8/25/2021

Ie Bu Asyura Tradisi Masyarakat Aceh Dalam Menyambut Sepuluh Muharram

Foto : Ibu Fauziah sedang mengaduk ie bu Asyura yang akan disantap bersama masyarakat Gampong Teupin Raya, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie.


Sistem penanggalan dalam Islam terdapat 12 bulan dalam setahun, sistem ini dikenal dengan sebutan Hijriah. Hitungan bulan pertama diawali dengan  Muharram, secara umum dapat diartikan sebagai “bulan yang diharamkan atau bulan yang terdapat larangan”. Penamaan tersebut merujuk kepada kebiasaan orang-orang Arab dahulu yang melarang melakukan peperangan, pembunuhan, atau pertumpahan darah ketika datang bulan Muharram.


Setiap tanggal 1 pada bulan Muharram dihitung sebagai tahun baru dalam Islam, umat muslim diberbagai belahan dunia merayakan dengan gegap gempita. Bulan Muharram juga memiliki berbagai keistimewaan dan tradisi yang dilakukan oleh umat muslim, terutama pada hari Asyura.


Hari Asyura berasal dari akar kata “Asyara” berarti sepuluh, maknanya hari kesepuluh dari bulan Muharram. Pada hari tersebut banyak memuat peristiwa-peristiwa penting para Anbiya, diantaranya: pada hari Asyura diciptakan Nabi Adam di surga oleh Allah swt, diterima taubat nabi Adam setelah makan buah Khuldi, Allah mengangkat Nabi Idris pada kedudukan yang tinggi, berlabuhnya bahtera Nabi Nuh di bukit Zuhdi setelah enam bulan mengarungi banjir besar, selamat Nabi Musa dari kejaran Fir’aun, tenggelamnya Fir’aun ke dasar laut Merah, dikeluarkan Nabi Yunus dari perut ikan paus, selamat nabi Yusuf dari kejahatan saudara-saudaranya yang menceburkan ia dalam sumur, selamatnya Nabi Ibrahim dari siksa raja Namruz, diangkatnya Nabi Isa ke langit, disembuhkan Nabi Ya’qub dari buta, sembuhnya penyakit Nabi Ayyub setelah tujuh tahun menderita, diampuni kesalahan Nabi Daud, Allah memberikan kerajaan kepada Nabi Sulaiman, diampuni dosa-dosa Nabi Muhammad yang dahulu maupun yang akan datang, dan masih banyak peristiwa-peristiwa penting lainnya.


Foto : Ibu-ibu sedang memeras santan yang akan dijadikan sebagai bahan dalam pembuatan ie bu Asyura di Gampong Teupin Raya, Kecamatan Bate, Kabupaten Pidie.


Atas dasar banyak peristiwa tersebut, maka para Nabi  melakukan puasa pada hari Asyura, sebagai bentuk rasa syukur kepada Allah yang telah memberikan limpahan rahmat dan karuniaNya kepada hamba-hamba pilihan. Nabi Muhammad kemudian mensyariatkan pada umatnya bahwa setiap hari Asyura melakukan puasa,  dengan harapan agar Allah mengampuni segala dosa-dosa yang telah dikerjakan selama satu tahun.


Selain terdapat peristiwa-peristiwa penting, pada hari Asyura juga terdapat suatu tradisi yaitu masak bubur Asyura. Tradisi ini dalam kebudayaan masyarakat Muslim di Aceh dikenal dengan sebutan khanduri ie bu Asyura.


 Pelaksanaan khanduri ie bu Asyura.


Pelaksanaan khanduri ie bu Asyura (kenduri bubur Asyura) memiliki makna tersendiri bagi kehidupan masyarakat di Aceh. Tradisi ini sudah menjadi warisan turun-temurun dan menjadi kearifan lokal, sehingga setiap tanggal 10 Muharram tiba maka dilaksanakan kenduri bubur Asyura.


Ie bu Asyura ini dimasak oleh kaum ibu-ibu di gampong (desa), sebelum kenduri dilaksanakan terlebih dahulu mengadakan musyawarah untuk memutuskan tempat dan mekanisme kerja. Setiap ibu-ibu melakukan patungan uang (ripee) guna membeli bahan-bahan masak bubur dan keperluan penting lainnya.


Setidaknya, untuk membuat bubur Asyura diperlukan bahan ragam jenis biji-bijian seperti: kacang hijau, kacang tanah, kacang kuning, kacang merah, jagung, sagu, beras, dan sagu. Selain itu diperlukan gula dan garam. Untuk membuat cita rasa bubur yang lebih nikmat maka dicampurkan beberapa jenis umbi-umbian, nangka, dan pisang. Bagi sebagian masyarakat di Pidie juga menggunakan santan, tetapi sebagian tempat ada juga yang cukup menggunakan air saja, tanpa menggunakan santan. Tentunya pilihan sangat tergantung pada selera masing-masing.


Foto : Bahan dalam pembuatan ie bu Asyura diantaranya jagung dan kacang merah


Proses memasak bubur terbilang masih sangat tradisional, bubur dimasak menggunakan kayu bakar, hal ini boleh jadi untuk mensiasati agar lebih hemat biaya, karena lamanya masak bubur membutuhkan waktu 2-3 jam, oleh sebab itu alternatifnya harus menggunakan kayu bakar. Bubur diaduk oleh ibu-ibu silih berganti sehingga mengental dan benar-benar matang. Apabila sudah matang maka bubur siap dibagikan kepada masyarakat.


Kenduri bubur Asyura di Pidie secara khusus dan Aceh secara umum jika dimaknai lebih jauh mengandung beberapa nilai positif. Pertama, momentum kenduri ini sebagai ajang silaturrahmi antar sesama, mengokohkan persatuan umat melalui kenduri. Kedua, pelaksanaan kenduri menjadi perwujudan dari nilai-nilai syari’at, dimana dalam Islam sangat dianjurkan agar memberikan sedekah, tentunya sedekah tidak hanya dipahami dalam bentuk uang, boleh jadi berupa makanan atau tenaga. Ketiga, kenduri bubur Asyura memberi pesan dan kesan bahwa Aceh memiliki kekayaan budaya yang wajib dilestarikan oleh generasi bangsa.(ay)

 

 

  


Read More

8/05/2021

Sekilas Sosok Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan

Foto : Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA saat dilantik sebagai Gubernur Aceh tahun 1986-1993 (doc https://id.wikipedia.org/wiki/Ibrahim_Hassan)


Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA., ialah salah satu tokoh ternama yang pernah mengisi relung ingatan masyarakat Aceh dengan beragam prestasi yang pernah ditautkan semasa hidupnya sebagai salah seorang putra berpengaruh terhadap reputasi naik turun dalam mengelola pemerintahan Aceh saat itu. 


Lelaki hitam manis ini lahir di Lampoh Weng, Pidie, Aceh pada 16 Maret 1935 dan meninggal pada 22 Januari 2007 silam (pada usia 71 Tahun).


Beliau  pernah menduduki kursi pemerintahan sebagai Gubernur Daerah Istimewa Aceh periode 1986-1993, dan mempelopori Lembaga Pengembangan Tilawatil Qur ‘an (LPTQ) sehingga beliau dinilai sangat berjasa dalam melahirkan generasi qur’ani di Aceh. Gerakan ini dimulai pada tahun 1989, beliau juga mengundang hafidz/hafidzah dan qari serta qariah al-qur’an dari Jakarta untuk datang ke Aceh, salah satunya, Haji Muammar ZA, qari berprestasi nasional maupun internasional selama tiga bulan di Banda Aceh, dari sinilah cikal bakal pertama Pesantren Madrasah Ulumul Qur’an (MUQ) resmi berdiri di Aceh tahun 1999 belakangan menyusul beberapa pesantren lain hingga saat ini.


Foto : Rumoh Aceh keluarga Prof. Dr. H. Ibrahim Hasan, MBA, yang masa kecil Beliau habiskan dirumah tersebut, Lampoh Weng Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Beragam jabatan strategis pernah diembannya dalam dunia pemerintahan,  menjabat sebagai Menteri Negara Urusan Pangan/Kepala Badan Urusan Logistik periode 1993-1995, di dunia akademis pernah menjabat sebagai Rektor Universitas Syiah Kuala (Unsyiah) periode 1973-1982. Dia memperoleh gelar master bussiness of administration (MBA) di Universitas Syracause, New York pada tahun 1965 dan memperoleh gelar doktor dari almamater Institut Penelitian Beras Internasional (IRRI) di Los Banos, Filipina pada tahun 1979 dengan judul disertasinya : ”Rice Marketing in Aceh, A Regional Analysis”. 


Ikut berperan dalam dunia perpolitikan disokong oleh Golkar mengantarkan beliau menjadi Gubernur Daerah Istimewa Aceh dengan mendapatkan suara mayoritas parlemen DPRD Aceh (DPRA saat itu), menjadi simpul erat dengan kekuasaan tirani Soeharto membuat dia berkecimpung dalam keadaan kondusifitas dan konflik Aceh yang berkepanjangan. 


Dalam penerapan DOM di Aceh beliau menjadi salah seorang yang dimintai keterangan oleh Parlemen Jakarta melalui panitian khusus-nya setelah setahun Presiden Soeharto lengser.


Perjalanan panjangnya menjadi motivasi tersendiri bagi generasi Aceh selanjutnya, semangat menuntut ilmu hingga menduduki jabatan penting di daerah hingga nasional patut diacungi jempol sebagai generasi emas Aceh yang pernah berkilau pada masanya, terlepas dari kontroversi yang melibatkan namanya. Karena itu adalah konsekuensi dalam menentukan sikap dan namamu tetap pernah mengisi relung sejarah Aceh.(ma)


Read More