7/25/2020

Beut Irama Pidie

Foto Ilustrasi : Seorang pemuda sedang membaca Al-Quran

Alquran adalah firman Allah yang menjadi mukjizat Nabi Muhammad Saw, diturunkan secara berangsur-angsur selama 22 tahun 2 bulan 22 hari, terhitung mulai turun Alquran pada 17 Ramadhan sampai turun wahyu terakhir tanggal 19 Zulhijjah, dan bagi siapa membacanya dinilai sebagai ibadah.

Mulai dari zaman para sahabat, tabi’in maupun thabi’-thabi’in sudah muncul dan berkembang cabang-cabang ilmu Alquran, seperti ilmu asbabun  nuzul (sebab-sebab turunnya ayat Alquran), ilmu tafsir, ilmu i’rabil Quran (ilmu mempelajari baris dan kata-kata Alquran), bahkan perkembangan ilmu tajwid dan qiraat yang lebih spesifik membahas cara membaca Alquran secara benar dan bagus.

Dalam seni membaca Alquran memiliki banyak irama, sering kita mendengar nama-nama irama membaca Alquran seperti irama bayyati, jiharka, nahawan, rosd, diantara irama lainnya juga ada yang dinisbahkan kepada nama tempat seperti hijaz dan shaba, tentunya semua irama tersebut sudah sangat dikenal secara holistik oleh masyarakat dan diakui menjadi irama internasional  dalam membaca Alquran.

Selain irama yang sudah mendunia, sebenarnya juga terdapat irama lokal untuk seni membaca Alquran. Irama lokal yang tidak kalah menarik adalah  irama Pidie, bagi sebagian besar masyarakat belum begitu familiar mendengar irama tersebut, namun bagi masyarakat di Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya (Kabupaten pemekaran Pidie) membaca Alquran menggunakan irama Pidie bukanlah hal asing.

Munculnya irama Pidie tidak terlepas dari perkembangan ilmu tajwid dan qiraat yang disebar oleh ahli-ahlinya ke berbagai penjuru dunia, sehingga turut menjangkau ke daerah Pidie. Irama ini merupakan hasil variasi irama-irama dunia tadi, dari hasil perpaduan tersebut akhirnya muncul lah irama baru yang bersifat lokal yaitu irama Pidie. 

Proses mempelajari Alquran menggunakan irama Pidie dapat dilakukan melalui tiga metode, yaitu metode sima’i (mendengar), talaqqi (menerima dan mengambil pelajaran lewat bimbingan guru) dan metode musyafahah (dari mulut ke mulut). Metode-metode tersebut boleh dipilih sesuai selera masing-masing untuk belajar membaca Alquran menggunakan irama Pidie.

Tidak ubahnya dengan irama lain yang memiliki nada khas masing-masing saat membaca, irama Pidie juga memiliki dua nada khusus yaitu nada tinggi (keras) dan nada lembut (meu aloen). Nada tinggi biasanya tidak semua orang dapat membawakannya, hanya ahli-ahli yang memiliki karakter vokal tenor (tinggi) baru dapat membawakannya, sementara untuk yang nada meu aloen lebih banyak orang yang dapat membawakannya jika dibandingkan nada tinggi. Akan tetapi, meskipun hanya memiliki nada tinggi dan lembut, harus diakui tidak mudah membawakan irama Pidie, dibutuhkan latihan yang maksimal dan berkala.

Ketentuan membaca Alquran menggunakan irama Pidie selain memperhatikan segi vokal si pembaca, tentunya juga tidak mengabaikan kaidah-kaidah yang berlaku dalam ilmu tajwid. Memiliki suara melengking atau suara yang meu aloen namun tidak sesuai dengan aturan tajwid saat membacanya maka juga tidak dibenarkan. Cara membaca Alquran sudah memiliki titik acuan tersendiri, sebagaimana firman Allah dalam Surah Al- Muzammil ayat 4: “Dan engkau bacalah Alquran itu dengan sempurna  bacaan”.

T.A Sakti dalam buku Pernak-Pernik Pidie menyebutkan bahwa dulu disetiap momentum khanduri thoen (kenduri tahunan), malam pesta, atau acara-acara penting lainnya selalu ada yang membaca Alquran menggunakan irama Pidie. Biasanya mereka membagi kepada dua ronde, ronde pertama seluruh peserta ikut sampai masa istirahat (neulop phoen). Setelah itu baru dilanjutan dengan ronde ke dua, pada ronde ini pesertanya tidak semua ikut sebagaimana ronde pertama, melainkan khusus bagi jawara yang memiliki suara emas, pada saat itulah irama Pidie dibawakan habis-habisan.

Irama Pidie, nasibmu kini

Seiring berjalannya waktu nasib irama Pidie pun di puncak krisis, banyak masyarakat khususnya kalangan anak muda sudah tidak mengenal lagi irama lokal saat membaca Alquran, padahal pernah eksis tempo dulu. Pada hakikatnya, itu termasuk idenditas bagi masyarakat Pidie dalam membaca qalam Allah yang mulia.

Foto Ilustrasi : Seorang pemuda sedang membaca Al-Quran

Ada beberapa faktor penting yang menjadi penyebab utama terpuruknya penggunaan irama Pidie dalam membaca Alquran. Adapun faktor-faktor tersebut adalah sebagai berikut:

Pertama. Para guru yang mempunyai kapasitas dan kapabilitas terhadap penguasaan irama tersebut sudah tiada, mereka sudah wafat menghadap yang Maha Kuasa. Sepeninggalan mereka tidak ada regenerasi untuk melanjutkan proses pendalaman terkait pembelajaran Alquran menggunakan irama Pidie, sehingga lambat laun irama tersebut tidak lagi dikenal oleh masyarakat karena tidak ada yang mengajarinya.

Kedua. Para qari dan qariah saat membaca Alquran cenderung tidak menggunakan lagi irama Pidie, kalaupun ada namun tidak disebutkan irama Pidie tapi mereka menyebutnya irama variasi, sehingga gaung irama lokal semakin kecil akibat tidak ada pengakuan  nama dari ahli yang membaca Alquran.

Ketiga. Tidak adanya event khusus yang memperlombakan membaca Alquran menggunakan irama Pidie, sehingga kemampuan membaca Alquran dengan menggunakan irama lokal tidak mendapatkan tempat penyaluran khusus, sehingga lama kelamaan masyarakat lupa cara membacanya. Tiga poin tersebut merupakan faktor utama penyebab terpuruknya penggunaan irama Pidie dalam membaca Alquran.

Membangkitkan kembali irama khas Pidie

Melihat nasib irama Pidie semakin hari semakin terpuruk, diharapkan adanya perhatian khusus dari berbagai pihak, khususnya bagi pemerintah daerah Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya, kiranya dapat membangkitkan kembali khazanah keilmuan terkait seni membaca Alquran menggunakan irama lokal.

Foto Ilustrasi : Seorang pemuda sedang membaca Al-Quran

Sangat penting mengangkat kembali irama Pidie ke permukaan agar tidak hilang ditelan masa. Untuk mencapai tingkat efesien,  pemerintah daerah tentunya harus memiliki peran proaktif dan bertanggung jawab besar dalam menangani ini. Ada beberapa hal yang harus dilaksanakan dengan menggunakan rumus 3P:

Pertama. Hal yang harus dilakukan oleh pemeritah daerah adalah pendataan kembali jumlah ahli-ahli yang masih aktif serta memiliki kemampuan membaca Alquran menggunakan irama Pidie, hal ini penting untuk mengetahui persentase secara keseluruhan guru-guru yang memiliki kompetensi dalam mengajar.

Kedua.  Jika guru sudah ada maka perlu dilakukan pemberdayaan. Hal ini untuk dilakukan guna memberikan daya (empowerment) atau penguatan (strengthening) kepada masyarakat. Sehingga para guru tadi dapat mengajarkan kepada masyarakat yang memiliki bakat tentang bagaimana cara membaca Alquran menggunakan irama lokal.

Ketiga. Langkah akhir adalah penyaluran, maksudnya pemerintah daerah harus menyiapkan tempat untuk penyalurkan bakat, seperti adanya ajang musabaqah khusus cabang membaca Alquran menggunakan irama Pidie, hal ini penting untuk memberikan stimulus kepada masyarakat untuk lebih giat mempelajari cara membaca irama lokal.

Sudah sepatutnya masyarakat Aceh secara umum, Kabupaten Pidie dan Pidie Jaya secara khusus, mengenalkan kembali pada generasi muda tentang budaya Islam yang berkembang di daerahnya, hal ini sebagai wujud menyiapkan generasi qurani sesuai cita-cita bersama.(ay)
Read More

7/05/2020

Jami’atuddiniyah Sa’adah Al-Abadiyah Blang Paseh, Lembaga Pendidikan Kaum Moderat

Foto : Bangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Mengunjungi Kota Sigli tepatnya daerah Blang Paseh, mata kita sejenak dimanjakan oleh sebuah bangunan usang yang masih berdiri kokoh dipinggiran pusat perkotaan. Bangunan dengan gaya arsitektur klasik khas abad- 20 awal ini menjulang dengan gagah ke langit biru.

Sekilas dilihat memang tidak ada nilai lebih dari bangunan ini, bahkan sebagian orang menganggap bahwa bangunan tersebut hanya bangunan biasa sama seperti bangunan-bangunan lain pada umumnya. Namun, jika ditelusuri lebih dalam dapat diketahui bahwa dibalik bangunan tua tersebut tersimpan nilai sejarah yang amat tinggi.

Masyhur bangunan tersebut dengan nama jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah, difungsikan sebagai pusat pendidikan pribumi kala itu. Dalam panggung sejarah peradaban Aceh, peran lembaga pendidikan satu ini tidak dapat diabaikan karena telah banyak memberi sumbangsih yang berarti dalam membentuk karakter dan mengubah pola pikir masyarakat. Banyak diantara tokoh-tokoh penting di Aceh jebolan dari lembaga pendidikan ini, salah seorang diantaranya ialah Teungku Hasan di Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka.

Walaupun corak pendidikannya berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya, seperti dayah atau zawiyah yang lebih awal  berkembang di Aceh, keberadaan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah mampu merebut hati masyarakat sebagai tempat baru dalam menuntut ilmu pengetahuan.

 Foto : Bangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah yang telah berubah menjadi Dayah Ullumud Diniyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie
Sejarah berdirinya Jami’atuddiniyah Sa’adah Al-abadiyah

Lahirnya jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tidak lepas dari prakarsa Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang ulama moderat yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Posisi strategis yang diduduki oleh Daud Beureueh mampu menggerakkan dan merangkul semangat masyarakat dalam membenah pendidikan.

Jami’atuddiniyah di Blang Paseh mulai dibangun semenjak tahun 1931, kira-kira setelah satu tahun kembalinya Daud Beureueh dari mengajar di Uteun Bayi, Lhokseumawe. Jika dilihat dari tahun pembangunannya, dapat dipahami bahwa Aceh masih berada dalam kurun waktu penjajahan pihak asing.

Sebenarnya jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah berawal dari perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang memiliki cabang diseluruh Aceh, kekuatan yang terhimpun dari perkumpulan inilah kemudian menjadi cikal bakal penggerak pembangunan wadah pendidikan di Blang Paseh.

Foto : Prasasti tahun di mulainya pembangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh jami’atuddiniyah sedikit lebih maju ketimbang lembaga pendidikan lain pada saat itu. Kurikulum yang diterapkan mengadopsi kurikulum pendidikan modern, disini tidak hanya dipelajari ilmu agama tetapi juga diajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu politik, tafsir, astronomi, matematika dan ilmu sains lainnya.

Kebijakan mengubah kurikulum tidak serta merta dilakukan, melainkan atas dasar pijakan yang jelas. Pada periode masa kejayaan Islam, Eropa bukanlah kekuatan yang harus diperhitungkan, umat Islam mampu menguasai multi sektor, bahkan tidak tanggung-tanggung sepertiga dunia dalam genggaman pihak muslim. Namun keadaan berubah setelah terjadinya renaisanse Eropa, maka  berpindahlah kekuasaan dari Timur ke Barat, Eropa dahulunya dipandang bak kucing mungil tanpa kekuatan berubah menjadi singa ganas yang sangat berbahaya dan mematikan.

Pasca renaisanse mulailah orang-orang Eropa menginvansi tanah-tanah muslim yang ada diberbagai penjuru dunia, termasuk Aceh. Penjajahan yang dilancarkan bangsa barat selain menguras hasil kekayaan alam, turut pula membatasi pendidikan masyakat akar rumput. Dayah-dayah serta perpustakaan yang menyimpan berbagai bidang ilmu di Aceh dibumi hanguskan, para ulama  dipersekusi dan dibunuh, bahkan lembaga pendidikan yang ada dibawah daerah kekuasaan penjajah dikontrol sangat ketat, beberapa disiplin ilmu pengetahuan umum dihilangkan di dayah-dayah karena dianggap membahayakan eksistensi Belanda, sehingga lama-kelamaan pendidikan di Aceh berangsur menurun dan tertinggal.

Atas dasar inilah, Teungku Muhammad Daud Beureueh beserta para ulama lain yang memiliki sama pandangan tersulut semangat panislamisme, lalu mencetus untuk mendirikan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, dengan harapan dapat mengejar ketertinggalan akibat penjajahan pihak asing dan mampu merajut persatuan semua elemen Muslim (polyethnic brotherhood of Muslim)
Foto : Gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tampak dari belakang di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Adapun mengenai pendanaan bersumber dari wakaf T. Bentara Pineung, yang pada saat itu menjabat sebagai uleebalang mukim III. Di awal pembangunan masyarakat juga ikut andil memberikan bantuan berupa breuh sireugam (beras segenggam) untuk mendirikan lembaga pendidikan ini, sehingga dapat beroperasi sebagaimana keinginan bersama.

Proses mendirikan jami’atuddiniyah di Blang Paseh tidak mudah seperti dibayangkan, sempat terjadi gesekan dengan pihak-pihak yang berbeda sudut pandang dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh, kelompok kontra ini di pimpin oleh ulama konservatif bernama Teungku Muhammad Amin Jumphoh dari Kecamatan Mutiara Timur dan beberapa ulama lainnya (Lihat Junaidi Ahmad, Pidie yang tidak kalian ketahui, Hal 70).

Mereka menentang keras konsep pendidikan yang diterapkan jami’atuddiniyah, alasan golongan ini menentang karena umat Islam haram belajar ilmu umum kecuali ilmu agama yang menyangkut persoalan akhirat, selain itu muncul beberapa fatwa yang menjadi landasan bagi golongan kontra untuk menentang. Dikarenakan Teungku Muhammad Daud Beureueh memiliki pengaruh besar, sehingga masalah ini dapat diselesaikan tanpa adanya pertumpahan darah antar sesama muslim.

Maka mulailah dilakukan proses pendidikan, anak-anak yang berasal dari  Pidie maupun luar Pidie bergumul di  jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah, ditempa oleh guru-guru berpengalaman yang memiliki kapasitas keilmuan bidang masing-masing, agar menjadi manusia kritis dan berani menentang tirani.

Sampai sekarang jami’atuddiniyah di Blang Paseh masih beroperasi sebagai tempat pendidikan, hanya saja namanya telah berubah menjadi dayah Ullumud Diniyah dan orientasi pendidikannya sudah berbeda dengan pendidikan tempo dulu. Kalau dulu orientasinya untuk pergerakan melawan penjajah sekarang hanya sebatas tempat  menuntut ilmu pengetahuan.

Foto : Gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tampak dari depan di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Kebangkitan Umat Melalui Pendidikan

Pendidikan menjadi suatu hal yang krusial untuk menentukan maju atau mundurnya sebuah peradaban. Alfred Schutz seorang sosiolog berkebangsaan Austria juga pernah mengemukakan bahwa stock of knowledge (stok pengetahuan) menjadi kerangka referensi pada seseorang sebelum melakukan tindakan. Dapat dijabarkan, kondisi masyarakat yang sudah memimiliki pendidikan dan berpengetahuan akan mampu menaikkan kewibawaan daerahnya.

Lembaga pendidikan di Aceh saat ini ada banyak jenisnya, ada lembaga pendidikan agama dan juga ada yang umum. Terkadang masih terjadi ketegangan, saling menyalahkan antara kedua lembaga pendidikan yang memiliki model berbeda, gesekan terjadi karena menganggap lembaga masing-masing paling benar. Ringkasnya masih terjadi dikotomi dalam pendidikan.

Foto : Santri sedang mengikuti pelajaran di dayah Ullumud Diniyah yang dulunya sebagai gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiya di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Dikotomi pendidikan produk politik devide et impera warisan kolonialis yang digunakan sebagai senjata untuk melemahkan internal kaum muslim, masih menjadi momok besar bagi kita sekarang dalam upaya menggalang persatuan umat. Realita yang dihadapi semacam ini membuat masyarakat pesimistis dalam menggapai perubahan.

Untuk itu, perlu menyatukan persepsi bahwa menjadi tanggung jawab bersama menyiapkan generasi emas Islam di masa hadapan, generasi yang mapan dalam ilmu agama serta memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu-ilmu umum, agar dapat menjawab tantangan-tantangan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, dengan demikian akan mewujudkan cita-cita bersama yaitu Aceh berperadaban dalam bingkai syariat Islam.(ay)
Read More