9/26/2022

Panglima Perang Dari Negeri Meureudu

Foto : Makam Panglima Malem Dagang di Gampong Meunasah Kumbang, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya.


Kerajaan Sahe atau Sanghela yang berada di Kawasan Ule Gle dan Meureudu, untuk mengetahui keberadaan para pendiri dan penduduk kerajaan Sahe/Sanghela tersebut, informasi dari asal-usul kerajaan Poli/Pedir di Kabupaten Pidie sekarang mungkin bisa membantu, karena keberadaan negeri Meureudu dan negeri Pedir keduanya tidak bisa dipisahkan.


Pada masa kesultanan Aceh Darussalam negeri Meureudu telah bergabung dan menjadi negeri yang bebas pajak hal itu karena kenegerian Meureudu menjadi lumbung padi bagi wilayah kesultanan Aceh. Kunjungan Sultan Iskandar Muda ke negeri Meureudu dalam sebuah hikayat Malem Dagang yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Geulima, ulama besar negeri Meureudu. Hikayat itu mengisahkan sejarah penyerangan Sultan Iskandar Muda ke tanah Semenanjung Melayu (Malaysia).


Menurut H.M. Zainuddin dalam tulisannya “Aceh dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah”. Sebelum Islam masuk ke Aceh, Aceh  telah berkembang menjadi kota kerajaan hindu seperti : kerajaan Poli di Pidie yang berkembang sekitar tahun 413 M. Semua kota-kota hindu tersebut setelah Islam kuat di Aceh dihancurkan, bekas-bekas kerajaan itu masih bisa di periksa walau sudah tertimbun, seperti di kawasan Paya Seutui, Kecamatan Ulim (perbatasan ulim dengan Meurah Dua).


Kerajaan Sahe terbentuk dan di bawa oleh pendatang dari pulau Ceylon, tentang kedatangan dan pengaruh pendatang dari Ceylon itu juga di ungkapkan H. Muhammad Said dalam makalah “Budaya pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) II, agustus 1972”. Ia menjelaskan pada tahun 1891, seorang peneliti asing bernama G.K. Nieman sudah menemukan 150 kata dari bahasa campa dalam bahasa Aceh. Demikian juga dengan bahasa Khmer (Kamboja) tetapi yang sangat dominan adalah bahasa Melayu dan bahasa Arab.


Menurut ali hasjmy dalam buku “Kebudayaan Aceh dalam Sejarah, terbitan beuna, Jakarta (1983)”. Hikayat itu mulai ditulis pada hari Senin, 17 Rajab 1055 H (1645 M), pada masa Kesultanan Aceh dipimpin oleh Ratu Safiatuddin Nur Alam Syah. Sebelum Sultan Iskandar Muda dengan pasukannya berlayar ke Semenanjung Melayu, ia mendatangi beberapa negeri dalam wilayah Kesultanan Aceh Darussalam untuk menghimpun bala tentara. Salah satunya adalah ke negeri Meureudu untuk menjumpai Teungku Japakeh dan Panglima Malem Dagang yang akan dijadikannya sebagai penasehat militer dalam penyerangan tersebut.


Para panglima asal negeri Meureudu dikenal sebagai orang yang berkarakter, suaranya keras, matanya kadang terbelalak kalau sedang marah. Oleh karena itu orang Meureudu dijuluki dengan sebutan “mata hu su meutaga”, yakni mata terbelalak dan bersuara keras. Hal ini secara historis menjadi karakter masyarakat di negeri Meureudu yang bersikap tegas, disiplin dan konsekwen. Nah oleh sebab itu dari golongan merekalah yang banyak menjadi panglima.


Foto : Makam Panglima Malem Dagang di Gampong Meunasah Kumbang, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya.


Begitulah halnya dengan Teungku Malem Dagang yang diangkat sebagai salah seorang panglima perang yang memiliki watak keras, yang berani bersikap lantang di hadapan sultan selama sikap yang diyakininya itu benar. Teungku Malem Dagang di angkat oleh sultan sebagai panglima perang setelah sebelumnya di adakan pertemuan dengan Teungku Japakeh di negeri Meureudu. Kepada sultan beliau mengusulkan agar Malem Dagang diangkat menjadi panglima perang menyerang semenanjung Malaya. Hal tersebut diterima oleh sultan dan Malem Dagang pun diangkat menjadi panglima.


Dikisahkan dalam hikayat Malem Dagang pada saat penyerangan ke Johor, Pahang dan Malaka. Raja yang paling kuat adalah raja si ujud yang kebal dan tidak mempan dengan senjata tajam maupun senjata api dalam hikayat dikatakan “raja si ujud tapoeh han mate, taseubude han lhuet” (raja si ujud dipukul tidak mati ditembak senjata api tidak mempan), tetapi dapat  di tangkap oleh panglima Malem Dagang dengan menggunakan ilmu berkelahi Geudeu-Geudeu (semacam ilmu bela diri) yang sangat terkenal di Aceh, sampai sekarang masih berkembang di wilayah Kecamatan Meureudu, Trienggadeng, Beureunuen, Simpang Tiga, Caleu dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Pidie.


Sekembalinya panglima Malem Dagang dari Semenanjung Malaya beliau tidak aktif dalam pembangunan, hanya membantu pemerintahan negeri Meureudu. Hingga akhirnya beliau mangkat dan dimakamkan di gampong Meunasah Kumbang Ulim Tunong (Kecamatan Ulim sekarang), pada tahun 1650 M.(an)



Sumber :

Norman iskandar, Pidie jaya dalam lintasan sejarah, 2011, jaroe aceh publishing.

Syech asy’ary. drs. Meureudu dalam lintasan sejarah, 1998, banda aceh.


Read More

9/05/2022

Teungku Syik Pante Geulima Panglima Dari Dayah

Foto : Dayah Tua peninggalan Tgk Syik Pante Geulima di Gampong Meunasah Lhok, Kec Meureudu, Kab Pidie Jaya.


Pasang surut semangat para pejuang Aceh mencuat menghadapi perang besar yang berkepanjangan dengan Belanda sejak 26 Maret 1873-1904. Seakan-akan Belanda sudah di ambang kemenangan, namun pertempuran masih terus berlangsung hingga tahun 1914. Hal ini menjadi perhatian para ulama Aceh, salah satunya ulama besar Teungku Chik Pante Geulima.


Syaikh Ismail atau yang lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik Pante Geulima adalah tokoh panglima perang sekaligus sastrawan, beliau lahir di Gampong Blang Meureudu pada 1254 H / 1839 M. Anak dari Teungku Chik Pante Ya`kub, pendiri Pusat Pendidikan Islam "Dayah Tinggi Pante Geulima Meureudu bersama Teungku Chik Haji Nyak Ngat pada 1801 M". Menurut Prof. Ali Hasjmy, jika ditelusuri garis keturunannya ternyata bermuara kepada Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke-10 yaitu Sultan Sayyidil Mukamil.


Silsilahnya adalah sebagai berikut: Teungku Syaikh Ismail bin Teungku Chik Pante Yak'ub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Sayyiddil Mukammil. Sultan Sayyidil Mukamil (1589-1604) adalah kakek Sultan Iskandar Muda (April 1607 M-27 Desember 1636 M).


Adapun riwayat pendidikan Teungku Chik Pante Geulima sama seperti anak-anak umumnya , belajar mengenai ilmu agama. Walaupun ia putra kandung dari Teungku Chik Pante Ya'kub, namun Teungku Ismail bin Ya'kub harus belajar terlebih dahulu pada Teungku di Rangkang yang merupakan tangan kanan ayahnya. Setelah mendapat pengetahuan dasar tentang Islam dan bahasa Arab, barulah ia belajar pada ayahnya. Nah dari beliau inilah mempelajari lebih mendalam ilmu agama sehingga amat menguasai bahasa Arab dan pegetahuan Islam lainnya, seperti fiqih, tauhid, ilmu kalam, tafsir, hadits, filsafat, tasawuf dan tarikh.


Menurut Alm. Teungku Hasan Sufi, Teungku Chik Pante Geulima belajar hingga ke Geulumpang Minyeuk dan Dayah Tanoh Abee. Selain belajar, beliau juga turut mengajar di kedua dayah tersebut. Tak sampai hanya di situ, pendidikan militer pun digelutinya pada pusat Pendidikan Laskar Aceh Makhad Baitul Makdis.


Teungku Ismail termasuk murid yang cerdas sehingga dipercaya mengajar dan menjadi salah seorang asisten Syaikh di Masjidil Haram. Setelah mendapat gelar Syaikh pada tahun 1863, Teungku Ismail kembali ke kampung halamannya. Kepulangannya membawa berkah kepada Dayah Pante Geulima karena pada saat itu dayah ini membutuhkan seorang pimpinan. Teungku Syaikh Haji Ismail akhirnya diangkat menjadi Teungku Chik di dayah tersebut. Nah dibawah kepemimpinannya Dayah Pante Geulima mengalami kemajuan yang cukup pesat. Para santri tidak hanya datang dari Aceh tetapi juga berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Minangkabau, Deli Serdang, Siak lndrapura, Semenanjung Melayu, Patani, dan sebagainya.


Lingkungan Dayah yang damai dan tenteram berubah dalam sekejab setelah Belanda memberikan ultimatum terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873 untuk menyerah. Ultimatum itu ditolak oleh sultan dengan tekad mempertahankan kedaulatan Aceh sampai akhir hayat. Tekad dari sultan tersebut disambut seluruh lapisan masyarakat, termasuk Teungku Chik Pante Geulima.


Ancaman penyerangan terhadap Kesultanan Aceh Darussalam dibuktikan dengan mendaratkan pasukan Belanda di Pante Ceuremen, Banda Aceh. Pertempuran dahsyat yang tidak bisa dihindari lagi. Pada agresi pertama ini pasukan Belanda dipimpin Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler merupakan Agresi pertama Belanda terhadap Kesultanan Aceh harus dibayar mahal oleh Belanda. Pimpinan perang Belanda Kohler tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman.


Selama berangkat ke medan perang, Teungku Chik Pante Geulima menyerahkan kepemimpinan dayah di bawah kendali dewan ulama, di antara para dewan tersebut adalah Teungku Haji Muhammad Ali di Bukit, Teungku Chik di Bayi Pasi, Teungku Hasballah Meunasah Kumbang, Teungku Lhok Euncin dan Teungki Cik Payabakong.


Pertengahan 1873 Teungku Chik Pante Geulima dilantik menjadi panglima perang, mempersiapkan pasukannnya yang akan dibawa ke Banda Aceh. Teungku Chik Pante Geulima memperkirakan Belanda akan menyerang lagi pada agresi militer Belanda kedua, beliau beserta pasukannya membangun sebuah Kuta Reuntang dengan tujuh kubu yang saling menyambung di daerah Krueng Daroy. Teungku Chik Pante Geulima bermarkas di Kuta Bu, pada saat Belanda memasuki dan merebut dalam (istana). Pasukan Aceh akhirnya menyingkir dari dalam dan meninggalkan Banda Aceh Pada 1876, Teungku Chik Pante Geulima kembali ke Meureudu.


Pada 1877 beliau mendapat mandat dari Sultan ke Tanah Batak dan Karo untuk membantu Sisingamangaraja XII. Pasukan yang berjumlah 400 askar Aceh itu terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. "Misi Teungku Chik Pante Geulima di Tanah Batak dan Karo ada dua, yaitu pertama menganjurkan para pemimpin dan rakyat di kedua daerah itu untuk bertempur bersama Aceh melawan kolonialis Belanda, dan kedua melaksanakan dakwah islamiyah," (Ali Hasjmy: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa).

Kembali ke Dayah Pante Geulima, beliau ingin mengobarkan semangat juang rakyat Aceh yang mulai kendur dalam perang. Maka Teungku Chik Pante Geulima mengarang sebuah hikayat yang diberi nama Hikayat Maleem Dagang, hikayat ini selesai dikarang pada 1889 M.


Foto : Komplek Makam Tgk Syik Pante Geulima di Gampong Meurandeh Alue, Kec Bandar Dua, Kab Pidie Jaya


Pertempuran terakhir Teungku Chik Pante Geulima adalah mempertahankan benteng terkuat Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Kuta Batee Iliek di Samalanga. Belanda memang ingin menguasai Aceh secara menyeluruh termasuk Benteng Batee Iliek yang merupakan benteng terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Usaha Belanda merebut ini mengalami kegagalan hingga tiga kali, namun pihak Belanda sama sekali tidak menyerah dan melakukan serangan lanjutan selama dua kali berturut-turut di bawah kepemimpinan Jenderal van Der Heijden pada 1878.


Jenderal van Der Heijden yang memimpin serangan secara langsung menderita luka-luka, matanya buta terkena pelor senjata pasukan Aceh yang melepaskan tembakan dari Benteng Batee Iliek. Kegagalan ini membuat Van Der Heijden dibangkupanjangkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tongkat kepemimpinan Belanda selanjutnya diserahkan kepada Jenderal J.B Van Heutsz yang telah diangkat menjadi Gubernur Militer atau Panglima Tentara Pendudukan di Aceh.


Pada penyerbuan yang ketiga Jenderal Van Heutsz gagal di tahun 1901. Barulah pada 3 Februari 1904 Jum'at sore, benteng terkuat di Aceh tersebut berhasil direbut Belanda. Teungku Chik Pante Geulima sebagai penglima perang syahid lalu dimakamkan di Gampong Meurandeh Alue, Bandar Dua, Pidie Jaya.(an)


Read More

7/05/2022

Kupiah Meukeutop

Foto : Pengrajin Kupiah Tungkop sedang mengerjakan peuneukap kupiah meukeutop di Gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie.


Kabupaten Pidie terletak diantara 04,30° sampai dengan 04,60° garis lintang utara dan 95° sampai 96,20° garis bujur timur, dengan batas sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatas dengan kabupaten Aceh Barat, sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah Timur berbatas dengan kabupaten Pidie Jaya. Luas kabupaten menurut monografis 3.562,14 km2 yang dibagi ke dalam 23 kecamatan, 94 kemukiman dan 732 desa atau gampong dengan penduduk 378.278 jiwa (Aceh dalam Angka : 2010).


Masyarakat Aceh pada umumnya telah lama mengenal dan menggunakan penutup kepala atau topi, baik untuk pakaian sehari-hari maupun upacara adat. Penutup kepala laki-laki dalam bahasa Aceh telah dikenal sejak dahulu berupa kupiah meukeutop, sejenis kupiah yang biasanya dipakai para santri di pesantren dan orang yang beribadah haji. Pada masa kerajaan Aceh pada umumnya lelaki Aceh memakai kupiah meukeutop, seorang bangsawan menggunakan kupiah dengan ukuran yang lebih tinggi dibandingkan dengan kupiah yang digunakan oleh rakyat biasa. Seperti kupiah meukeutop yang digunakan oleh Teuku Umar, dan Teuku Panglima Polem pada saat berjuang. Akan tetapi pada masa sekarang kupiah meukeutop tidak lagi dipakai oleh bangsawan maupun rakyat biasa dalam kehidupan sehari-hari, pemakaian kupiah meukeutop sekarang khusus pada acara-acara adat perkawinan, sunnah Rasul dan acara-acara adat lainnya.


Sejauh ini belum diketahui pasti sejak kapan penutup kepala laki-laki masyarakat Pidie ini mulai dikembangkan. Namun khusus penutup kepala jenis ini sudah dikenal pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda (1606-1637). Kemudian pada abad ke-19 M, kupiah ini juga telah dipakai oleh tokoh-tokoh pahlawan Aceh seperti teuku Umar, Teuku Panglima Polem, dan Kepala-kepala Sagi di Aceh lainnya (Rasyid, 2000:13).


Pada masa Sultan Iskandar Muda (1606-1637) kupiah tersebut sering di pakai oleh para raja dan kaum bangsawan dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini disebabkan pada masa dahulu harga kupiah meukeutop sama dengan harga 1 (satu) mayam Mas Murni. Dikarenakan harga tersebut, maka kaum bangsawan dan para raja yang pada umumnya memakai kupiah meukeutop, namun kupiah meukeutop bukan kupiah bagi para raja dan bangsawan, namun barang siapa yang sanggup membeli maka orang tersebut boleh memakai. Dikarenakan harga yang sangat mahal pada masa kerajaan dulu, maka kaum bangsawan dan para raja dominan yang memakai kupiah tersebut. Pada zaman kerajaan Aceh ada beberapa golongan kekerabatan yaitu golongan raja, golongan ulee balang, golongan ulama dan golongan rakyat biasa.


Pada abad ke-19, kupiah meukeutop juga banyak dipakai oleh tokoh-tokoh pahlawan Aceh seperti: Teuku Umar, Teuku Panglima Polem, dan kepala-kepala suku di Aceh. Namun ada beberapa perubahan bentuk baik dari segi motif, bentuk dan aksesoris. Bentuk yang dipakai oleh Teuku Umar dan Panglima Polem berbeda dengan bentuk yang dipakai sekarang. Kupiah meukeutop yang dipakai oleh Teuku Umar yang merupakan orang kedua memasyurkan kupiah meukeutop setelah Sultan Iskandar Muda berbentuk topi Turbus yang dipotong melingkar tanpa lekukan dibagian badan kupiah, dan ada lilitan kain dibagian bawah kupiah tanpa memakai tengkulok, tidak memakai panggoda/tampok (berbentuk bintang/bunga) yang terletak di atas.


Motifnya sendiri sangat berbeda dengan yang dipakai oleh Panglima Polem, serta yang sekarang juga sangat jauh perbedaannya dengan yang dipakai oleh Teuku Umar, bahan kain yang dipakai oleh Teuku Umar tidak memakai banyak warna, hanya saja motif bungong campli (bunga cabai) dan bungong geunti (berbentuk kunci) sudah tersemat di kupiah meukeutop, sedangkan sekarang motif dibuat dengan cara disusun secara melingkar berbetuk geometris sehingga lahirlah bentuk motif bungong campli (bunga cabai) atau bungong geunti (berbentuk kunci). Dengan demikian terbukti jelas bahwa kedua motif tersebut adalah motif asli kupiah meukeutop yang sudah ada pada masa Teuku Umar dan tidak ada perubahan maupun penambahan motif sampai sekarang. Dari segi bentuk yang dipakai oleh Teuku Umar bentuknya lebih rendah dari yang dipakai Panglima Polem dan masa sekarang.


Sedangkan yang dipakai oleh Panglima Polem sudah sedikit mengalami perubahan, walaupun masih berbentuk keruncut terpotong, tetapi sudah ada lekukan dibagian badan, dan untuk motif bungong campli (bunga cabai) dan bungong geunti (berbentuk kunci) sudah tampak jelas, warna yang digunakan sama dengan sekarang, hanya kupiah meukeutop yang dipakai Panglima Polem tidak menggunakan kain tengkulok, panggoda/tampok, (berbentuk bintang) dan tidak memakai aksesoris-aksesoris. Dari segi bentuk yang dipakai oleh Panglima Polem lebih tinggi bentuknya dibandingkan yang dipakai oleh Teuku Umar.


Kupiah meukeutop pada masa sekarang ini sudah dimodifikasikan sesuai dengan pesanan pembeli, dan lebih indah dibandingkan dengan kupiah yang dipakai oleh Teuku Umar dan Panglima Polem, yang pertama dari segi bentuknya melengkung antara bagian badan dengan puncak kupiah, serta sudah ada hiasan seperti pagoda/tampok, dan aksesoris seperti priek-priek (berbentuk seuntai bunga), bros dan kain Tengkulok.


Dengan demikain, sangat jelas perbedaan antara yang dipakai oleh Tuku Umar, Panglima Polem, dan yang digunakan pada masa sekarang, bagian atas melengkung terletak pada tengkulok, aksesoris dan pagoda/tampok (berbentu bintang/bunga) serta tinggi rendahnya bentuk dari tersebut.


Kupiah meukeutop berbentuk seperti Topi Turbus yang sampai sekarang masih dipakai oleh Suku Kurdi di Turki. Hal ini disebabkan karena Negara Turki dan Aceh adalah bersaudara pada saat itu. Persaudaraan ini dapat dilihat dalam sejarah pada saat kerajaan Aceh melawan Portugis di Malaka, pada saat itu Aceh belum memiliki bendera kebesaran. Kerajaan Turki mengizinkan Kerajaan Aceh untuk mengibarkan bendera Turki untuk melawan Portugis pada saat itu. Dan sekarang dapat dilihat bendera Aceh pada zaman Sultan Iskandar Muda hampir sama dengan Bendera Turki hanya saja yang membedakan bendera Aceh memiliki pedang yang menyerupai tulisan Bismillah yang disebut bendera Alam Peudeung. Dalam bahasa Aceh, “alam” yang berasal dari bahasa arab berarti bendera dan “peudeung” adalah pedang. Alam Peudeung merupakan bendera Kerajaan Aceh Darussalam berdasarkan catatan sejarah.


Dari sejarah tersebut dapat disimpulkan bahwa banyak hal antara kerajaan Aceh dengan Turki membenarkan adanya kerjasama antar keduanya. Hubungan kerjasama tersebut merupakan bukti nyata bahwa Kerajaan Aceh pernah melakukan kontak budaya dengan kerajaan Turki. Sebagai akibat dari interaksi budaya tersebut terjadi perpaduan (akulturasi) antara unsur kebudayaan yang baru (unsur budaya yang datang dari kerajaan Turki) dengan unsur kebudayaan lama (unsur budaya yang terdapat dalam masyarakat Pidie). Demikianlah pula kupiah meukeutop sebagai salah satu wujud dari hasil akulturasi kedua unsur kebudayaan tersebut.


Pada masa dahulu kain yang digunakan untuk membuat kupiah meukeutop disebut “ija syam” (kain syam), yaitu kain dari Negeri Arab. Jadi kupiah meukeutop berkembang setelah masuknya pengaruh islam ke Aceh. Hal ini terbukti dari makna-makna warna yang digunakan pada kupiah meukeutop adalah warna-warna yang melambangkan islam. Yaitu merah berani, berani mengambil sikap antara haq dan bathil, kuning melambangkan kesebaran, hijau sendiri bermakna keseburan dan kemakmuran dan warna hitam berarti ketaqwaan kepada Allah SWT. Pada motif kupiah meukeutop dibuat warna yang bertingkat seperti bentuk tangga, dimana tangga pertama bermakna hukom, tangga kedua bermakna adat, tangga ketiga bermakna qanun, dan tangga keempat bermakna reusam.


Sampai saat ini kupiah meukeutop masih menjadi salah satu pelengkap busana adat tradisional masyarakat Aceh sekaligus sebagai identitas. Selain itu, kupiah tersebut juga mengandung nilai ekonomi yang dapat menunjang penghidupan pengrajin. Di Gampong Rawa Tungkup dan Garot Cut, Kecamatan Indrajaya, Kabupaten Pidie merupakan dua wilayah sentral produksi kupiah meukeutop. Kerajinan pembuatan kupiah meukeutop merupakan usaha yang melibatkan tenaga kerja perempuan, mulai dari yang muda sampai kepada yang tua. 


Bahan Dalam Pembuatan Kupiah Meukeutop


Menurut Rasyid, 2000:15 bahan-bahan yang digunakan untuk membuat sebuah kupiah meukeutop adalah :

- Kain teteron hijau, kuning, merah, dan hitam, yaitu masing-masing ¼ meter

- Kain katun warna putih ¼ meter

- Kapuk ½ kg

- Benang jernal 2 pintal

- Benang jahit 1 gulung

- Tepung ganji


Kain teteron kemudian di gunting kira-kira 2 cm kemudian dijahit dan disusun menurut motif yang dikehendaki. Selain tetoron, kain katun juga digunakan untuk membuat sebuah kupiah meukeutop, kain katun yang diperlukan adalah warna putih, kain tersebut akan digunakan sebagai lapisan bagian dalam kupiah meukeutop sehingga kupiah tampak lebih rapi dan menarik.


Benang-benang yang digunakan untuk menjahit kupiah meukeutop adalah benang jahit biasa 1 gulung dan benang jermai 2 pintal yang berwarna putih. Benang biasa digunakan untuk menjahit bagian badan kupiah dan benang jermai berfungsi untuk membuat ikat kulah dan bagia pada puncak. Kapuk sebanyak ½ kg berfungsi untuk membuat dulun, yaitu gulungan kapas yang sudah dibersihkan dari biji kapas kemudian digulung menggunakan alat yang disebut ‘aneuk leut” yang panjangnya disesuaikan dan biasanya untuk membuat sebuah kupiah membutuhkan 96 batang dulun. Untuk membuat sebuah kupiah meukeutop juga sedikit menggunakan tepung kanji kira-kira 100 gr. Tepung kanji ini lalu dicampur dengan air kemudian kain teteron dimasukkan kedalamnya lalu dijemur sampai kering. Kegiatan ini berfungsi untuk memperkuat dan memperkokoh kupiah meukeutop.


Peralatan Untuk Membuat Kupiah Meukeutop


Jenis peralatan yang digunakan untuk membuat kupiah meukeutop yaitu (Rasyid, 2000:16):

- Jarum jahit

- Gunting

- Aneuk leut (alat menggulung kapas, terbuat dari bambu)

- Panggang, yaitu alat untuk menjepit kain pada saat dijahit terbuat dari bambu.


Proses Pembuatan Kupiah Meukeutop


Proses pembuatan kupiah meukeutop di awali dengan pemotongan (menggunting) kain teteron kira-kira 2 cm persegi. Namun sebelumnya kain teteron dibasahi dengan air tepung kanji lalu dikeringkan. Tepung kanji berfungsi untuk menjadikan kain lebih keras dan kokoh.

Kain teteron yang sudah dipotong-potong (digunting) kemudian disatukan dengan cara dijahit menggunakan teknik jahitan seperti jelujur, dijahit berderet-deret menurut susunan tertentu. Bentuk rangkaian ini disebut keunarang.

Keunarang tersebut kemudian dipotong-potong dan dijahit kembali menurut sesuai motif yang ada pada kupiah, sehingga berbentuklah bagian badan yang disebut peuneukap.

Kemudian dilanjutkan dengan pembuatan dulun yaitu isi bagian dalam peuneukap yang terbuat dari kapas yang sudah bersih lalu digulung dengan menggunakan aneuk leut sehingga berbentuk batang-batangan pohon dari kapas sekitar 1 cm dan berjumlah 96 batang dulun untuk satu buah, dengan panjang sesuai dengan panjang peuneukap.

Peuneukap yang sudah diisi dengan dulun kemudian dilapisi dengan kertas Koran dan kain putih didalamnya. Kegiatan ini bertujuan untuk memperkeras/memperkokoh bagian peuneukap dan selanjutnya fungsi kain putih adalah untuk menutupi bagian dalam kupiah supaya kelihatan rapi dan indah.

Untuk selanjutnya mengerjakan bagian puncak kupiah, pekerjaan ini sama halnya dengan proses pembuatan peneukap namun pada bagian paling atas dari puncak kupiah ini dibuat dari benang putih (benang nilon/jermai) disebut ikat kulah. Kemudian dihiasi pula dengan jahitan benang dalam posisi vertikal yang disebut bagia, lalu bagian dalam puncak kupiah tersebut dilapisi dengan kain berwarna putih supaya terlihat lebih rapi. Selanjutnya adalah menyatukan bagian badan (peuneukap) dengan bagian puncak kupiah, selesailah sebuah kupiah yang dinamakan kupiah meukeutop.

Ragam Hias, Motif dan Makna

Kain yang diisi kapuk dibagian tengahnya dan dibagian luar dihiasi kain-kain kecil aneka warna (merah, kuning, hijau dan hitam) yang disusun secara melingkar dalam bentuk geometris sehingga melahirkan motif tertentu yaitu bunga cabai (bungoeng campli) dan berbentuk kunci (bungoeng geunti), kupiah ini biasanya dililit sehelai kain teungkulok yang pada bagian belakang kupiah berbentuk segitiga. Hiasan lain pada kupiah meukeutop adalah berupa “tampok” yang dilekatkan pada bagian atas atau puncak topi. Tampok tebuat dari emas atau perak dan suasa yang disepuk serta batu permata. Kemudian priek-priek, yaitu hiasan kupiah yang disangkutkan pada bagian sisi kanan kupiah, berbentuk untaian bunga terbuat dari emas atau perak yang sepuh emas dan permata.

Dari ragam hias yang terdapat pada kupiah meukeutop juga sedikit mempunyai arti simbolik. Lilitan kain teungkulok pada kupiah meukeutop selain untuk keindahan adalah melambangkan keperkasaan seseorang laki-laki. Selanjutnya motif bungoeng campli (bunga cabai) melambangkan kecerdasan atau semangat yang serius/sungguh-sungguh. Sedangkan untuk motif bungoeng geunti (berbentuk kunci) belum diperoleh informasi yang pasti. Demikan pula untuk tampok dan priek-priek yang disematkan pada kupiah meukeutop belum diperoleh informasi yang akurat.

Tampok pada yang menyerupai tangga juga mempunyai arti simbolik. Anak tangga atas berarti hukum islam, anak tangga yang kedua dari atas adalah adat, anak tangga yang ketiga dari atas berarti qanun, dan anak tangga yang keempat dari atas (terakhir) berarti reusam (rasam).(ay)



Sumber :

Syawal Muhammad, Modal social pada pemberdayaan perempuan (suatu studi pada perempuan pengrajin kelompok Tungkop indah di gampong Rawa Tungkop, Kecamatan Idrajaya, Kabupaten Pidie. 2016. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Universitas Syiah Kuala.

Nurlisma, Proses pembuatan kupiah meukeutop di desa Garot Cut Kecamatan Indrajaya Kabupaten Pidie. 2015. Program studi pendidikan kesejahteraan keluarga. Universitas Syiah Kuala.

Kelompok pengrajin Tungkop Indah, Rawa Tungkop, Indrajaya, Kabupaten Pidie.

Kelompok pengrajin Garot Cut, Indrajaya, Kabupaten Pidie.







Read More

6/25/2022

Teungku Syik di Coeh, Ulama Aceh Keturunan Gujarat

Foto : Makam Syaikh Muhammad Sultan Shahib atau lebih dikenal dengan sebutan lakab Teungku Syik di Coeh, Gampong Pulo Gajah Mate, Mukim Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.

Ketika Islam melakukan eksvansi Eropah dan Asia, sebagian besar pedagang-pedagang Arab, Persia, Turkistan, Gujarat/India dan Cina melakukan pelayaran laut terutama melalui Samudra Hindia dan Selat Malaka sejak abad ke-9 sampai 14 Masehi. Mereka giat melakukan perdagangan, serta aktif memperkenalkan agama dan kebudayaan Islam pada penduduk setempat. Di antara wilayah-wilayah yang mereka lewati menjadi pusat transaksi barang-barang dan kegiatan Islam, diantaranya Kuala Gigieng/Lheue, Nyong, Meureudu, Samalanga sampai Samudra Pasai pada abad ke-14 Masehi (Zainuddin (1961: 19). 


Berdasarkan rute-rute yang dilewati oleh pedagang atau saudagar Arab, Gujarat dan Canton/Cina di kawasan Selat Malaka, telah ada orang-orang Islam di pesisir pantai dan berdomisili di mana mereka tinggal dewasa itu. Hal ini dapat dibuktikan bahwa daerah-daerah yang terletak dipesisir pantai utara Pidie sebagian besar didomisili oleh orang-orang berasal dari India Kalingga, misalnya Gajah Aye, Pidie, Reubee, Gigieng, Ie Leubeue, Nyong, Pante Raja sampai Meureudu. Lokasi tersebut penduduknya mirip dengan orang-orang muslim dari Gujarat India dan Kalingga. Menurut Husaini Ibrahim (2014: 5) dikemukakan bahwa “para pedagang merupakan golongan yang membawa Islam pertama masuk ke Aceh. Mereka membawa agama Islam ke Aceh sambil berdagang”.


Pedagang-pedagang tersebut, selain melakukan transaksi barang dagangan di setiap kuala pesisir Aceh juga menyebarkan agama Islam dengan cara perkawinan, membuka pusat-pusat peribadatan Islam di sekitar kota/peukan dan dakwah ke perkampungan penduduk.


Foto : Anggota Komunitas Beulangong tanoh mengunjungi makam Syaikh Muhammad Sultan Shahib atau Teungku Syik di Coeh, Gampong Pulo Gajah Mate, Mukim Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie.


Gigieng salah satu Gampong terletak di pesisir utara Pidie dan bandar strategis yang berhadapan dengan kawasan Selat Malaka. Dulu namanya Peukan Gigieng (Keude Gigieng), sekarang statusnya menjadi kemukiman bagian dari wilayah administratif Kecamatan Simpang Tiga, dan Kabupaten Pidie dengan ibukota Sigli. selanjutnya H.M. Jamil mengemukakan bahwa untuk wilayah Gigieng-Peukan Tuha, kala itu juga tersedia rute keluar-masuk armada tongkang ke Gudang untuk bongkar muat barang-barang di dermaga jembatan Keuranji, sehingga nama gudang tersebut lahir satu kampung namanya “Geudeueng Peukan Tuha”. Nah lokasi inilah Gigieng dijadikan pusat penyimpanan barang-barang dagangan yang dipasok dari negeri Arab, India dan Cina. Di sini pula tersedia tempat penginapan khusus saudagar-saudagar besar atau Tuan Besar, asal Gujarat/India. Menurut keterangannya di kampung Geudeung dan Blang Pantee ada bekas Tongkang tenggelam di lokasi jalur Jembatan Keuranji, yaitu sewaktu masih jayanya Gigieng bahwa Jembatan Keuranji bisa menghubungkan antara Geudeung Peukan Tuha dengan Lampoih Weng/Polo Raya terus menghubungkan ke Gigieng Polo Gang sebagai pusat transaksi perdagangan hingga ke Kuala Peukan Lheue.


Di Gampong Meunasah Pulo Gajah Mate terdapat satu makam ulama yang masyarakat sekitar menyebut Teungku Syik di Coeh atau nama bernama lengkap Syaikh Muhammad Sultan Shahib yang ayahnya keturunan Gujarat india.


Syaikh Muhammad Sultan Shahib adalah anak dari Syaikh Abdul Kadir Shahib, ayahnya adalah seorang ulama dan duta luar negeri dari Kesultanan Aceh Darussalam untuk negeri Gujarat yang pada saat itu di pimpin oleh Sultan Mahmud Syah. Setelah ayah beliau wafat Teungku Syik di Coeh melanjutkan kegiatan mengajar dan membangun sebuah dayah di kampung halamannya Pulo Gajah Mate.


Silsilah yang terdapat pada makam Teungku Syik di Coeh menjelaskan bahwa ayah beliau Syaikh Abdul Kadir Shahib menikah dengan putri Syaribanun anak dari Sultan Aceh Darusalam Mansyur Syah dan melahirkan beliau.(an)


Read More

6/06/2022

Melihat Adat Meugoe di Pidie

Foto : Proses seumula (tanam padi) yang dilakukan oleh para petani wanita.


Masyarakat Pidie saat ini dipastikan sedang sibuk-sibuknya menghadapi musim seumula (bercocok tanam padi). Pemandangan nan indahpun terlihat mengasikkan mata bila kita memasuki pelosok Pidie, di mana orang-orang terlihat berkelompok berjejeran sedang dalam keasikannya beut bijeh dan pula padee.


Pidie dan meublang atau meugoe memang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena sebahagian besar masyarakat Pidie memiliki kesibukan dan kehidupan ekonominya pada sektor tersebut. Bahkan, pada logo Pidie tersemat slogan “Pangulee buet ibadat, Pang ulee hareukat meugoe”. Ini mengartikan dalam aktivitas kehidupannya, orang Pidie sangat mengutamakan ibadah dan bertani sebagai sebaik-baik perbuatan dan sebaik-baik mata pencaharian.


Oleh karena demikian, tak mengherankan, bila saat musim turun sawah tiba, khususnya ketika tiba waktu bercocok tanam padi, maka pasar-pasar di Pidie yang pada hari-hari biasanya ramai menjadi mereda dan bahkan sepi dari para pembeli. Jalan-jalan di pusaran pasarpun terlihat lebih lowong. Namun demikian, akan ada waktunya Pasar-pasar yang sepi itu ramai kembali, bahkan lebih ramai dari hari-hari biasanya, yakni ketika tiba dan usainya musim panen padi.


Sebagai wilayah yang masih memegang teguh adat dan budaya, Pidie memiliki tradisi tersendiri dalam hal bercocok tanam, yang masih dijaga oleh masyarakat Pidie hingga saat ini, yakni adat meugoe. Adat meugoe  merupakan bentuk keteraturan sosial yang mengatur tata cara bercocok tanam padi di sawah,  mengatur pola hubungan sesama petani di sawah, mengatur pola pengaliran dari sawah seseorang ke sawah orang lain, serta mengatur sanksi adat bagi pelanggar dalam lingkungan persawahan. 


Peran Keujruen Blang


Foto : Petani sedang menabur pupuk di sawah

Para petani di Pidie, ketika hendak meugoe (turun sawah), maka mereka terlebih dahulu menunggu instruksi dari keujruen blang, yang mana keujruen blang ini merupakan orang yang sangat paham tentang duduk perkara perihal meugoe dan blang. Dengan demikian, posisi keujruen blang  adalah posisi yang ditempati oleh meusoe-soe ureueng, yang dalam arti lain, tidak diduduki oleh sembarang orang.


Sedikit mengulas tentang cara kerja Kejruen blang. Keujruen Blang sebelum memberi perintah (red;amaran) untuk turun sawah kepada masyarakat, maka lazimnya sudah terlebih dahulu bermusyawarah dengan orang yang disebut Malem yang dipercaya paham akan kondisi cuaca dan memiliki insting baik untuk waktu ideal turun ke sawah.


Adalah sebuah pantangan dan dikatakan hana roih (red; pamali) bila tidak mengindahkan pola keteraturan yang sudah menjadi warisan sosial di bidang meugoe ini. Barang siapa yang melangkahi intruksi keujruen blang dalam aktivitas meugoe, diyakini oleh orang Pidie akan berakibat pada gagal atau tidak maksimalnya hasil panen nantinya.


Setelah mendapat instruksi waktu tepatnya turunnya ke sawah, baru kemudian para petani memulai aktivitas meugoe, yang diawali dengan acara peugleh lueng (pembersihan anak sungai), peutron langai (pembajakan lahan sawah), pileh bijeh (memilih benih), tabu bijeh (menabur benih), seumula (menanam padi), keunduri blang (keunduri blang) dan koh pade (memanen).


Menarik ketika acara peutron langai di Pidie, yang menandakan sudah mulai dan saatnya mengolah lahan sawah. Konon, acara peutron langai ini tidak boleh dilakukan selain oleh Kejruen Blang yang didampingi tokoh gampong. Prosesi peutron langai dilakukan pada salah satu sawah yang biasanya kepunyaan orang yang kaya. Kenapa mesti pada orang kaya? Ini karena pada masa itu orang Pidie punya pandangan, bahwa sifat dan karakter manjur atau beruntung dalam beraktivitas --seperti orang kaya akan turun pada orang-orang lainnya yang mengikuti mereka.


Langai dipeutron dengan dibantu oleh hewan berupa kerbau atau sapi. Sapi atau kerbau ini, setelah ia menarik beberapa meter anak langai ,di sawah yang sudah ditentukan tersebut maka Sapi atau kerbau akan ditepungtawari alias dipeusijuek oleh Kejruen Blang. Baru setelah itu, orang lain yang memiliki sawah disekitarnya mulai mengolah sawah secara bersama-sama.


Orang Pidie juga memuliakan sawah-sawahnya dengan memberikan nama yang unik dan punya nilai historis tersendiri bagi sang pemilik. Misal nama sawahnya, blang rapai, blang cot lam gudham, blang lhok mata ie, dan sebagainya.


Setelah prosesi turun langai selesai, maka dilanjutkan dengan acara pileh dan reundam bijeh, dan selang beberapa hari kemudian dilanjutkan dengan acara tabue bijeh pada neuduek. Meski tidak serentak tapi terlihat beriringan dengan hari yang berbeda antara satu pemilik sawah yang satu dengan pemilik sawah lainnya. Dan selang 4-5 pekan kemudian barulah memasuki musim seumula (menanam).


Sebagaimana biasanya, sebelum penanaman padi (seumula), para petani di Pidie terlebih dahulu melakukan proses beut bijeh  atau pencabutan bibit yang umumnya dilakukan oleh kaum wanita secara bergotong royong –hari ini sudah ada dan dilakukan berkelompok dan diberikan upah yang sepadan. Bibit yang sudah dicabut, kemudian diikat agar mudah diangkat dan diangkut untuk ditanam.


Membuat Peuneuphon


Adalah menarik saat proses atau pemulaan seumula di Pidie. Permulaan penanaman bibit padi dilakukan dan ditandai dengan menanam 7 (tujuh) batang bibit di sekeliling sebuah tiang bambu yang sudah dipancangkan di tengah sawah yang dimulai dengan membaca Basmallah (Bismillah). Disamping tiang bambu itu, sudah ada bungkusan yang dinamakan peneuphon yang terdiri dari on seunijuek, breuh pade, wewangian, bunga-bunga, beulukat, kapas, dan telur kampung.


Sebagian orang menempatkan peuneuphon tersebut pada salah satu sudut pematang sawahnya, yang memberikan batasan dengan sawah orang lain. Dan prosesi peneuphon ini, lazimnya dilakukan oleh pemilih sawah atau bila sekarang dilakukan oleh salah satu anggota kelompok seumula yang dianggap sebagai orang paling tua, bijak, dan diikuti tindak tanduknya dalam masyarakat. Jadi, tidak dibiarkan prosesi menempatkan peneuphon ini pada sembarang orang.


Semua barang-barang yang ada dalam bungkusan peuneuphon memiliki makna tersendiri bagi para petani, dan menjadi semacam tafaul agar padinya bagus dan mendatangkan hasil yang maksimal ketika dipanen kemudian hari.


Sekilas pola membuat peneuphon ini mirip dengan ritual orang Hindu yang memuliakan tanaman dengan sesembahan/sesajen. Namun demikian, ada perbedaannya dengan ritual orang Hindu, karena orang Pidie ketika melakukan sebagai bentuk memuliakan tanaman yang sudah memberikan “keberlanjutan kehidupan” bagi mereka petani.


Sebagai orang Pidie, tentunya kita harus bangga punya adat meugoe yang khas sedemekian rupa. Karena melalui adat itulah identitas kita terjaga. Dewasa ini memang beberapa bagian dari adat sudah mulai lentur, namun demikian kita semua, punya andil untuk melestarikannya kembali, meskipun tidak sama persis dengan apa yang sudah dilakukan oleh orang-orang terdahulu. Dan mudah-mudahan saja, masuknya modernisasi di bidang pertanian sebagaimana yang terlihat akhir-akhir ini, tidak merusak tatanan kehidupan masyarakat tani kita.(ms)





Read More

4/05/2022

Syaikh Muhammad bin Syaikh Khatib Al-Langien Asyi

Foto : Makam Syaikh Muhammad bin Syaikh Khatib Al-Langien Asyi di Gampong Dayah Langien, Mukim Langien, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya.


Syeikh Muhammad bin Khatib Al-Langien atau yang lebih di kenal dengan nama Teungku Ahmad Khatib Langien merupakan salah satu tokoh ulama kharismatik Aceh. Beliau juga seorang murid dari Syeikh Muhammad Ali. Sejarah mencatat bahwa Muhammad Ali adalah murid Syeikh Muhammad As’ad yang menerima tarekat syatariah dari beliau. Tariqat ini merupakan tareqat yang sudah lazim di temukan di pantai timur yang sangatlah besar pengaruhnya, beberapa penganut tarekat ini masih di jumpai hingga saat ini.


Teungku Ahmad Khatib Langien juga seorang pengarang kitab yang handal. Salah satu karya beliau yang masih di baca sampai sekarang dan sudah tersebar di tingkat Asia tenggara  adalah “Dawaul Qulub”, yang diselesaikan pada tahun jiim, hari sabtu bulan Rabiul Akhir, atau sekitar tahun 1237 H/1821 M, pada masa pemerintahan Sultan Husen Alaidin Jauhar Alam syah (1209-1238 H, 1795-1823 M).


Kitab “Dawaul Qulub” dapat di terjemahkan berarti obat segala hati dari segala aib. Dari segi kandungannya secara keseluruhan banyak persamaan dengan Hidayatus Salikin karya Syeikh Abdus Samad Palembang, dan Dawaul Qulub menjadi kitab ke tujuh dalam Kitab Jam’u Jawami’il Mushannifat atau yang di kenal dengan nama kitab lapan.


Jika diperhatikan tahun penyelesaian kitab yang di karang pada tahun 1237 H/1821 M, dapat di simpulkan bahwa Teungku Ahmad Khatib Langien hidup di masa yang sama dengan Syeikh Abdullah Asyi yang merupakan pengarang kitab Syifaul Qulub yang di selesaikan tahun 1225 H/1810 M.


Adapun karya lain milik Tengku Ahmad khatib Langien adalah Asrarud Din Lil Ahlil Yaqin yang telah dicetak berkali-kali bersamaan dengan kitab Miftahul Jannah karya Syeikh Muhammad Taiyib bin Mas’ud al-Banjar di antaranya cetakan Matba’ah al-Miriyah Makkah tahun 1321 H/1903 M.


Dalam kitab lapan terdapat beberapa kitab yang telah di himpun dan di satukan oleh Syeikh Ismail bin Abdul Mutthalib Al-Asyi, di antaranya:


  1. Hidayatul Awan karya Syeikh Jalaluddin bin Kamaluddin Asyi, Faraidh al-Quran tanpa pengarang.
  2. Kasyiful Kiram karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi, Talkhisul Falah karya Syeikh Muhammad Zain bin Jalaluddin Asyi 
  3. Syifaul Qulub karya Arif Billah Syeikh Abdullah Baid Asyi, Mawaizhul Badi’ah karya Syeikh    Abdur Rauf Fansuri As-singkily.
  4. Dawaul Qulub karya Syeikh Muhammad bin Syeikh Khatib Langien Asyi, I’lamul Muttaqin karya Syeikh Jamaluddin bin Syeikh Abdullah Asyi.


Inilah sejarah singkat Syaikh Muhammad bin Syaikh Khatib Al-Langien yang menggambarkan Ulama Aceh dulu begitu produktif serta memberi konstribusi yang amat sangat berarti bagi pemikiran keislaman di Aceh. Kita berharap agar masyarakat pada umumnya, terutama Pemeritah Kabupaten (Pemkab) untuk mengapresiasi karya-karya para ulama Aceh masa lalu dan masa sekarang.(an)


Read More

3/25/2022

Negeri Meureudu dan Kuta Batee

Foto : Salah satu menara benteng Kuta Batee yang kondisinya sekarang telah rusak berlokasi di Gampong Manyang Lancok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya.


Sejak Sultan Iskandar Muda naik tahta tahun 1607, telah terjadi perubahan-perubahan besar untuk kemajuan negeri. Programnya selain menstabilkan politik juga memberi prioritas pada kemajuan perekonomian, karena dalam kenyataan bahwa sumber hasil bumi dari Aceh pada saat itu menjadi rebutan bangsa eropa. Wilayah kekuasaan kesultanan Aceh pada masa pemerintahan Sultan Iskandar Muda meliputi, sebelah timur sampai ke Tamiang dan sebelah barat sampai ke Natal, Pasaman Tiku, Pariaman, Salida dan Indra Pura hingga Semenanjung Malaka.


Menurut catatan sejarah, Sultan Iskandar muda sepanjang pemerintahannya sangat mengistimewakan negeri Meureudu, pernah suatu ketika perjalanan Sultan Iskandar Muda yang mengendarai gajah atau disebut pasukan armada gajah dari Pidie menuju Malaka sampai berhari-hari tidak mau meranjak, sebelum sultan bertemu dengan ulama besar Teungku Japakeh ahli strategi perang dan Teungku Malem Dagang panglima perang yang gagah berani. Kemudian secara khusus sultan terus membina hubungan dengan pemuka dan masyarakat Meureudu.


Setelah Sultan Iskandar Muda kembali dari penaklukan Johor, Pahang dan Malaka. Beliau mengangkat pejabat sementara Teungku Chik di negeri Meureudu, putra bungsu Meurah Ali Thahir yang bernama Meurah Ali Husin (Po Raja Chik) pada tahun 1636. Kemudian pada tahun 1640 Sultan Iskandar Tsani (pengganti Sultan Iskandar Muda) mengangkat Teungku Chik di Meureudu untuk menjabat sebagai pimpinan pemerintahan, putra sulung dari Meurah Ali Husin bernama Meurah Johan Mahmud dengan pangkat Teungku Chik Sri Muda Pahlawan negeri Meureudu beliau adik dari permaisuri Sultan Muzhaffar Syah yang bernama Cut Nyak Dewi Laila Kulstum binti Meurah Ali Ya’cub dan seterusnya.


Foto : Benteng Kuta Bate di Gampong Manyang lancok, Kecamatan Meureudu, Kabupaten Pidie Jaya.


Negeri Meureudu di bawah kekuasaan sultan Aceh di kenal dengan istilahnya naggroe bibeuh (Negara Bebas), di mana penduduknya dibebaskan oleh sultan dari berbagai beban dan kewajiban, dan kepala pemerintahan setempat di luar negeri Meureudu tidak boleh campur tangan terhadap mereka. Negeri Meureudu hanya mempunyai kewajiban istimewa membantu sultan Aceh untuk menyediakan bahan makanan pokok berupa beras karena negeri ini pada masa itu adalah gudang beras. 


Teungku Chik Meureudu Meurah Johan Mahmud membina daerah pemerintahan negeri Meureudu dengan bimbingan Teungku Japakeh dan Panglima Malem Dagang yang terlebih dahulu telah bermukim di negeri Meureudu dan sekitarnya. Selama pemerintahannya selalu meminta petunjuk dari pada para ulama dan penghulu adat serta cendikiawan (Hukama’) seperti Teungku Japakeh, Panglima Malem Dagang, Teungku Meurah Puteh, Teungku di Pucok Krueng Beuracan atau Teungku Salim dan lain-lainya.

Dalam menjalankan hukum Islam dan adat Aceh yang bersandikan syariat Islam. Pemerintahannya adalah dimasa Sultan Iskandar Tsani (1638-1641) dan Sultanah Tajul Alam Shafiyatuddin Syah (1641-1675). Di dalam kamus Al-asyi pada pasal satu diterbitkan “apabila ulee balang sebuah negeri tidak menuruti hukum maka sultan memanggil Teungku Chik Sri muda pahlawan raja negeri Meureudu, menyuruh pukul ulee balang negeri tersebut atau di serang kenegeriannya dan diberhentikan atau di usir, segala pohon tanamanya dan harta serta rumahnya dirampas.


Foto : Mesjid Kuta Batee yang dulunya sebelum pembangunan masjid baru terdapat mesjid tua yang merupakan sebagai tempat pemberhentian Sultan Iskandar Muda saat menunggu Tgk Japakeh dan Malam degang sebelum menyerang Negeri Malaka.


Yang menarik dari kutipan adat meukuta alam ialah bahwa masyarakat Meureudu sejak pemerintahan Sultan Iskandar Muda merupakan masyarakat yang loyal kepada pemerintah serta sangat setia kepada pemimpinnya dengan kesedian mereka menjalankan peraturan hukum yang ditetapkan oleh pemerintah kesultanan.


Selain loyal terhadap kesultanan kenegerian meureudu juga diberikan dan hak-hak istimewa. Hal ini disebabkan karena kawasan tersebut menjadi salah satu lumbung pangan untuk penduduk seluruh Kesultanan Aceh Darussalam. Jauh sebelum kesultanan aceh memerintah, para ulama yang menyebarkan agama Islam kedaerah ini langkah pertama membebaskan penduduk dari kesulitan hidup adalah membuka area pertanian untuk sawah dan padang gembala. Sebagai contoh antara lain ditunjukkan oleh Teungku di Pucok Krueng Beuracan atau Ja Salim dan teungku Ja Pakeh yang kelak menjadi salah seorang penasehat militer kesultanan dalam melawan Portugis di Pahang dan Malaka Semenanjung Malaysia. Negeri Meureudu karena didiami sejumlah ulama dari keturunan Saidil Mukammil (Alaidin Ri’ayat Syah) yakni sultan kedua memperoleh hak-hak istimewa antara lain bebas dari pengutipan pajak.


Sebelumnya diceritakan seandainya masyarakat Meureudu tidak tertipu, pusat Kesultanan Aceh Darussalam akan berada di Meureudu. Peristiwa ini terjadi tatkala sultan pada suatu ketika bertitah untuk membuat sebuah benteng di sisi sungai Meureudu, hal ini di karenakan saat pengujian air didapatkan air sungai mereudu lebih jernih, namun pada saat semple di bawa ke kesultanan di Bandar Aceh sebenarnya hasil dari uji tersebut air sungai Meureudu lebih berat tetapi karena pada punggung botol yang berisi air sungai Krueng Aceh telah lebih dulu diletakkan uang logam sehingga air sungai Krueng Aceh naik timbangannya, dengan demikian sultan memutuskan bahwa pusat kesultanan tetap di Bandar Aceh Darussalam.


Seiring dengan wacana perpindahan pusat kesultnan ke kenegerian Meureudu di buatlah sebuah benteng pertahanan disisi sungai Meureudu tepatnya di mukim Manyang, pembuatan telah dikerjakan sebahagian bahkan pusat pemerintahan seperti mahligai sultan. Benteng sendiri terbuat dari batu air yang diikat dengan putih telur yang diaduk dengan tepung sebagai pengganti semen. Selain itu disisi kanan benteng juga dibagun sebuah masjid yang sekarang di kenal masjid Kuta Batee.


Kondisi benteng saat ini telah mengalami kerusakan parah akibat banjir sehingga terjadi pengikisan,bahkan dinding benteng yang dekat dengan sungai telah roboh. Hal ini seharusnya menjadi perhatian khusus dari pihak terkait untuk melindungi benteng tersebut dari kerusakan yang lebih parah.(an)

 


Read More

3/05/2022

Syaikhuna Muhammad Syafi’i (Teungku Syik Paya Asan)

 

Foto : Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.


Islam telah menjadi sebuah agama resmi di Kesultanan Aceh masa lalu, seperti Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Perlak, Kesultanan Pedir, dan Kesultanan Aceh Darussalam. Agama ini di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari di bawah pengentrolan kesultanan sehingga Islam terefleksi dalam sistem budaya masyarakat (Said, 1961 ; 36).


Dalam berbagai kajian antropologis, penduduk yang tinggal di Aceh selalu di gambarkan sebagai sebuah masyarakat yang sangat kental dengan keyakinan agama Islam (weekes, 1984 ; 21). Gambaran ini di bangun atas dasar bahwa sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh amat di pengaruhi oleh ajaran Islam. Banyak ulama menduduki posisi strategis dan signifikan dalam struktur social kehidupan masyarakat (Gellner, 1995).  


Sejak periode awal penyebaran Islam di nusantara hingga masa kini ulama merupakan pemimpin informal masyarakat dan selalu berdampingan dengan posisi pemimpin formal. Bahkan, pada masalah tertentu, ulama Aceh di pandang sebagai pemimpin formal masyarakat, hal ini terlihat pada peran yang di mainkan oleh mereka dalam menggerakkan rakyat Aceh untuk menghadapi penjajah Belanda (Alfian, 1987 ; 1995 ; Amiruddin, 1994).


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tahun wafat Beliau.


Seperti halnya Syaikh Muhammad Syafi’i, Beliau adalah seorang tokoh ulama sufi yang hidup pada abad ke-19. Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, kira-kira berjarak 15 km dari pasar Padang Tiji ke arah Kunyet. makam terletak di atas bukit dengan akses jalan licin dan sedikit menanjak, sekeliling makam juga terdapat makam lainnya salah satunya makam Teungku Manyang atau yang lebih dikenal oleh  masyarakat daerah tersebut sebagai pengawal Teungku Syik Paya Asan.


Makam Teungku Syik Paya Asan tertutup oleh sebuah cungkup yang berbentuk rumah di penuhi ukiran dan kaligrafi. Perkiraan beliau wafat pada tahun 1298 H / 1881 M seperti yang disebut pada kaligrafi di atas pintu masuk makam beliau “Qad Wafa Syaikhuna Wa…Wa Imamuna Syaikh Muhammad Syafi’i….sanah 1298 H”.


Selain itu, sudut belakang makam pada tulisan kaligrafi menjelaskan “Abdullah Sayyid Hadharat Muhammad Saman Abdul Kabir….. Syatariah Talqin”, belum jelas apa yang di maksud dari tulisan tersebut. Namun bisa disimpulkan  bahwa beliau pengikut dari tarikat “Syatariah”. Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang memopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah Asy-Syattar.


Tak seperti penyebaran tarekat lainnya yang dilakukan seorang mustyid (guru), dari masjid ke masjid, dan majelis taklim ke majelis taklim, penyebaran Tarekat Syattariyah justru menyebar ke berbagai pelosok nusantara melalui jalur atas, kalangan masyarakat elite, yakni istana.


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tarikat "Syatariah".


Tarekat Syattariyah di Indonesia dibawa oleh Syekh Abdurrauf Singkili ulama asal Aceh. Keilmuan dan ketokohannya membuat Ratu Shafiyyatu Ad-Din, yang memerintah Kesultanan Aceh kala itu tahun 1641-1675 tertarik untuk mendapatkan pelajaran agama dari Syekh Abdurrauf Singkili. Ratu ini pun memintanya untuk menuliskan sebuah buku yang menjelaskan tentang tarekat Syattariyah, lalu Syekh Abdurrauf Singkili  menulis buku dengan judul At-Tariqatu Asy-Syattariyyah.


Sang Ratu juga meminta kepada Syekh Abdurrauf agar membimbingnya dalam menjalankan disiplin tasawuf, permohonan itu lantas ia sanggupi setelah terlebih dahulu Syekh Abdurrauf melakukan shalat istikharah  agar memperoleh petunjuk dari Yang Mahakuasa. Keterlibatan Ratu Shafiyatu ad-Din dalam aktivitas Tarekat Syattariyah akhirnya memperkuat kedudukan ajaran tarekat itu dalam istana.


Sebagaimana dicatat oleh Ahmad Syafii Mufid dalam bukunya Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Tarekat Syattariyah masuk ke Nusantara pada 1665 M. Diterimanya tarekat ini oleh masyarakat Aceh, tidak lama setelah Kesultanan Aceh menolak ajaran Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsudin Sumatrani, dengan paham wujudiyah, yang mengajarkan konsep wihdatul wujud (penyatuan jiwa dengan Tuhan).(an)


Read More

2/25/2022

Teungku Syik di Tambon Dalam Sejarah Aceh

Foto : Makam Teungku Syik di Tambon Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.


Sumber-sumber sejarah mengenai islamisasi di Nusantara sangat sedikit, secara keseluruhan catatan sejarah tentang pengislaman di dalam literatur dan tradisi melayu masih simpang siur dengan beragam keterangannya. Oleh karena itu, banyak hal yang sukar terpecahkan sehingga sejarah di Nusantara banyak bersifat perkiraan. Mencari ketepatan kapan masuknya Islam ke Nusantara sangat sulit biasanya dikaitkan dengan kegiatan perdagangan antara dunia Arab dengan Asia Timur. Banyak yang memperkirakan bahwa kontak antara Nusantara dengan Islam terjadi sejak abad ke-7 Masehi. 


Dalam seminar Sejarah Masuknya Islam yang berlangsung di Medan tahun 1963 dan Banda Aceh tahun 1978 menyimpulkan bahwa masuknya Islam ke Nusantara pada abad ke-1 Hijriyah langsung dari tanah Arab. Di samping itu ada juga yang berpendapat bahwa Islam masuk pada abad ke-13 Masehi. Ada satu persoalan lain yang menjadi perdebatan dan sulit dipastikan adalah persoalan dimana Islam pertama sekali masuk, ada yang mengatakan di Jaya, dan ada juga yang mengatakan di Barus, namun demikian ahli sejarah sependapat bahwa Islam masuk ke Nusantara melalui pesisir Sumatera Utara yaitu melalui Samudera Pasai (Aceh).


Menurut Ali Hasyimy, kerajaan Islam pertama di Sumatera Utara adalah Kerajaan Perlak yang muncul pada abad ke-9 Masehi, Kerajaan Perlak mempunyai pengaruh keislaman bagi daerah-daerah di sekitarnya. Banyak ulama Perlak yang berhasil menyebarkan Islam ke luar Perlak, misalnya sekelompok Da’i Perlak dapat mengislamkan raja Benua, para ulama Perlak, tokoh-tokoh, pemimpin, dan keluarga raja Perlak banyak yang pindah ke Lingga setelah penyerangan Sriwijaya, sehingga mereka membentuk masyarakat Muslim disana dan dengan demikian maka berdirilah kerajaan Islam Lingga. Selain Perlak kerajaan Islam yang terpenting lainnya di Sumatera Utara  adalah Samudera.


Samudera menjadi pusat pengembangan pengetahuan agama, dimana teolog-teolog, ahli ilmu kalam yang datang dari Arab dan Persia sering melakukan diskusi tentang teologi dan mengkaji kajian Islam di istana sultan. Reputasi Samudera kemudian beralih ke Pasai dan menjadi pusat keilmuan. Upaya islamisasi terus digiatkan sehingga Pasai memiliki pengaruh keislaman yang kuat dan menjadi pusat tamaddun Islam pada saat itu. Kerajaan Pasai mengalami kemunduran diakhir tahun 1521 ketika terjadi penyerangan oleh Portugis, sebagai sultan Kerajaan Darussalam pada masa itu Sultan Ali Mughayatsyah membantu Pasai menggempur Portugis dan merampas wilayah Pasai kemudian mempersatukan dengan kerajaan Darussalam sehingga memproklamirkan menjadi Kerajaan Aceh Darussalam pada tahun 1524.


Foto : Nisan makam Teungku Syik di Tambon tipologi Aceh Darussalam abad ke-17 dengan bahan utama batu kapur.


Pasca leburnya Samudera Pasai ke dalam Kerajaan Aceh Darussalam membuat Aceh tampil sebagai kekuatan yang menyeluruh dan terpadu baik di bidang politik, maupun ekonomi, bahkan di bidang pemikiran Islam mulai abad 16 hingga 18 dan puncak kejayaannya berlangsung pada abad ke-17.  Kejayaan dan kemajuan yang dicapai oleh Aceh menyebabkan hubungan diplomatik  dengan ulama dari Arab, Persia, India dan Turki hingga  terjalin hubungan dalam pengembangan keilmuan di Aceh. Aceh telah lahir ulama-ulama besar yang membaktikan diri mereka dalam renungan Dakwatul Islam sehingga lahirlah khazanah keilmuan dan wacana intelektual keagamaan.


Kesultanan Aceh memiliki hubungan diplomatik dan pengembangan ilmu pengetahuan yang begitu erat dengan Turki Usmani terutama sejak abad ke-16. Aceh beberapa kali mengirim utusan ke Istanbul untuk meminta bantuan militer dengan mengangkut komoditas dagang terutama lada untuk dipersembahkan kepada sultan Turki. Bahkan Aceh pernah mengajukan diri menjadi vasal atau negeri di bawah perlindungan Turki yang ketika itu merupakan imperium terkuat di dunia. Sultan Selim II merespons permintaan bantuan dari Aceh. Turki mengirimkan instruktur, prajurit, dan senjata ke Aceh untuk melawan Portugis.


Pasukan Turki pertama yang tercatat diupayakan pada 1537 dan 1538. Namun, mereka kemungkinan tentara bayaran karena menerima imbalan sebanyak empat kapal lada. Pasukan Turki juga terlihat dalam serangan Aceh ke Malaka pada 1547. Bantuan resmi pertama dari Turki yang diusahakan oleh utusan Aceh datang pada 1564 kemudian tahun 1568 untuk melawan Portugis. Makanya tidak heran banyak dari ulama dan pasukan Turki yang menetap di Aceh dan menikahi wanita Aceh. 


Salah satunya Teungku Syik di Tambon beliau diyakini sebagai salah seorang ulamaTurki yang hijrah ke Aceh dalah misi kerjasama. Lalu menetap di pesisir barat Bandar Pedir dan mengembangkan dakwahnya di daerah tersebut hingga beliau wafat. Makam Teungku Syik di Tambon terletak di gampong Kule, Kecamatan Bate, Kabupaten Pidie, kira-kira  berjarak 10 km dari pasar grong-grong.


Foto : Dawai atau benteng dengan bahan dasar batu kapur mengelilingi cungkup makam Teungku Syik di Tambon.


Makam Tengku Syik di Tambon telah di pagari serta di kelilingi oleh beton tebal seperti benteng yang berlapis dua, nisan yang bertipologi Aceh Darussalam abad ke-17 berbentuk slinder. Namun ada yang berbeda dengan nisan makam tersebut yakni nisan ini terbuat dari bahan dasar batu kapur dan belum pernah ditemukan pada batu nisan lainnya di Pidie. 


Menurut cucu abi di Pasi yaitu Teungku Wahab sekaligus pimpinan Dayah Teungku Syik di Tambon  menjelaskan bahwa Teungku Syik di Tambon berasal dari Istanbul Turki yang datang ke wilayah Kuala Genteng Bate pada abad ke-17 untuk melanjutkan misi dakwah, beliau juga mendirikan sebuah masjid di daerah Lhok Mahoni yang tidak jauh dari makamnya. Sekarang ini makam Tengku Syik di Tambon sungguh memprihatinkan, kondisi makam terlihat tidak  terawat sekitar makam juga sudah  di tumbuhi semak belukar serta informasi  pada pamflet telah terhapus.


Sangat di sayangkan kondisi seperti ini dan dalam literasi manapun belum di temukan mengenai riwayat hidup beliau beberapa informasi di peroleh hanya dari cerita turun temurun, semoga untuk kedepannya ada peneliti yang mengkaji tentang riwayat hidup dari Teungku Syik di Tambon.(an)



Read More

2/07/2022

Peranan Syaikh Abdussalam sebagai Ahli Meugoe

Foto : Mesjid Tuha peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Mesjid Guci Rumpong, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Teungku Chik di Waido atau lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik di Pasi bin Syaikh Burhanuddin merupakan seorang ulama besar (Waliyullah) keturunan Arab Persi dari Tuan Syaikh Burhanuddin. Nama asli beliau adalah Syaikh Abdussalam yang lahir di Gigieng Kabupaten Pidie sekitar abad-16. Beliau memiliki kontribusi yang besar terhadap bidang edukasi sarana pengembangan kegiatan pendidikan islam serta pencetus sumber kehidupan warga di sektor pertanian.


Sejak zaman Kesultanan Aceh Waido menjadi salah satu gampong dan bagian Ulee Balang VII Mukim di bawah kontrol Ulee Balang Keumangan. Nah di dusun inilah sentral pemerintahan Teungku Abdussalam pada empat abad yang lampau.


Pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Arab Saudi guna menimba ilmu agama di Masjidil Haram selama dua puluh tahun, diantaranya seni lukis (kaligrafi), jurnalistik, pembuat syair (penyair), penafsiran Al-Qur’an. Pada usia 35 tahun Abdussalam kembali ke Pidie setelah berhasil meraih prestasi gemilang dan menetap di Gigieng untuk mengembangkan agama islam. Selain ulama juga berperan panglima ahli meugoe berdasarkan kajian historis beliau memperoleh sarakata dari sultan Aceh (Iskandar Muda 1607-1636) yang membawahi kawasan beberapa gampong sebagai kadhi uleebalang VII Mukim. 


Teunku Chik Waido mempunyai dua orang istri yang pertama bernama Fatimah mempunyai dua orang anak perempuan (Putore Insyah dan Putroe Khatijah) hingga saat ini masih ada keturunannya. Sedangkan pada istri kedua yang berada di Busu tidak mempunyai keturunan. Teungku Chik Waido tinggal di Juree  (rumah pribadinya) berdekatan dengan Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet


Beberapa Bukti Sejarah peninggalan Tgk Chik Waido

Foto : Jamboe Kaluet peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Jamboe Kaleuet sebagai sarana pengembangan dan pendalaman ajaran Islam yang difungsikan untuk orang-orang melakukan kaluet di Jamboe Kaleuet, kegiatan edukasi ini biasanya pada bulan Ramadhan. Mereka datang dari luar daerah tujuannya memohon petunjuk atau hidayah untuk menenangkan jiwanya. 

Batee Siprok dan Seurumbek yang masih tersimpan dengan baik dan digunakan sarana pembai’atan untuk mengangkat sumpah para pejabat atau orang-orang yang bersalah, dengan menginjak batu dan al-Qur’an Seurumbek di atas kepala. Kitab bertulisan arab bernama Mukadam Al-Qur’an dan Tudoeng Pelepah Rumbia, difungsikan oleh masyarakat Pidie pada saat pelaksanaan kegiatan kanduri keagamaan di masjid-masjid dan khanduri tahunan di babah Leung Bintang secara bergiliran atau tempat tempat yang di tentukan. Muqaddam mempunyai dua jenis yaitu Mukadam Cut dan Mukadam Rayeuk sama halnya dengan al-Qur'an 30 juz. Cara membacanya dibagi ke dalam kelompok-kelompok, setiap kelompok satu juz. Satu kelompok yang beranggotakan 10 orang terdiri dari 2 teungku dan yang lainnya para santri. Teungku Chik bertugas menyimak dan membenarkan bacaan yang kurang benar atau salah. Muqaddam ini dilaksanakan 1 tahun sekali untuk upacara kanduri blang pada Leueng Bintang saat padi dara. Kitab bertulisan arab lainnya yaitu Seurembek digunakan untuk bersumpah saat pelantikan pejabat uleebalang, imum dan geuchik dan berdiri atas Batee Siprok (batu bopeng). Juga digunakan orang-orang dicurigai, yang tidak mau mengakui kesalahannya.

Aset tersebut sampai sekarang ini menjadi warisan sumber motivasi dari peninggalan Teungku Chik Waido, selalu dikenang dengan upacara kanduri. Upacara semacam ini merupakan salah satu simbol persatuan warisan Teungku Chik Waido untuk anak cucunya. Sebagai ulama waliyullah dan ahli di bidang pertanian (panglima meugoe), Teungku Chik giat membuka lahan-lahan baru di bidang perladangan penanaman tebu di Paleue dan Waido Kabupaten Pidie.

Foto : Bate seuprok atau batu sumpah yang terdapat di samping jamboe kaluet di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Selanjutnya membuat saluran sungai yang menjadi warisan pusaka dan sumbangsih atau konstribusi terhadap beberapa wilayah di Pidie, dimulai dari Gle Meulinteung melalui beberapa negeri yaitu Negeri Titue, Keumala, Negeri Lammeulo (Sakti), Negeri Mutiara, Peukan Baro, Negeri Indrajaya, sebagian wilayah Kembang Tanjong sampai bermuara ke Kuala Lheue Kemukiman Tungue Simpang Tiga, yaitu “Pembuatan Irigasi Lhueng Bintang” yang menjadi sumber perairan pertanian untuk warga masyarakat di bidang pertanian.

Berdasarkan data di atas bahwa irigasi Lhueng Bintang airnya disalurkan ke sawah penduduk seluas 13.444 ha, 232 desa , 29 mukim dan 7 dari 23 kecamatan dalam wilayah hukum Kabupaten Pidie. Pembagian air ke sawah-sawah berdasarkan ketentuan dan wewenang pemerintah Kecamatan dengan perantara keujreuen blang. Sistem ini sebagaimana pernah berlaku sejak masa Teungku Chik Waido dahulu, sampai dewasa ini masih dikonstribusikan melalui proyek irigasi pertanian dalam wilayah Kabupaten Pidie.

Lhueng Bintang panjangnya 25 km, karya besar Teungku Chik Waido, hulunya berpangkal dari Krueng Tiro, kemudian berhaluan ke Keumala Cot Bak U Gading, Titeu, Lammeulo dan sampai di Rambayan bercabang dua, dari induk Leung Bintang. Cabangnya masing-masing yaitu ke arah timur airnya mengalir melalui Tidiek, Paya Gajah (Gampong Gajah), Iboih Kutabaro terus ke Kemukiman Tungue dan muara ke Kuala Peukan Lheue. Cabang ke arah Barat; Rambayan, Lampoih Saka, Cot Meulu, Mangki Wakeuh sampai ke Cot Paleue. Induknya menuju Bungie, Waido, Blang Mangki, Pantee dan Peukan Tuha Gigieng hingga muaranya ke Selat Malaka. Untuk warga Gigeing dan Tungoe menerima sumber air ke sawah-sawah jalur cabang aneuk lhueng. Melalui rute itu mengalir ke bawah, yaitu Cot Arah Jeureung, Kulam Baro, Empeh, baru sampai ke sawah-sawah warga Tungoe dan Gigieng dan bermuara ke Kuala Peukan Lheue.

Foto : Dayah Manyang peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Disamping membangun saluran Lhueng Bintang dan berperan pula dalam usaha bercocok tanam dengan membuka lahan atau kebun tebu. Misalnya di Cot Paleue dan Waido wilayah Simpang Tiga. Karena banyaknya kebun tebu, Tgk Chik Waido membuat penggilingan tebu (Weng Teubee). Persisnya disebelah selatan keude gampong Blang (Blang Waido). Alat gilingan air tebu itu ditarik oleh kerbau, kemudian airnya dimasak menjadi manisan.

Menurut kajian sosio-historis Teungku Chik Waido, pasca kembalinya dari Saudi Arabia membangun Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet di Waido sebagai sarana edukasi. Adapun yang diajarkan seperti bahasa Arab, fiqh-jinayat, fiqh munakahat, fiqh-dualy, ilmu manthiq, tauhid dan tasauwuf. Pusat edukasi itu berkembang pesat menjadi perguruan tinggi dan muridnya bertambah pada abad ke-17 masehi. Salah seorang termasuk Iskandar Muda belajar dan berguru pada Teungku Chik Waido.

Teungku Chik Waido juga  membangun sarana peribadatan berupa mesjid di Mukim Tungue, Blang Paleu dan Guci Rumpong. Berdasarkan sejarahnya pada Mesjid Rumpong maupun Tungue keduanya terdapat sebatang purieh (terbuat dari bambu) berusia ratusan tahun dan memiliki romantika sejarah tersendiri.  Aset Teungku Chik Lainnya di kedua mesjid itu ada Tongkat sudah usang terbuat dari kayu dan pusaka keramat pemberian gurunya yang digunakan ketika khatib,  beliau juga memegang peranan penting sebagai khatib secara bergiliran setiap hari jum’at.

Foto : Rumoh Aceh peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Masyarakat Pidie sejak dahulu sampai sekarang ini mengenal Teungku Chik Waido dengan sebutan Teungku Leubee Chik atau Ulama yang mempunyai kelebihan / terkemuka. Hal ini sebagaimana kajian Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 573) yaitu orang yang mengurus suatu pekerjaan yang berkaitan dengan agama Islam di dusun atau gampong.

Bahkan Makam (pusara) Teungku Chik Waido yang berada di Ie Leubeue, Kecamatan Kembang Tanjong menjadi sarana melepaskan nazar setiap hari senin dan kamis dengan upacara sembelih kambing. Sementara Guci peninggalannya air di dalamnya menjadi obat atau penawar untuk orang-orang sakit. Baik Guci di Rumpong maupun Guci di pusaranya.

Foto : Makam Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Pasi Ie Leubeu, Mukim Blang Gapu, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie.

Di samping pusara beliau terdapat  tiga guci dari warisan atau pusakanya yaitu dua di Rumpong dan satu di Ie Leubue masing masing dari guci tersebut mempunyai nilai mistis dan keramat. Banyak masyarakat dari berbagai daerah yang ada di Aceh dan luar Aceh datang untuk sekedar mencuci muka atau minum air yang ada di guci tersebut. Ketiga Guci warisan Teungku Chik Waido hingga sekarang ini air di dalamnya menjadi penawar bagi masyarakat dan bisa diambil siapa saja. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan untuk melepaskan nazar sekaligus mengadakan khanduri di pusara beliau.

Dewasa ini masyarakat Kabupaten Pidie segala karya atau jasa yang ditinggalkan oleh Teungku Chik di Waido menjadi sumber motivasi di bidang sosial keagamaan dan pertanian. Misalnya kegiatan upacara Kanduri Blang pemotongan seekor Kerbau berpelana Bintang serta persediaan eungkot kluet (sejenis ikan teri) tiap tahun diperingati dengan membaca kitab Muqaddam. Pembaca kitab itu teungku (penjaga aset) dari Waido dengan mengendrai sepeda (dahulu jalan kaki), dan menggunakan tudung besar terbuat dari Pelepah Rumbia, yang pakai di kepada oleh teungku yang dari Waido.(an)

Sumber dikutip dari beberapa buku bacaan dan artikel. 

Read More