1/25/2020

Dodaidi dan Cikal Bakal Karakter Masyarakat Pidie

Foto : Seorang ibu sedang mengayun (dodaidi) anaknya
sumber : IG Wikan Wistihartati


Aceh terletak di provinsi paling barat dari Republik Indonesia, di jalur masuk peradaban Asia Tenggara dengan persentuhan berbagai kebudayaan dan peradaban dunia. Aceh memiliki romantisme masa lalu dengan prestasi lima Kerajaan Islam terbesar di dunia juga pernah tenggelam dari peradaban termasuk menjadi arena perang saudara hingga alam menegur dengan hentakan gempa dan terjangan gelombang besar air laut (Tsunami) pada 24 Desember 2004 silam.

Pidie merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh yang memiliki 23 Kecamatan (setelah Pidie Jaya berdiri sendiri pada 2 Januari 2007 silam) dengan demografi penduduk kedua terbanyak setelah Kabupaten Aceh Utara.

Berbagai sebutan Cina Itam, Motor Pergerakan Aceh, Nanggroe Tokoh, dan Pidie Kriet. Terlepas dari adagium yang menyiratkan nilai positif maupun sebutan negatif, namanya juga manusia.

Iya, memang dari diksi menimbulkan ego sektoral masyarakat Pidie. Tapi tulisan ini tidak bermaksud berlebihan memuji keberadaan Kabupaten Pidie yang memiliki karakteristik yang berbeda dari masyarakat Aceh kebanyakan.

Menelisik jauh sebelum Aceh Darussalam berdiri dengan Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertama yang memerintah pada Ahad, 1 Jumadil Awal 913 H ( 8 September 1507 M) , Kerajaan Pedir sudah memiliki peradaban tinggi dan masyhur (masa Pedir pra Islam hingga Islam) dengan adanya sistem administratif kerajaan yang tersusun rapi dan Pidie adalah kerajaan terakhir yang bergabung dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam (1524 M).

Karakter Kha, Kompak, Caroeng, Crah beukah, dan Matee Syahid adalah segelintir dari semangat masyarakat yang tergambar secara gamblang. Sehingga dalam pergelutan masyarakat Aceh, masyarakat Pidie tampil 'sedikit' lebih menonjol dari lainnya, terbukti dengan banyaknya pelaku sejarah yang selalu memiliki korelasi dengan masyarakat Pidie diantaranya Teungku Daud Beureueh (DI/TII Aceh), Hasan Muhammad di Tiro (Tokoh Pendiri GAM), Mr. Mohammad Hasan (Anggota PPKI), Sanusi Junid (Menteri Besar Kedah - Malaysia), Ibrahim Risyad, Ismail Hasan Metareum, Ibrahim Hasan dan masih banyak lagi yg tak mungkin disebut dalam tulisan ini.

Dodaidi atau juga sering disebut dengan Peurateib Aneuk atau Peulalee Aneuk, adalah kebiasaan kaum Ibu (Mak ; sebutan Ibu dalam Bahasa Aceh) sebagai madrasah perdana bagi kecerdasan generasi. Lantunan merdu nan syahdu ini biasa kita temui pada saat siang hari, sebelum bergelut dengan berbagai kegiatan tanpa hambatan, sang Ibu menidurkan anak terlebih dahulu dengan menggunakan lantunan Dodaidi.


 Foto : Sultan Muhammad Daud Syah bersama pengawal (apeet sultan)
sumber : koleksi Tropenmuseum

Dodaidi berdasarkan namanya, berasal dari dua kata dari Bahasa Aceh, yaitu doda dan idi. Doda merupakan peudoda atau bergoyang. Dan Idi berarti berayun. Fenomena ini memiliki keterikatan antara pendidikan dini generasi Aceh, Pidie khususnya dengan Syair Dodaidi (Syair ninabobo khas Aceh) yang tidak sebatas syair seni saja, melainkan memiliki peran penting dalam membentuk karakter khas dari masyarakat itu sendiri.

Konsep dasar pendidikan Islam menganggap bahwa setiap muslim adalah pembelajar sejati semenjak dalam ayunan sampai ke liang lahat adalah siratan dari Hadits Nabi Saw. Itulah sebabnya pesan Agama selalu dapat kita temui dalam lagu atau syair Dodaidi.

Kebiasaan bersenandung lisan ini yang berisi ungkapan petuah tersusun dengan dalam bentuk karangan pantun berbahasa Aceh pada dasarnya tidak terlepas dari sifat Kefanatikan Ureung Aceh (Orang Aceh) terhadap leluhur pejuang yang memiliki semangat patriotisme tinggi membela agama dan bangsa, sehingga variasi lirik dari teks Dodaidi mengalami perubahan sesuai dengan keadaan dan menjadikan masyarakat Aceh terbiasa dengan sastra Meupantoen juga seni Hiem (seni tebakan berdaya nalar tinggi bagi masyarakat Aceh) membuat Aceh menjadi bangsa yang terkenal cerdas (Aceh bukan bangsa bodoh) dan punya identitas kebangsaannya.

Senandung Dodaidi masih dapat kita jumpai di seluruh penjuru kecamatan di Kabupaten Pidie dan mungkin hanya sedikit saja yang mulai tergerus dengan persentuhan budaya luar (masyarakat kota) dan modernisasi.

Berikut teks Dodaidi (Pencipta teks Syair ini tidak diketahui secara pasti / anonim) yang masih mudah kita jumpai dalam masyarakat Pidie dan patut diapresiasikan untuk dilestarikan.

Laa Ilaaha Illallah

Kalimat Thayibah bekai ta mate

Meunyo han ek le takheun ngon lidah

Allah, Allah di dalam hate

( Laa Ilaaha Illallah

Kalimat Thayibah bekal di waktu mati

Jika tidak bisa melafalkannya dengan lidah

Allah, Allah di dalam hati ).



Oh rayeuk gata, bungong jeumpa, aneuk rupawan

Meubek talawan, aneuk badan ayah deungon ma.

( Oh kapankah engkau tumbuh besar, Bunga Cempaka, anakku rupawan

Janganlah membangkang, belahan jiwa ibu dan ayah ).



Allah hai do doda idi

Boh gadong bi boh kayee uteun

Rayeuk sinyak hana peue ma bri

Ayeb ngon keuji ureung donya kheun.

( Allah hai do doda idi

Buah gadong dan buah-buahan kayu dari hutan

Cepat besar anakku, tapi tak ada yang dapat ibu berikan

Aib dan keji orang mengatakan ).



Allah hai do doda idang

Seulayang blang ka putoh taloe

Beurijang rayeuk muda seudang

Tajak bantu prang tabela nanggroe.

( Allah hai do doda idang

Layang-layang di langit telah putus talinya

Cepatlah besar anakku, oh Banta Seudang!

Ikut bantu berperang untuk membela bangsa).



Wahee aneuk meubek taduek le

Beudoh saree tabela bansa

Bek tatakot keu darah ilee

Adak pih mate poma ka rela.

( Bangunlah anakku, janganlah duduk kembali

Berdiri bersama pertahankan bangsa

Jangan pernah takut walaupun darah harus terbuang

Sekiranya engkau mati, ibu telah rela).



Allah hai Pho Ilaahon haq

Gampong jara` hantroh loen woe

Adakna bulee ulon teureubang

Mangat rijang trok u nanggroe.

( Allah itu Tuhan Yang Benar

Kampung yang jauh tiada tara, aku akan pulang

Andaikan punya sayap aku kan terbang

Agar lekas sampai di kampung halaman ).

Syair Dodaidi memiliki banyak variasi sesuai kemauan dan perkembangan zaman dapat  ditemukan pada masyarakat sebagai penghantar tidur sekaligus interaksi dasar antara si anak dengan ibunya.

Karakter Masyarakat Pidie

Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter adalah tabiat, sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain. Karakter masyarakat ini tidak terlahir dengan sendirinya, melainkan memiliki korelasi vital antara tabiat masyarakat, pendidikan, falsafah hidup dan keadaan lingkungan.

Dapat disimpulkan bahwa syair Dodaidi adalah fenomena ekspresi manusia yang memiliki aspek langue (bahasa) dan parole (tuturan) sebagai jembatan komunikasi awal ibu dengan anak. Senandung Doda idi merupakan, gagasan, pikiran berisi “dogma-dogma” kultural yang tidak sekedar mempresentasikan kenyataan dan penyampaiannya namun mampu mempengaruhi psikologi anak lewat bahasa ibunya.

 Foto : Meuntroe Garot bersama pengawal (apeet meuntroe)
sumber : koleksi Tropenmuseum

Dari diksi dan substansi setiap syair itu menyiratkan pesan keagamaan yang sangat kental dan ditenggarai pula dengan pesan politik dalam menjaga keutuhan Nanggroe atau semangat patriotisme. Syair Dodaidi adalah perpaduan estetika, agama dan politik yang mudah dipahami dalam bahasa anak-anak dibandingkan dengan Syair Prang Sabi (The holy war epic) lebih kental semangat perang yang diciptakan oleh Teungku Chik Pante Kulu dipertengahan abad 19 untuk membakar semangat perang suci melawan kolonialisme.

Saat ini Dodaidi sudah dilombakan dalam berbagai momentum kegiatan Pemerintahan Kabupaten Pidie, memiliki peran yang signifikan dalam membentuk karakter masyarakat dan sangat pantas untuk dilestarikan sebagai penghormatan terhadap sejarah kebijaksanaan masa lalu.
Dikutip dari berbagai sumber.


Dikutip dari berbagai sumber.

Editor : Aminah
Read More

1/06/2020

Nagari Bihari Sahibu Wamalikuhu Lamuri

Foto : Batu isan jenis plak-pleng milik Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie


Lamuri ialah nama tempat yang telah didentifikasi oleh para ahli merupakan sebuah negeri berada  di ujung barat pulau sumatera, negeri yang lebih awal hadir dari Kerajaan Aceh Darussalam (1507). Sebelum  Lamuri berubah nama menjadi Lamreh  seperti yang kita ketahui sekarang, banyak pelancong (pedagang) yang melintasi Selat Malaka pada abad ke-10 M. Seperti yang dituliskan dalam catatan pelancong ibnu khordlh pada abad ke-9 M menyebutnya negeri Ramni. Sedangkan nama lain menurut sumber  yang didapatkan dari pelancong Abu Zaid Hasan pada tahun 916 M atau abad ke-10 M menyebutkan Ramin atau Ramni, dan sebutan ILAMURIDECAN seperti yang bersumber dari Prasasti Tamjore pada tahun 1030 M atau abad ke- 11 M.

Keraajaan Lamuri  identik dengan batu nisan berjenis plak-pleng,  seperti yang di temukan di daerah teluk krueng Raya dan Lamreh, jenis nisan tersebut sangat berbeda dengan nisan Samudra Pasai maupun nisan Kerajaan Aceh Darussalam, dari segi bentuknya menyerupai tiang tugu, batu yang di ukir dan di penuhi oleh motif hias yang dipahat dalam dengan tema berukuran besar seperti teratai biru atau lotus dan melati atau jasmin.

 Foto : Batu nisan jenis plak-pleng yang terdapat dalam komplek makam Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie

Bentuk dan gaya kaligrafi Islamnya juga sangat berbeda, menggunakan jenis khat tsulust-naskhi dengan garis vertical yang melebar dan ujung yang terpotong tajam, batu-batu nisan tersebut di perkirakan di buat sekitaran abad ke- 13 M hingga abad ke- 15 M.

Selain kerajaan Negeri Lamuri, pada abad ke-15 juga terdapat sebuah kerajaan lain yang terletak sebelah Timur Negeri Lamuri, tepatnya di Gampong Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie sekarang. Kerajaan tersebut ialah Negeri Bihari yang  di tandai dengan ditemukannya batu nisan berjenis plak-pleng. Sementara itu pada sebuah batu nisan juga di paparkan penjelasan “Hazal kuburi Raja Nagari Bihari Sahibu Wamalikuhu Lamuri”. (sumber. Mapesa).



 Foto : Batu nisan jenis plak-pleng yang telah patah dan tersebar di komplek makam Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie

Dalam Buku The Sume Oriental karya Tome Pires (Ikhtisar Wilayah  Timur, dari Laut merah hingga Negeri Cina), berisi mengenai informasi kehidupan di wilayah Asia Timur dan Asia Tenggara pada abad ke 16 yang di tulis di Malaka dan India pada tahun 1512-1515 M menyebutkan(v.1.h.138) bahwa: ”Aceh adalah negeri pertama di sisi jalur Pulau Sumatra, Lamuri tepat di sebelahnya, dan membentang ke pedalaman. Negeri Biar berada di antara Aceh dan Pidie sekarang, Negeri-Negeri ini tunduk kepada raja Aceh. Dia memerintah mereka dan  satu-satunya raja disana”.

Sejarawan Kartografi Portugis bernama Armando Cortasao (1891-1977) menyunting dan menerjemahkan kutipan dari buku The Suma Oriental Of Tome Pire, mengenai informasi Negeri Biar, disebutkan bahwa : “Biar- I cannot find any clear trace of the name of this land, situated by pires between Achin and Pedir, with a seacoast corresponding to the present Krueng Raya bay and Blang Raya. (Biar- Saya tidak dapat menemukan jejak yang jelas dari nama Negeri yang oleh Pires di letakkan antara Aceh dan Pidie dengan pantai laut yang cocok dengan apa yang hari ini adalah antara Krueng Raya dan Blang Raya ).”

 Foto : Nampak bekas pelabuhan Nagari Bihari yang telah berubah menjadi tambak warga, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie

Teluk Krueng Raya merupakan sebuah Teluk yang berada di Gampong Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Kabupaten Aceh Besar, sedangkan Blang Raya ialah sebuah Gampong didaerah Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie atau Timur Gampong Tuha Biheu.

Sebuah komplek makam yang di tandai dengan batu-batu nisan di era Lamuri pada abad ke-15 berhasil di temukan  sebuah jalur bukit dengan laut selat di mana sungai Biheu bermuara, seburan fregma tembikar dan keramik kuno mengisi area punggung bukit serta larangnya menjadi temuan serta memperkuat keberadaan sebuah permukiman atau kota pelabuhan pada zaman silam. Temuan peninggalan sejarah di timur laut gunung selawah ini di tandai besar dengan di temukan batu nisan yang menjelaskan dengan terang nama negari serta gelar penguasanya yaitu Raja Nagari Bihari.

 Foto : Pecahan keramik yang di temukan oleh tim Beulangong Tanoh di bekas pelabuhan kuno Nagari Bihari. Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie

Bihari dalam bahasa Hindi bermakna kota. Bihari  merupakan sebuah nama dan pengucapan dari bahasa Arab, namun dalam penuturan orang Aceh menyebutnya dengan kata Biheu, menurut data Pakografi yang ditemukan pada salah satu batu nisan di komplek pemakaman tersebut dituliskan bahwa penguasa negeri Bihari bersahabat dan tunduk kepada raja Lamuri berpusat pemerintahan di sebelah Barat Laut Bihari atau Biheu, saat ini berada di gampong Lamreh, Kecamatan Masjid Raya, Aceh Besar.

Kerajaan besar pada abad ke- 14 yaitu Lamuri dan Bihari, terdapat beberapa kesamaan serta keterkaitan antara dua kerajaan tersebut, hal ini menjadi sebuah penemuan besar akan sejarah kerajaan Aceh. Untuk kedepannya kita harapkan semoga kita dapat menelusuri lebih banyak lagi mengenai sejarah Aceh supaya sejarah tidak hilang begitu saja karna kalau bukan kiata siapa lagi yang akan menjaga dan melestarikan peninggalan-peninggalan terdahulu.(an)

 Foto : Pelabuhan kuno Nagari Bihari yang sudah dangkal dan telah di jadikan tambak oleh warga, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie

 Foto : Batu nisan jenis Plak-Pleng yang terdapat dalam komplek makam Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie


Foto : Batu Nisan jenis plak-pleng milik Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie



 Foto : Batu nisan jenis Plak-Pleng yang terdapat dalam komplek makam Raja Nagari Bihari, Gampong Tuha Biheu, Kecamatan Muara Tiga, Kabupaten Pidie
Read More