2/25/2021

Mengenal Makanan Khas Pidie:‘Apam’

Foto : Seorang ibu di Gampong Meunasah Kumbang, Kec Delima sedang membuat "apam" pada bulan Rajab


Siapa yang tidak kenal Apam? Apam merupakan makanan khas masyarakat Aceh, yang ramai dimasak oleh masyarakat Pidie, berbentuk bulat, terbuat dari tepung, air putih, garam dan gula pasir serta dicampur santan. Sepintas Apam mirip dengan dengan kue serabi, hanya saja ukurannya yang lebih besar.


Ihwal makanan khas ‘Apam’ ini sebenarnya memiliki sejarahnya tersendiri. Ada banyak versi sejarah terkait dengan namanya ‘Apam’. Namun begitu, belum ada yang dapat memastikan sejarah yang pasti tentang makanan khas ‘Apam’ tersebut.  


Dikutip dari beberapa penuturan tokoh tetua gampong, asal usul nama makanan khas ‘Apam’ berasal dari bahasa Arab yaitu Afwan yang berarti saling memaafkan. Jadi dulu masyarakat Aceh khususnya Pidie memiliki tradisi khusus dibulan Rajab dan berkaitan dengan semangat menyambut bulan suci Ramadhan. Dalam perpektif orang Aceh, bulan Rajab adalah bulan peugleh tuboh (menyucikan jiwa) dan bulan Ramadhan adalah bulan ibadat nyang sunggoh-sunggoh (beribadah dengan sepuasnya). 


Nah, dalam hal menyucikan jiwa ini masyarakat dulu bersilaturrahmi ke tetangga-tetangganya, dengan tujuan meminta maaf jika terdapat kesalahan-kesalahan baik dari segi ucapan, tindakan ataupun sikap dengan tetangganya. Mereka perginya tidak dengan tangan kosong, melainkan membawa makanan yang terbuat dari tepung beras dicampur dengan santan. Oleh karena itu dari kebiasaan membawa makanan dalam bersilaturrahmi tersebut, berkembanglah sebutan untuk makanan itu dengan sebutan kue ‘Afwan’. Lama-kelamaan nama Afwan ini mengalami pergeseran (mungkin karena pengucapannya yang berbeda-beda), sehingga namanya “terplesetkan” dari semulanya bernama ‘afwan’  menjadi  ‘Apam’.


Sedangkan mengenai dasar pelaksanan khanduri Apam (makan Apam secara bersama-sama) ada yang mengatakannya itu bermula dari hukuman yang ditujukan kepada seorang pemuda yang tidak shalat jumat tiga kali berturut-turut sehingga diperintahkan membuat apam sebanyak 100 buah untuk diantar ke mesjid dan akan dimakan bersama sebagai sedekah. Ada juga yang mengatakan dasarnya itu bermula dari kematian seorang sufi di Mekkah –Arab Saudi– yang kehidupannya sangat miskin, sehingga orang dikampungnya bekerja sama membuat makanan Apam untuk disedakahkan sebagai ganti dari acara kenduri kematiannya.



Foto : Ibu-ibu sedang membuat "apam" yang di perlombakan pada acara Apam Fair 2019 di Alun-Alun Kota Sigli, Kab Pidie


Melihat cara memasak ‘Apam’ juga terbilang sangat unik dan masih sangat tradisional. Dengan menggunakan tungku serta ceuprok tanoh (wadah tanah liat) adonan ‘Apam’ dimasak di atas arang dibantu dengan ubeue (daun kelapa kering). Cara memasak ini dapat membuat bagian bawah ‘Apam’ terasa renyah dan wangi, serta bagian dalamnya empuk, dan bagian atasnya terlihat berpori.


Ada tiga cara menikmati ‘Apam’. Pertama, dimakan dengan dengan kuah santan, dinamakan ‘Apam’ kuah. Kedua, dimakan dengan membubuhkan kelapa parut yang sudah dicampur dengan gula, dinamakan ‘Apam’ U. Dan yang terakhir, menikmati ‘Apam’ dengan air tebu. Namun untuk kategori jenis ini belum ada sebutan atau namanya, karena diyakinkan ini cara menikmati ‘Apam’ yang hanya dilakukan oleh orang Aceh di zaman modern saat ini. Sehingga belum memiliki nama yang khusus.


Terdapat hari-hari tertentu dalam memasak makanan khas satu ini. Dalam budaya masyarakat Pidie, ’Apam’ dimasak ketika tiba bulan Rajab (dalam tahun Hijriah/tahun Islam), ketika, upacara pemakaman, ketika acara tujuhan orang meninggal, bahkan terkadang ketika orang mengadakan pesta pernikahan. Namun, lazimnya ‘Apam’ dimasak khusus di waktu bulan Rajab. Makanya, dalam kalender Aceh bulan Rajab ini disebut dengan bulan ‘Apam’.(ms)



                                            


Read More

2/06/2021

Syaikh Burhanuddin Gigieng

Foto : Makam Syaikh Burhanuddin terdapat dalam sebuah cungkup dan di pagari dengan pagar beton, Gampong Masjid Gigieng, Mukim Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Aceh memiliki segudang sejarah masa  lalu yang patut di pertahankan dan di lestarikan. Sejarah mencatat bahwa Aceh dulunya adalah merupakan negeri penghasil rempah-rempah yang dikenal hingga ke Eropa, tidak heran mengapa banyak Bangsa yang datang untuk mengambil rempah-rempah tersebut baik secara paksa atau tidak dan membawa pulang ke negeri mereka msing-masing.


Oleh karena itu Sultan Aceh memerlukan strategi untuk memperkuat wilayahnya dari serangan musuh pada saat itu, maka di bentuklah angkatan perang yang sangat lengkap baik darat maupun laut, serta langsung di bawah komando Sultan yang memimpin Aceh. Dengan persenjataan yang sangat memadai mereka berhasil menjadikan Portugis pada saat itu kewalahan untuk meghadapi pasukan-pasukan Aceh.


Pembuat senjata ketika itu berperan sangat penting bagi Kesultanan Aceh.Bagaimana tidak merekalah para pembuat senjata yang handal.Senjata seperti pedang, tombak, rencong, dan pastinya senjata api juga di buat dari tangan-tangan mereka. Beberapa daerah bahkan sangat terkenal sebagai tempat penghasil senjata, seperti Gampong Pande di Banda Aceh dan Gampong Gigieng di Pidie.


Saat Aceh kewalahan dalam menghadapi serangan dari penjajah Portugis, Sultan Aceh Darussalam pada saat itu di bawah kuasa Sultan Alauddin Riayat Syah(1537-1568) mencari solusi dengan menjalin kerjasama dengan penguasa Turki yang saat itu di pimpin oleh Khalifah Ottoman. Bak gayung tersambut, Turki langsung mengirim para ahli perang dan ahli senjata ke Aceh untuk membantu para penjuang di medan pertempuran.


Foto : Tampak kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Burhanuddin, Gampong Masjid Gigieng, Mukim Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie


Syaikh Burhanuddin termasuk dalam utusan tersebut. Beliau adalah seorang ulama besar yang dikirim oleh Khalifah Ottoman ke Aceh dalam misi hubungan kerja sama militer pada saat itu.  Dalam pasukan tersebut juga terdapat beberapa ahli, seperti ahli pandai besi, ahli meriam, ahli berkuda, ahli memanah, dan pastinya ahli strategi perang yang dipimpin langsung oleh Syaikh Burhanuddin.


Setelah perang beliau menetap di Aceh dan beliau mempersunting seorang wanita asal Gigieng Aceh Besar lalu pindah ke Pidie dan menepati wilayah pelabuhan Pedir. Dari pernikahan tersebut beliau di anugerahi 12 orang anak, 8 putra dan 4 putri, salah satu   putra beliau bernama Syaikh Abdussalam bin Syaikh Burhanuddin atau yang lebih di kenal sebagai Tgk Syik di Waido.


Syaikh Burhanuddin meninggal di gampong Gigieng Kabupaten Pidie dan di makamkan langsung di Gampong tersebut, akan tetapi sangat di sayangkan makam seorang ulama besar seperti beliau tampak tidak terurus dengan baik. Hanya ada sebuah cungkup tua yang menutupi makam beliau, bahkan yang lebih di sayangkan lagi makam beliau tidak dimasukkan kedalam situs cagar budaya oleh Dinas Kebudayaan setempat.


Kurangnya data yang kongkrit tentang riwayat hidup beliau menjadikan informasi yang di dapat masih minim. Semoga kedepannya kita mengharapkan  masyarakat dan Pemerintah setempat lebih memperhatikan dan menjaga situs sejarah yang sangat berharga seperti ini supaya generasi Aceh selanjutnya mengetahui sejarah tentang Aceh.(an)




Read More