagi-lagi ia menolak dan sebagai alternatif, ia menunjuk Muhammad Daud Syah untuk menjadi Sultan Aceh

Setelah melakukan peperangan yang sangat panjang di mana pada saat itu kerajaan Aceh harus di pindahkan karena tidak memungkin untuk tinggal di Kuta Radja, maka Tuanku Hasyim Banta Muda beserta Sultan Muhammad Daud Syah pindah ke Keumala dan menjadikan Keumala pusat pemerintahan Kesultanan Aceh untuk sementara.

Padatahun 1879 Tuanku Hasyim semakin tua namun jiwa patriot dan semangat jihadnya tetap membara untuk menentang penjajahan Belanda,ia tinggal di keumala dalam bersama Sultan Muhammad Daud yah yang masih berumur kurang lebih 10 tahun.

Berkat daya dan upaya Kuta Keumala Dalam terus tumbuh dan menjadi ibu kota kerajaan Aceh yang kedua serta menjadi pusat kebudayaan dan pusat perdagangan lokal setelah Sultan Muhammad Daud Syah dewasa maka pada tahun 1894 Tuanku Hasyim beserta keluarganya meninggalkan Keumala Dalam dan pulang ke Reubee di rumah Raja Meunasah Runtoh.

Kemudian tahun 1896 ia kembali ke Padang Tiji setelah 20 tahun lamanya memegang pimpinan, tepat hari Jumat tanggal 22 januari 1897 Tuanku Hasyim meninggal dunia dalam usia 63 tahun dan di makamkan di samping Masjid Padang Tiji lama dalam kemungkiman Paloh Kecamatan Padang Tiji, KabupatenPidie.

Foto : Makam Tuanku Hasyim Banta Muda di samping masjid tuha Padang Tiji, Mukim Paloh, Kec Padang Tiji, Kab Pidie


Seorang tokoh Belanda Bruijns mamengutarakan sosok dari Tuanku Hasyim Banta Muda:  “Tuanku Hasyim lahir sebagai seorang berbakat, ya kami tutup cerita kami tentang Tuanku Hasyim, panglima perang musuh kita, tokoh yang berani, penuh kebijaksanaan dalam mempertahankan masjid raya, dengan kesimpulan bahwa seandainya dia tidak pernah hidup, agaknya sudah bertahun-tahun lamanya kita memiliki Aceh dengan tentram”.

Dengan kesadaran akan pentingnya arti, nilai dan bukti-bukti sejarah tersebut dapat di terjemahkan pula lewat prilaku-prilaku yang bersifat melestarikan serta memperhitungkan keberadaannya maka siapapun mereka, masyarakat lokal atau luar baik generasi hari ini maupun masa depan yang nantinya dapat menyaksikan sejarah negeri ini terpampang dimana-mana karena warisan sejarah ialah satu diantara penghubung dan pemandu kita ke masa lalu.(an)

 

Read More

10/26/2020

Sosok Pahlawan Perempuan Dari Tanoh Biheu

Foto : Makam Pocut Meurah Intan di Blora, Jawa Tengah.
 
Sejarah peradaban Islam tidak pernah luput dari kiprah dan peran kaum perempuan. Mereka memiliki kontribusi besar dalam membangun dan mengukuhkan tatanan masyarakat Islam. Bahkan, tercatat empat perempuan yang mendapat gelar perempuan termulia di dunia oleh baginda Rasul. Siapa sajakah mereka? Nabi Muhammad SAW bersabda: “Perempuan termulia di dunia ada empat, yaitu Maryam binti ‘Imran, Asiah istri Fir’aun, Khadijah binti Khuwailid dan Fatimah binti Muhammad.”


Setiap perempuan memiliki kelebihan dan kekuatan yang berbeda untuk mengatasi setiap hambatan dan tantangan yang ada. Bahkan dalam setiap pilihan yang dibuat, perempuan bisa menjadi sosok yang istimewa. Perempuan memiliki hak menyuarakan keberaniannya memperjuangkan sesuatu yang lebih baik untuk dirinya dan juga bermanfaat bagi orang lain.

Kita juga harus menyadari bahwa sepak terjang perempuan tidak terbatas hanya pada urusan rumah tangga, tetapi juga ilmu pengetahuan, hingga militer. Meski, tak banyak yang diabadikan oleh sejarah banyak pejuang-pejuang dulu dari kaum perempuan, salah satunya Pocut Meurah Intan.

Pocut Meurah Intan atau sering kita dengar dengan panggilan Pocut Meurah Biheu, karena beliau lahir di Biheu, Kemukiman Kale Kecamatan Muara Tiga Kabupaten Pidie pada tahun 1873. Pocut adalah nama panggilan khusus bagi perempuan keturunan bangsawan dari kalangan kesultanan Aceh.

Di himpun dari beberapa sumber, Biheue adalah sebuah kenegerian yang pada masa Kesultanan Aceh berada di bawah wilayah Sagi XXII Mukim, Aceh Besar. Setelah krisis politik pada akhir abad ke-19 Kenegerian Biheu masuk kedalam wilayah XII kekuasaan Teuku Raja Pakeh Pidie.

Pocut Meurah Intan menikah dengan Tuanku Abdul Majid, putera dari Tuanku Abbas bin Sultan Alaidin Jauhar Alam Syah (1795-1823). Tuanku Abdul Majid saat itu bekerja sebagai pejabat kesultanan yang di tugaskan untuk mengutip bea cukai di pelabuhan Kuala Batee. Dari perkawinan dengan Tuanku Abdul Majid, Pocut Meurah Intan memperoleh tiga orang putera, yaitu Tuanku Muhammad, Tuanku Budiman, dan Tuanku Nurdin.

Setelah berpisah dengan suaminya yang telah menyerah kepada Belanda, Pocut Meurah Intan mengajak putera-puteranya untuk tetap berperang. Ketika pasukan Marsose menjelajahi wilayah XII mukim Pidie dan sekitarnya, Pocut Meurah Intan melakukan perlawanan secara bergerilya, dan sejarah mencatat beliau berhasil membunuh 18 Tentara Morsase hanya dengan sebilah Rencong.

 

Foto : Pocut Meurah Intan Pahlawan dari tanoh Biheu
Sumber :  ttps:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjmlcESLZOIiZYdJ9rQBNDCyAtci2uLfo__6lq5LNz506amQ7f1UKTnHpq8YsZz5ZZAtY2drqeeOfKvM08sQPqmql7pxReTr28iunRPr78oghzi8WIQneQhSKyKZTIKwOjx6VW3sfcfc6w/s1600/IMG_20191005_160344.jpg

 

Pada 11 November 1902 ia dikepung oleh serdadu khusus Belanda dari korps Marchausse di Padang Tiji. Sebelum tertangkap ia masih sempat melakukan perlawanan yang amat mengagumkan pihak Belanda. Namun karena serangan bertubi-tubi Pocut Meurah Intan mengalami luka parah, dua tetakan di kepala, dua di bahu, satu urat keningnya putus. Pertahanannya semakin melemah, ia terbaring di tanah penuh dengan darah dan lumpur namun ia tetap tidak menyerah, rencong masih tergenggam kuat ditangannya.

Pimpinan korps Marchausse Veltman memberi gelar Heldhafting (yang gagah berani) kepada Pocut Meurah Intan. Karena dikhawatirkan terus menggelorakan perang jihad, akhirnya Pocut Meurah Intan dibuang ke Blora pada 6 Mei  1905.

Pocut Meurah Intan yang sedang sakit parah pernah ditawarkan bantuan oleh pihak Belanda dan beliau menolak, akan tetapi beliau akhirnya pasrah dan menerima bantuan itu, penyembuhannya berjalan lama, ia menjadi pincang selama hidupnya.

Sosok pejuang Aceh itu ditahan bersama putranya Tuanku Nurdin dan Tuanku Budiman yang juga di buang ke Blora di Pulau Jawa berdasarkan Surat Keputusan Pemerintah Hindia Belanda, tanggal 6 Mei 1905, No. 24. Dan pocut Meurah Intan menghembuskan nafas terakhirnya pada tanggal 19 September 1937 di Blora, Jawa Tengah dan dimakamkan di sana, tepatnya di Desa Temurejo, sekitar 5 km arah utara alun-alun kota Blora.

Sebenarnya pada tahun 2001 Pemerintah Aceh pernah berencana memindahkan jasad Pocut Meurah Intan ke Aceh, namun rencana itu batal karena berdasarkan wasiat Pocut Meurah Intan kepada sahabatnya RM Ngabehi Dono Muhammad bahwa beliau lebih suka dimakamkan di Blora.(fh)

 

Read More