12/06/2021

Rapa'i Geurimpheng Warisan Budaya Dari Pidie

Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Suku bangsa di wilayah Aceh memiliki bentuk-bentuk seni budaya yang berciri khas daerah masing-masing yang menjadikan keberagaman, kekayaan dan identitas suatu daerah.  Pengaruh Islam dalam perkembangan sosial budaya masyarakat Aceh sudah terlihat sejak  berdirinya kerajaan Islam di Peureulak dan Pasai yang kemudian corak kebudayaan Islam mewarnai kebudayaannya. 


Keanekaragaman tersebut dapat dilihat pada seni tari, seni rupa, seni musik vokal, seni tutur maupun musik. Salah satu yang menjadi bukti nyata adalah penyebaran Rapa’i sebagai salah satu alat musik pengiring seni vokal, seni tari maupun seni musik tradisional Aceh di tiap suku-suku terlihat merata. Mulai dari wilayah pesisir Utara, pesisir Timur hinggai pesisir Barat Aceh mempunya kesenian Rapa’i seperti: Rapa’i Uroh dan Rapa’i Lagee Pase Aceh Utara, Rapa’i Geurimpheng Pidie, Rapa’i Geleng Aceh Selatan, dan Rapa’i Debus Aceh Barat. 


Seni tari Aceh menggunakan alat musik rapa’i mempunyai keistimewaan dan keunikan tersendiri. Semula rapa’i hanya dilakukan dalam upacara tertentu yang bersifat ritual. Hal ini dicirikan dengan kombinasi yang serasi Antara tari, musik, dan sastra, ditarikan secara massal atau kelompok dengan arena terbatas, pengulangan gerakan monoton dalam pola gerak sederhana dilakukan secara berulang ulang, serta waktu penyajian relatif panjang.


Pemilihan rapa’i sebagai alat musik kesenian Aceh bukan tanpa alasan. Hal ini sangat berkaitan dengan perkembangan sufisme di Aceh pada awal kedatangannya. Islam sufi adalah islam yang tidak mengikat diri pada hal-hal formal yang sangat kaku, lebih pada pemujaan keindahan dan pendekatan keiklasan yang universal. Ini membawa kaum sufi tidak bisa memisahkan diri dari nyanyian dan tarian. Menurut Rafli Kande tokoh seniman Aceh mengatakan semua aulia (sufi) adalah pemusik dan menyukai rapa’i bukan hanya di Aceh, namun di Timur Tengah dan Afrika, di mana tradisi sufi lahir. Rapa’i menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. 


Rapa’i masuk ke Aceh bersamaan islam masuk dan berkembang di Aceh, sehingga sufi-sufi besar Aceh masa lalu adalah para seniman, penyair, dan peyanyi. Mereka memiliki rapa’i dan mengajarkan mistiknya dengan rapa’i. Inilah kenapa menurut Rafli, musik Aceh modern harus menyertakan rapa’i dalam iramanya. Rapa’i menunjukkan identitas keislaman, kebudayaan, dan sejarah. Bagi Rafli, kalau tidak menggunakan rapa’i alam menyanyi artinya tidak mengetahui sejarah dan memahami dasar ajaran agama yang disampaikan indatu dahulu. Dalam sejarahnya, syair para sufi disampaikan dengan iringan rapa’i. Dasar nyanyian asli Aceh adalah puisi para sufi dan para ulama.


Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Rapa`i dimainkan dalam posisi duduk dengan formasi setengah lingkaran dengan gerakan-gerakan kecil. Rapa’i Geurimpheng berasal dari daerah Pidie. Musik rapa’i ini hampir sama dengan musik rapa’i Lagee, hanya disertakan dalam tarian likok dan anggok. Pertunjukan dilakukan setelah para pemain duduk berbaris atau setengah lingkaran, dipimpin seorang khalifah, melakukan atraksi dalam berbagai pola lantai disesuaikan dengan irama lagu dan tetabuhan musik rapa’i. Bentuk rapa’i tidak jauh berbeda dengan rapa’i lainnya di Aceh yaitu berdiameter antara 35 cm hingga 38 cm.


Menurut Hafifuddin berdasarkan wawancara dengan seniman rapa’i, Khairul Anwar, kesenian rapa’i geurimpeng merupakan salah satu jenis kesenian yang berkembang pesat dan diminati generasi muda. Pertunjukannya memiliki pola irama bersahutan dengan jumlah pemain ganjil; 9, 11, dan 13 orang yang disebut dengan umat/pendamping, jumlah syekh (pengatur nada) berjumlah 3 orang.


Fungsi syekh adalah pengatur tempo dan irama dengan sebutan taksa, takdua, taklhee (pukulan satu, pukulan dua, pukulan tiga). Rapa’i Geurimpeng dimainkan secara duduk setengah lingkaran dan bersila.


Foto : Penampilan rapa'i geurimpheng pada pergelaran budaya di Alun-Alun Kota Sigli, Kabupaten Pidie.


Pendukung memainkan pukulan dasar rapa’i dengan pola irama tak-dum, tak-dum dan berbagai pola lainnya. Rapa’i geurimpeng dalam permainannya juga diisi dengan chae (lagu). Rapa’i geurimpeng lebih menonjolkan permainan irama atau variasi rithem, berbeda dengan rapa’i geleng yang lebih menonjolkan atraksi permainan rapa’i atau pemanfaatan rapa’i sebagai hand property pertunjukan. Rapa’i geleng kaya variasi gerak tari. Bentuk Rapa’i geurimpeng lebih besar dari rapa’i geleng dengan diameter membrane 17 inci, sering disebutkan dengan ring 17 dan diameter belakang berkisar antara 16 inci, ketebalan baloh dua cm, dan lebar empat cm. dilengkapi oleh dua buah piringan logam kecil pada baloh kayunya, untuk menentukan tingkat kenyaringan suara rapa'i digunakan kayu rotan yang disisipkan ke dalam antara kayu dan kulit kambing tadi, maka perbedaan yang mencolok dari intensitas bunyi rapa’i geurimpheng ini adalah lebih nyaring dengan jalinan interlocking yang cepat.


Dalam berbagai sumber dinyatakan bahwa Syekh Ahmad Rifa’i merupakan salah seorang pengikut rombongan Syekh Abdul Kadir Jailani dari India yang mengembangkan tarekat kadiriyah yang dibawa oleh pengikutnya ke negeri Pasee dan memperkenalkan rapa’i di Aceh. Setiap berdakwah ia selalu membawa dan menabuh rapa’i untuk mengumpulkan masyarakat Aceh, masyarakat yang tidak tahu nama alat musik tersebut menyebutnya dengan nama rapa’i, sesuai dengan nama Syekh Ahmad Rifa’i, lama-kelamaan penyebutannya menjadi rapa’i.(an)


Read More