11/25/2021

Pernak-Pernik Perayaan Maulid Di Pidie

Foto : Dalong yang sudah dihias (tempat untuk menaruh  lauk pauk pada perayaan maulid).


Perayaan Maulid Nabi merupakan peringatan hari kelahiran Nabi Muhammad Saw, pada 12 Rabi’ul Awal dalam penanggalan Hijriah. Kata Maulid atau Milad dalam bahasa Arab berarti lahir. Nabi Muhammad lahir pada tahun 570 M yang dikenal dengan tahun Gajah. Dinamakan demikian karena pada tahun tersebut pasukan Abrahah dengan menunggang gajah menyerbu kota Makkah untuk menghancurkan Kakbah. Ibu Muhammad bernama Aminah dan ayahnya bernama Abdullah. Abdul Muthalib adalah kakeknya yang merupakan seorang kepala suku Quraisy yang memiliki pengaruh besar dalam lingkungannya. Nabi Muhammad lahir dalam keadaan yatim karena ayahnya telah wafat sejak Baginda dalam kandungan. Kemudian Nabi Muhammad diserahkan kepada Halimatus Sa’diyyah, hingga usia 4 tahun. Setelah itu ia kembali kepada ibu kandungnya selama kurang lebih 2 tahun sebelum akhirnya ia menjadi yatim piatu diumur 6 tahun. Setelah Aminah meninggal, Abdul Muthalib mengambil alih tanggung jawab merawat Muhammad selama 2 tahun. Setelah Abdul Muthalib wafat ia tinggal bersama pamanyanya, Abu Thalib. Nabi Muhammad merupakan tauladan bagi umat Islam, di usia mudanya ia telah dijuluki sebagai Al-Amin, orang terpercara. Dalam perjalanannya yang begitu banyak tantangan untuk menyerukan agama Allah, Nabi Muhammad juga berperan penting dalam hal kemanusiaan, persamaan, keadilan sosial, keadilan, kebajikan dan solidaritas.


Memperingati hari lahirnya Baginda Nabi, sebagai ekspresi rasa syukur atas nikmat iman, Islam dan ihsan yang telah diperoleh berkat perjuangan Rasulullah Muhammad Saw, umumnya di Aceh sudah menjadi tradisi masyarakat mengadakan kenduri, syukuran biasanya diadakan dalam bentuk acara makan-makan dengan menu yang sangat istimewa seraya diiringi dengan zikir shalawat sesuai dengan kebiasaan daerah masing-masing.


Walaupun Nabi Muhammad dilahirkan pada 12 tanggal Rabiul Awwal tahun 570 M di Makkah, namun tradisi Maulid tidak hanya diperingati pada tanggal tersebut saja. Para pecinta Nabi sudah memperingati momen agung ini setiap hari mulai dari awal sampai dengan akhir bulan. Bahkan ada yang melaksanakannya di luar bulan Rabiul Awal dan lebih dari itu ada pula yang menjadikan peringatan kelahiran Nabi sebagai acara di seluruh bulan.   Ini merupakan kecintaan atas anugerah datangnya manusia paling sempurna di muka bumi ini yang membawa risalah dari Allah SWT bagi manusia. Ekspresi kecintaan umat Islam di Indonesia pun diwujudkan dengan berbagai macam acara seperti pembacaan Barzanji (riwayat hidup Nabi), ceramah keagamaan, dan juga perlombaan, seperti lomba baca Al-Qur’an, lomba azan, lomba shalawat, dan sebagainya.


Foto : Masyarakat melakukan shalawatan sebelum menikmati hidangan makanan.


Ahli Tafsir Al-Qur’an Prof Quraish Shihab mengungkapkan bahwa Maulid Nabi dirayakan dengan cara meriah baru dilaksanakan pada zaman Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa kekhalifahan Al-Hakim Billah. Menurutnya, inti dari perayaan Maulid Nabi adalah untuk memperkenalkan Nabi Muhammad SAW kepada setiap generasi. Kenal adalah pintu untuk mencintai. Sehingga dengan mengenal Nabi Muhammad SAW, maka umat Muslim bisa mencintainya.


Nabi Muhammad sendiri juga memperingati kelahirannya dengan berpuasa di hari Senin. Ketika ditanya oleh sahabat, “Kenapa engkau berpuasa ya Rasul? aku berpuasa karena di hari itu aku dilahirkan dan di hari itu pula lah aku mendapatkan wahyu pertama kali,” jawab Nabi.   Dalam artikel NU Online berjudul  Maulid Nabi Perspektif Al-Qur’an dan Sunnah, disebutkan beberapa dalil syar’I peringatan Maulid dari Al-Qur’an dan Hadits. Di antaranya adalah firman Allah dalam QS Yunus ayat 58 yang artinya, “Katakanlah, dengan anugerah Allah dan rahmatNya (Nabi Muhammad Saw) hendaklah mereka menyambut dengan senang gembira.” (QS.Yunus: 58).   Menurut Sayyid Muhammad bin Alawi Al-Maliki Al-Hasani Bergembira dengan adanya Nabi Muhammad SAW ialah dianjurkan berdasarkan firman Allah SWT pada surat Yunus ayat 58 ini. Sayyid Muhammad Al-Maliki Al-Hasani, Ikhraj wa Ta’liq Fi Mukhtashar Sirah An-Nabawiyah, hal 6-7.


Kanduri Maulod (Kenduri Maulid) atau dengan kata lain Maulidurrasul bagi masyarakat Aceh terkait erat dengan peringatan hari kelahiran Pang ulee alam (penghulu alam) Nabi Muhammad SAW, utusan Allah SWT yang terakhir, pembawa dan penyebar agama Islam. Masyarakat Aceh sebagai penganut agama Islam melaksanakan kenduri maulid setiap bulan Rabiul Awal, Rabiul Akhir dan Jumadil Awal. Kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Awal disebut maulod awai (maulid awal) dimulai dari tanggal 12 Rabiul Awal sampai berakhir bulan Rabiul Awal. Sedangkan kenduri maulid yang dilaksanakan pada bulan Rabiul Akhir disebut maulod teungoh (maulid tengah) dimulai dari tanggal 1 bulan Rabiul Akhir sampai berakhirnya bulan. Selanjutnya, kenduri maulid pada bulan Jumadil Awal disebut maulod akhee (maulid akhir) dan dilaksanakan sepanjang bulan Jumadil Akhir.


Pelaksanaan kenduri maulid berdasarkan rentang tiga bulan di atas, mempunyai tujuan supaya warga masyarakat dapat melaksanakan kenduri secara keseluruhan dan merata. Maksudnya apabila pada bulan Rabiul Awal warga belum mampu melaksanakan kenduri, maka masih ada kesempatan pada bulan dua bulan lainnya. Umumnya seluruh gampong mengadakan kenduri Maulid hanya waktu pelaksanaannya yang berbeda-beda, tergantung pada kemampuan dan kesempatan dari masyarakat.


Pada hari maulid, masyarakat dengan ikhlas menyedekahkan makanan siap saji untuk dinikmati bersama yang dipusatkan di Meunasah atau Mesjid setempat. Masyarakat Aceh memiliki kekhasan dalam konsumsi pangan seperti ketika perayaan tradisi maulid. Istilah yang digunakan yaitu budaya memasak Kuah Belangong (kuah belanga) yaitu budaya memasak daging yang sebelumnya telah disembelih dan selanjutnya dimasak di meunasah (mushola) atau dipekarangan mesjid dalam belangga besar. Ada berpuluh-puluh belangga tergantung jumlah sapi atau kambing yang disembelih di desa. Desa yang mengundang menyediakan idang (hidangan) yang dibawa oleh setiap warganya yang berisi lauk pauk dan nasi yang sudah dibungkus dengan daun pisang yang disebut bu kulah. Bila perayaan maulid besar, maka warga diminta untuk menyediakan idang meulapeh (hidangan berlapis-lapis), dimana bu kulah dan lauk disusun berlapis dalam idang yang ditutup dengan tudung saja dan dibungkus dengan kain warna warni. Bila perayaan kecil, idang cukup satu lapis yang didalamnya diisi oleh bu kulah dan lauk.


Foto : Proses pembagian nasi maulid kepada masayarakat.


Dalam tradisi maulid, anak-anak yatim dan fakir miskin mendapat pelayanan khusus dari masyarakat sebagai wujud kecintaan mereka kepada golongan tersebut Bahkan ada dibeberapa daerah di Aceh masyarakat menyantuni mereka dengan sejumlah uang. Tradisi tradisi maulid di Aceh bersampulkan lantunan shalawat, zikir dan syair-syair mengagungkan Allah SWT dan mendoakan keselamatan untuk Rasulullah SAW. keluarga beserta shahabat serta untuk seluruh umat Islam yang terdengar indah dan menggugah jiwa yang keluar dari mulut-mulut remaja Dayah. dengan suara yang merdu dan nyaring. Suara-suara itulah yang dinamakan dengan “Barzanji” yang merupakan salah satu karakter khusus dalam tradisi Maulid Nabi SAW di Aceh. Sedangkan pada malam hari sebagai kegiatan puncak acara, masyarakat mengadakan dakwah akbar yang berisikan tentang sejarah agama islam untuk dijadikan sebagai ajaran oleh masyarakat Aceh dalam kehidupan. Sarana prasarana yang dipersiapkan untuk dakwah akbar berupa mimbar penda’i juga tidak luput dari hasil seniman-seniman remaja setempat. Bentuk-Bentuk mimbar dibuat dalam bentuk bangunan, pesawat, helikopter, mobil dan lain-lain sehingga suasana semakin semarak. Bentuk-bentuk binatang yang dibuat berupa binatang-binatang yang terlibat dalam sejarah kerasulan Rasulullah SAW seperti unta dan laba-laba. Sedangkan mimbar dalam bentuk bangunan dibuat berbentuk bangunan Mesjid dengan atap berbentuk kubah.


Tradisi maulid sebagai adat dan budaya Aceh. Budaya dan adat pada tradisi maulid sangat relevan dengan kehidupan masyarakat Di Aceh. Sebagai sebuah daerah yang bersyariat Islam, maka semua aspek kehidupan diarahkan kepada nilai-nilai ajaran Islam. Sikap, perilaku, tatakrama didasarkan kepada syariat Islam. Perayaan maulid Nabi Muhammad SAW pada masyarakat aceh merupakan wadah untuk silaturahmi masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Solidaritas mekanik yang terjalin dapat dilihat pada masyarakat Aceh, tradisi maulid ini dilakukan sebagai momentum untuk meningkatkan pemahaman masyarakat terhadap Islam, memperkuat keimanan kepada Allah swt dan kecintaan mereka kepada Rasulullah saw serta memperkokoh ukhuwah Islamiah untuk menumbuhkan solidaritas sosial, memperkuat ikatan sosial dan kepekaan terhadap nasib sesama. Itulah tujuan dasar dari tradisi tersebut, dan tujuan ini relevan dengan tujuan Islam. Solidaritas organis hampir tidak terlihat dalam pelaksanaan kenduri maulid ini karena semua masyarakat berkumpul, berbagi, serta merayakan hari kelahiran Nabi Muhammad SAW.


Perayaan maulid di Pidie pada umumnya sama dengan daerah-daerah lain di Aceh, hanya saja ada saja terdapat beberapa perbedaan. Pertama dari menu hidangan, kita melihat bahwa di bahwa menu kenduri di  daerah Pidie lebih bervariasi, diantaranya seperti kuah kari, masak puteh, dan kerupuk muling (emping melinjo). Bahkan di daerah tertentu dalam pengamatan penulis, disediakan  buah-buahan seperti buah gelima Mekkah (pome), Giri, mangga, quini dan lain sebagainya. Yang uniknya lagi, di dataran tinggi Pidie (mencakup wilayah Tangse, Mane dan Geumpang) selain disediakan lauk pauk ala maulid juga ada kuliner tradisional berupa leumang.


Foto : Seorang anak sedang menunggu pembagian lauk pauk nasi maulid.


Kedua, terdapat perbedaan waktu dalam pelaksanaan pembagian nasi kenduri maulid. Di sebagian wilayah Pidie, terutama di wilayah pesisir, nasi maulid dibagikan kepada masyarakat atau undangan pada sore hari (setelah Ashar), sementara itu, dikawasan lainnya ada yg dibagikan siang hari. Tentunya hal ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor sehingga terdapat perbedaan. 

Ketiga, perbedaan lainnya terletak pada metode pembagian nasi maulid. Di beberapa tempat kenduri sudah dibungkus-bungkus dan dimasukkan dalam kresek, sehingga ketika pembagiannya lebih simpel. Namun, ada juga yang nasi kenduri dibungkus secara tidak lengkap, artinya masyarakat hanya membungkus nasi saja dalam daun pisang atau media lainnya, sedangkan lauk pauk dimasukkan wadah terpisah baik berupa rantang, baskom atau lainnya. Jika kenduri seperti ini maka pembagiannya menggunakan metode "caluek", pertama dibagikan nasi, kemudian bungkusnya dibuka dan menunggu panitia membagikan lauk pauknya secara bergiliran. Metode seperti ini terkadang tidak efektif, karena tidak ada kesesuai mendapatkan lauk pauk (tidak sama rata).(ay) 


Sumber :

Dara Fatia. TRADISI MAULID: PERKUAT SOLIDARITAS SOSIAL MASYARAKAT ACEH. Pascasarjana FISIP Universitas Padjadjaran. 2020.

Muhammad Yunus. TRADISI PERAYAAN KENDURI MAULID NABI DI ACEH BESAR. Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, Banda Aceh. 2020.

https://harianrakyataceh.com/2020/10/29/maulid-sejarah-tradisi-dan-dalilnya/. Diakses tanggal 4 November 2021 jam 12.00 wib.


Read More

11/05/2021

Adat Meublang



Aceh sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur yang memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-hari. Walupun seiring berjalannya waktu masyarakat sudah mulai kurang memahami antara adat dengan sebuah kebiasaan semata (reusam). Bahkan ada yang menganggap adat sebagai mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya telah berpikir maju.


Tetapi bagi sebagian masyarakat Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam kehidupan sebagai bagian dari norma kehidupan. Karena itu, bagi yang melanggar maka akan dikenakan sanksi seperti yang telah disepakati oleh  masyarakat adat tersebut, tentu saja sanksi antar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Namun, hukuman dari sebuah pelanggaran adat ialah “malu” merupakan sebuah keseragaman. Hal ini senada dengan hadih maja “meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya (‘melanggar hukum “syar’i” besar akibat, melanggar adat malu di dunia)”.


Adat meublang adalah salah satu adat yang dimiliki masyarakat Aceh. Sawah merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Aceh, dimana masyarakat dapat menggantungkan hidup dalam mencari penghasilan melalui sawah. Dalam kehidupan orang Aceh bersawah memilik sejumlah ketentuan yang sudah berlaku secara turun temurun demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Salah satunya “hanjeut teumeubang watèe padé mirah”, yang mana maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut terkena imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda atau sanksi oleh keujruen blang.


Larangan “ceumeucah lam ujeuen tunjai”, yaitu membersihkan semak belukar dan “hanjeut ceumeucah watèe rôh padé” (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal panen. Masih saat “rôh padé”, juga dilarang membawa daun nipah secara terbuka (diketahui bahwa orang-orang tua di Aceh suka mengisap rokok linting yang terbuat dari daun nipah) atau akan terkena penyakit “putéh padé” sehingga padi di sawah tidak berisi.




Tata cara turun ke sawah dalam adat masyarakat Aceh disesuaikan dengan hadih maja yaitu “keunong siblah tabue jareueng, keunong sikureueng tabu beurata, keunong tujôh padé lam umong, keunong limong padé ka dara, keunong tiga padé ka rhôh, keunong satoh padé ka tuha” (kena sebelas tabur yang jarang, kena sembilan tabur yang rata, kena tujuh padi dalam sawah, kena lima padi sudah gadis, kena tiga padi sudah berisi, kena satu padi sudah tua).


Cara bertanam atau turun ke sawah berdasarkan konsep keuneunong (menentukan keadaan Alam dan waktu untuk musim tanam, dan waktu untuk panen) ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan keuneunong digunakan dengan cara menggunakan angka 25 sebagai angka utama, lalu dikurangi dengan angka bulan Masehi dan dikali dua.


Misalnya, bulan Oktober, keuneunong yang cocok adalah 5, yaitu berdasarkan 25 – [10 x 2] sama dengan 25 – 20 dan hasilnya adalah 5 (lima).


Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan peredaran bintang, dilakukan musyawarah desa (duek pakat gampông), yang biasanya dilakukan oleh gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada masyarakat saat yang tepat untuk turun ke sawah. Demikian arifnya adat meublang di gampông-gampông yang ada di Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka, keamanan dan ketenteraman dalam gampông tak lagi diragukan.


Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga atau instansi adat yang berwenang yakni keujruen blang yang di bawahnya terdapat keujruen syik dan keujruen muda.


Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, keujruen blang  dipilih oleh masyarakat dalam mukim atau gampong tersebut, seorang keujruen blang  mempunyai tugas:


Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:


a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;

b. mengatur pembagian air ke sawah petani;

c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;

d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat

dalam usaha pertanian sawah;

e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat

meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem

pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan

f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha

pertanian sawah.(an)


Sumber : 

Keujruen Mukim Andeu, Kec Mila

Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat


Read More