2/07/2022

Peranan Syaikh Abdussalam sebagai Ahli Meugoe

Foto : Mesjid Tuha peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Mesjid Guci Rumpong, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Teungku Chik di Waido atau lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik di Pasi bin Syaikh Burhanuddin merupakan seorang ulama besar (Waliyullah) keturunan Arab Persi dari Tuan Syaikh Burhanuddin. Nama asli beliau adalah Syaikh Abdussalam yang lahir di Gigieng Kabupaten Pidie sekitar abad-16. Beliau memiliki kontribusi yang besar terhadap bidang edukasi sarana pengembangan kegiatan pendidikan islam serta pencetus sumber kehidupan warga di sektor pertanian.


Sejak zaman Kesultanan Aceh Waido menjadi salah satu gampong dan bagian Ulee Balang VII Mukim di bawah kontrol Ulee Balang Keumangan. Nah di dusun inilah sentral pemerintahan Teungku Abdussalam pada empat abad yang lampau.


Pada usia 15 tahun beliau berangkat ke Arab Saudi guna menimba ilmu agama di Masjidil Haram selama dua puluh tahun, diantaranya seni lukis (kaligrafi), jurnalistik, pembuat syair (penyair), penafsiran Al-Qur’an. Pada usia 35 tahun Abdussalam kembali ke Pidie setelah berhasil meraih prestasi gemilang dan menetap di Gigieng untuk mengembangkan agama islam. Selain ulama juga berperan panglima ahli meugoe berdasarkan kajian historis beliau memperoleh sarakata dari sultan Aceh (Iskandar Muda 1607-1636) yang membawahi kawasan beberapa gampong sebagai kadhi uleebalang VII Mukim. 


Teunku Chik Waido mempunyai dua orang istri yang pertama bernama Fatimah mempunyai dua orang anak perempuan (Putore Insyah dan Putroe Khatijah) hingga saat ini masih ada keturunannya. Sedangkan pada istri kedua yang berada di Busu tidak mempunyai keturunan. Teungku Chik Waido tinggal di Juree  (rumah pribadinya) berdekatan dengan Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet


Beberapa Bukti Sejarah peninggalan Tgk Chik Waido

Foto : Jamboe Kaluet peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Jamboe Kaleuet sebagai sarana pengembangan dan pendalaman ajaran Islam yang difungsikan untuk orang-orang melakukan kaluet di Jamboe Kaleuet, kegiatan edukasi ini biasanya pada bulan Ramadhan. Mereka datang dari luar daerah tujuannya memohon petunjuk atau hidayah untuk menenangkan jiwanya. 

Batee Siprok dan Seurumbek yang masih tersimpan dengan baik dan digunakan sarana pembai’atan untuk mengangkat sumpah para pejabat atau orang-orang yang bersalah, dengan menginjak batu dan al-Qur’an Seurumbek di atas kepala. Kitab bertulisan arab bernama Mukadam Al-Qur’an dan Tudoeng Pelepah Rumbia, difungsikan oleh masyarakat Pidie pada saat pelaksanaan kegiatan kanduri keagamaan di masjid-masjid dan khanduri tahunan di babah Leung Bintang secara bergiliran atau tempat tempat yang di tentukan. Muqaddam mempunyai dua jenis yaitu Mukadam Cut dan Mukadam Rayeuk sama halnya dengan al-Qur'an 30 juz. Cara membacanya dibagi ke dalam kelompok-kelompok, setiap kelompok satu juz. Satu kelompok yang beranggotakan 10 orang terdiri dari 2 teungku dan yang lainnya para santri. Teungku Chik bertugas menyimak dan membenarkan bacaan yang kurang benar atau salah. Muqaddam ini dilaksanakan 1 tahun sekali untuk upacara kanduri blang pada Leueng Bintang saat padi dara. Kitab bertulisan arab lainnya yaitu Seurembek digunakan untuk bersumpah saat pelantikan pejabat uleebalang, imum dan geuchik dan berdiri atas Batee Siprok (batu bopeng). Juga digunakan orang-orang dicurigai, yang tidak mau mengakui kesalahannya.

Aset tersebut sampai sekarang ini menjadi warisan sumber motivasi dari peninggalan Teungku Chik Waido, selalu dikenang dengan upacara kanduri. Upacara semacam ini merupakan salah satu simbol persatuan warisan Teungku Chik Waido untuk anak cucunya. Sebagai ulama waliyullah dan ahli di bidang pertanian (panglima meugoe), Teungku Chik giat membuka lahan-lahan baru di bidang perladangan penanaman tebu di Paleue dan Waido Kabupaten Pidie.

Foto : Bate seuprok atau batu sumpah yang terdapat di samping jamboe kaluet di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Selanjutnya membuat saluran sungai yang menjadi warisan pusaka dan sumbangsih atau konstribusi terhadap beberapa wilayah di Pidie, dimulai dari Gle Meulinteung melalui beberapa negeri yaitu Negeri Titue, Keumala, Negeri Lammeulo (Sakti), Negeri Mutiara, Peukan Baro, Negeri Indrajaya, sebagian wilayah Kembang Tanjong sampai bermuara ke Kuala Lheue Kemukiman Tungue Simpang Tiga, yaitu “Pembuatan Irigasi Lhueng Bintang” yang menjadi sumber perairan pertanian untuk warga masyarakat di bidang pertanian.

Berdasarkan data di atas bahwa irigasi Lhueng Bintang airnya disalurkan ke sawah penduduk seluas 13.444 ha, 232 desa , 29 mukim dan 7 dari 23 kecamatan dalam wilayah hukum Kabupaten Pidie. Pembagian air ke sawah-sawah berdasarkan ketentuan dan wewenang pemerintah Kecamatan dengan perantara keujreuen blang. Sistem ini sebagaimana pernah berlaku sejak masa Teungku Chik Waido dahulu, sampai dewasa ini masih dikonstribusikan melalui proyek irigasi pertanian dalam wilayah Kabupaten Pidie.

Lhueng Bintang panjangnya 25 km, karya besar Teungku Chik Waido, hulunya berpangkal dari Krueng Tiro, kemudian berhaluan ke Keumala Cot Bak U Gading, Titeu, Lammeulo dan sampai di Rambayan bercabang dua, dari induk Leung Bintang. Cabangnya masing-masing yaitu ke arah timur airnya mengalir melalui Tidiek, Paya Gajah (Gampong Gajah), Iboih Kutabaro terus ke Kemukiman Tungue dan muara ke Kuala Peukan Lheue. Cabang ke arah Barat; Rambayan, Lampoih Saka, Cot Meulu, Mangki Wakeuh sampai ke Cot Paleue. Induknya menuju Bungie, Waido, Blang Mangki, Pantee dan Peukan Tuha Gigieng hingga muaranya ke Selat Malaka. Untuk warga Gigeing dan Tungoe menerima sumber air ke sawah-sawah jalur cabang aneuk lhueng. Melalui rute itu mengalir ke bawah, yaitu Cot Arah Jeureung, Kulam Baro, Empeh, baru sampai ke sawah-sawah warga Tungoe dan Gigieng dan bermuara ke Kuala Peukan Lheue.

Foto : Dayah Manyang peninggalan dari Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido/Tgk Syik di Pasi) di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Disamping membangun saluran Lhueng Bintang dan berperan pula dalam usaha bercocok tanam dengan membuka lahan atau kebun tebu. Misalnya di Cot Paleue dan Waido wilayah Simpang Tiga. Karena banyaknya kebun tebu, Tgk Chik Waido membuat penggilingan tebu (Weng Teubee). Persisnya disebelah selatan keude gampong Blang (Blang Waido). Alat gilingan air tebu itu ditarik oleh kerbau, kemudian airnya dimasak menjadi manisan.

Menurut kajian sosio-historis Teungku Chik Waido, pasca kembalinya dari Saudi Arabia membangun Dayah Manyang dan Jamboe Kaluet di Waido sebagai sarana edukasi. Adapun yang diajarkan seperti bahasa Arab, fiqh-jinayat, fiqh munakahat, fiqh-dualy, ilmu manthiq, tauhid dan tasauwuf. Pusat edukasi itu berkembang pesat menjadi perguruan tinggi dan muridnya bertambah pada abad ke-17 masehi. Salah seorang termasuk Iskandar Muda belajar dan berguru pada Teungku Chik Waido.

Teungku Chik Waido juga  membangun sarana peribadatan berupa mesjid di Mukim Tungue, Blang Paleu dan Guci Rumpong. Berdasarkan sejarahnya pada Mesjid Rumpong maupun Tungue keduanya terdapat sebatang purieh (terbuat dari bambu) berusia ratusan tahun dan memiliki romantika sejarah tersendiri.  Aset Teungku Chik Lainnya di kedua mesjid itu ada Tongkat sudah usang terbuat dari kayu dan pusaka keramat pemberian gurunya yang digunakan ketika khatib,  beliau juga memegang peranan penting sebagai khatib secara bergiliran setiap hari jum’at.

Foto : Rumoh Aceh peninggalan dari Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Waido, Mukim Guci Rumpong, Kecamatan Peukan Baro, Kabupaten Pidie.

Masyarakat Pidie sejak dahulu sampai sekarang ini mengenal Teungku Chik Waido dengan sebutan Teungku Leubee Chik atau Ulama yang mempunyai kelebihan / terkemuka. Hal ini sebagaimana kajian Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 573) yaitu orang yang mengurus suatu pekerjaan yang berkaitan dengan agama Islam di dusun atau gampong.

Bahkan Makam (pusara) Teungku Chik Waido yang berada di Ie Leubeue, Kecamatan Kembang Tanjong menjadi sarana melepaskan nazar setiap hari senin dan kamis dengan upacara sembelih kambing. Sementara Guci peninggalannya air di dalamnya menjadi obat atau penawar untuk orang-orang sakit. Baik Guci di Rumpong maupun Guci di pusaranya.

Foto : Makam Syaikh Abdussalam (Tgk Syik di Waido) bin Syaikh Burhanuddin di Gampong Pasi Ie Leubeu, Mukim Blang Gapu, Kecamatan Kembang Tanjong, Kabupaten Pidie.

Di samping pusara beliau terdapat  tiga guci dari warisan atau pusakanya yaitu dua di Rumpong dan satu di Ie Leubue masing masing dari guci tersebut mempunyai nilai mistis dan keramat. Banyak masyarakat dari berbagai daerah yang ada di Aceh dan luar Aceh datang untuk sekedar mencuci muka atau minum air yang ada di guci tersebut. Ketiga Guci warisan Teungku Chik Waido hingga sekarang ini air di dalamnya menjadi penawar bagi masyarakat dan bisa diambil siapa saja. Hal semacam ini sudah menjadi kebiasaan untuk melepaskan nazar sekaligus mengadakan khanduri di pusara beliau.

Dewasa ini masyarakat Kabupaten Pidie segala karya atau jasa yang ditinggalkan oleh Teungku Chik di Waido menjadi sumber motivasi di bidang sosial keagamaan dan pertanian. Misalnya kegiatan upacara Kanduri Blang pemotongan seekor Kerbau berpelana Bintang serta persediaan eungkot kluet (sejenis ikan teri) tiap tahun diperingati dengan membaca kitab Muqaddam. Pembaca kitab itu teungku (penjaga aset) dari Waido dengan mengendrai sepeda (dahulu jalan kaki), dan menggunakan tudung besar terbuat dari Pelepah Rumbia, yang pakai di kepada oleh teungku yang dari Waido.(an)

Sumber dikutip dari beberapa buku bacaan dan artikel. 


Baca Juga:



EmoticonEmoticon