Dodaidi dan Cikal Bakal Karakter Masyarakat Pidie
Foto : Seorang ibu sedang mengayun (dodaidi) anaknya
sumber : IG Wikan Wistihartati
Aceh terletak di provinsi paling barat dari Republik
Indonesia, di jalur masuk peradaban Asia Tenggara dengan persentuhan berbagai
kebudayaan dan peradaban dunia. Aceh memiliki romantisme masa lalu dengan
prestasi lima Kerajaan Islam terbesar di dunia juga pernah tenggelam dari
peradaban termasuk menjadi arena perang saudara hingga alam menegur dengan
hentakan gempa dan terjangan gelombang besar air laut (Tsunami) pada 24
Desember 2004 silam.
Pidie merupakan salah satu kabupaten di Provinsi Aceh
yang memiliki 23 Kecamatan (setelah Pidie Jaya berdiri sendiri pada 2 Januari
2007 silam) dengan demografi penduduk kedua terbanyak setelah Kabupaten Aceh
Utara.
Berbagai sebutan Cina Itam, Motor Pergerakan Aceh,
Nanggroe Tokoh, dan Pidie Kriet. Terlepas dari adagium yang menyiratkan nilai
positif maupun sebutan negatif, namanya juga manusia.
Iya, memang dari diksi menimbulkan ego sektoral
masyarakat Pidie. Tapi tulisan ini tidak bermaksud berlebihan memuji keberadaan
Kabupaten Pidie yang memiliki karakteristik yang berbeda dari masyarakat Aceh
kebanyakan.
Menelisik jauh sebelum Aceh Darussalam berdiri dengan
Sultan Ali Mughayat Syah sebagai sultan pertama yang memerintah pada Ahad, 1
Jumadil Awal 913 H ( 8 September 1507 M) , Kerajaan Pedir sudah memiliki
peradaban tinggi dan masyhur (masa Pedir pra Islam hingga Islam) dengan adanya
sistem administratif kerajaan yang tersusun rapi dan Pidie adalah kerajaan
terakhir yang bergabung dalam federasi Kerajaan Aceh Darussalam (1524 M).
Karakter Kha, Kompak, Caroeng, Crah beukah, dan Matee
Syahid adalah segelintir dari semangat masyarakat yang tergambar secara
gamblang. Sehingga dalam pergelutan masyarakat Aceh, masyarakat Pidie tampil
'sedikit' lebih menonjol dari lainnya, terbukti dengan banyaknya pelaku sejarah
yang selalu memiliki korelasi dengan masyarakat Pidie diantaranya Teungku Daud
Beureueh (DI/TII Aceh), Hasan Muhammad di Tiro (Tokoh Pendiri GAM), Mr.
Mohammad Hasan (Anggota PPKI), Sanusi Junid (Menteri Besar Kedah - Malaysia),
Ibrahim Risyad, Ismail Hasan Metareum, Ibrahim Hasan dan masih banyak lagi yg
tak mungkin disebut dalam tulisan ini.
Dodaidi atau juga sering disebut dengan Peurateib
Aneuk atau Peulalee Aneuk, adalah kebiasaan kaum Ibu (Mak ; sebutan Ibu dalam
Bahasa Aceh) sebagai madrasah perdana bagi kecerdasan generasi. Lantunan merdu
nan syahdu ini biasa kita temui pada saat siang hari, sebelum bergelut dengan
berbagai kegiatan tanpa hambatan, sang Ibu menidurkan anak terlebih dahulu
dengan menggunakan lantunan Dodaidi.
Foto : Sultan Muhammad Daud Syah bersama pengawal (apeet sultan)
sumber : koleksi Tropenmuseum
Dodaidi berdasarkan namanya, berasal dari dua kata
dari Bahasa Aceh, yaitu doda dan idi. Doda merupakan peudoda atau bergoyang.
Dan Idi berarti berayun. Fenomena ini memiliki keterikatan antara pendidikan
dini generasi Aceh, Pidie khususnya dengan Syair Dodaidi (Syair ninabobo khas
Aceh) yang tidak sebatas syair seni saja, melainkan memiliki peran penting
dalam membentuk karakter khas dari masyarakat itu sendiri.
Konsep dasar pendidikan Islam menganggap bahwa setiap
muslim adalah pembelajar sejati semenjak dalam ayunan sampai ke liang lahat
adalah siratan dari Hadits Nabi Saw. Itulah sebabnya pesan Agama selalu dapat
kita temui dalam lagu atau syair Dodaidi.
Kebiasaan bersenandung lisan ini yang berisi ungkapan
petuah tersusun dengan dalam bentuk karangan pantun berbahasa Aceh pada
dasarnya tidak terlepas dari sifat Kefanatikan Ureung Aceh (Orang Aceh)
terhadap leluhur pejuang yang memiliki semangat patriotisme tinggi membela
agama dan bangsa, sehingga variasi lirik dari teks Dodaidi mengalami perubahan
sesuai dengan keadaan dan menjadikan masyarakat Aceh terbiasa dengan sastra
Meupantoen juga seni Hiem (seni tebakan berdaya nalar tinggi bagi masyarakat
Aceh) membuat Aceh menjadi bangsa yang terkenal cerdas (Aceh bukan bangsa
bodoh) dan punya identitas kebangsaannya.
Senandung Dodaidi masih dapat kita jumpai di seluruh
penjuru kecamatan di Kabupaten Pidie dan mungkin hanya sedikit saja yang mulai
tergerus dengan persentuhan budaya luar (masyarakat kota) dan modernisasi.
Berikut teks Dodaidi (Pencipta teks Syair ini tidak
diketahui secara pasti / anonim) yang masih mudah kita jumpai dalam masyarakat
Pidie dan patut diapresiasikan untuk dilestarikan.
Laa Ilaaha Illallah
Kalimat Thayibah bekai
ta mate
Meunyo han ek le
takheun ngon lidah
Allah, Allah di dalam
hate
( Laa Ilaaha Illallah
Kalimat Thayibah bekal
di waktu mati
Jika tidak bisa melafalkannya dengan lidah
Allah, Allah di dalam hati ).
Oh rayeuk gata, bungong jeumpa, aneuk rupawan
Meubek talawan, aneuk badan ayah deungon ma.
( Oh kapankah engkau tumbuh besar, Bunga Cempaka,
anakku rupawan
Janganlah membangkang, belahan jiwa ibu dan ayah ).
Allah hai do doda idi
Boh gadong bi boh kayee uteun
Rayeuk sinyak hana peue
ma bri
Ayeb ngon keuji ureung donya kheun.
( Allah hai do doda idi
Buah gadong dan buah-buahan kayu dari hutan
Cepat besar anakku, tapi tak ada yang dapat ibu
berikan
Aib dan keji orang mengatakan ).
Allah hai do doda idang
Seulayang blang ka putoh taloe
Beurijang rayeuk muda seudang
Tajak bantu prang
tabela nanggroe.
( Allah hai do doda
idang
Layang-layang di langit
telah putus talinya
Cepatlah besar anakku,
oh Banta Seudang!
Ikut bantu berperang
untuk membela bangsa).
Wahee aneuk meubek
taduek le
Beudoh saree tabela
bansa
Bek tatakot keu darah
ilee
Adak pih mate poma ka
rela.
( Bangunlah anakku,
janganlah duduk kembali
Berdiri bersama
pertahankan bangsa
Jangan pernah takut
walaupun darah harus terbuang
Sekiranya engkau mati,
ibu telah rela).
Allah hai Pho Ilaahon haq
Gampong jara` hantroh loen woe
Adakna bulee ulon
teureubang
Mangat rijang trok u
nanggroe.
( Allah itu Tuhan Yang
Benar
Kampung yang jauh tiada
tara, aku akan pulang
Andaikan punya sayap aku kan terbang
Agar lekas sampai di kampung halaman ).
Syair Dodaidi memiliki banyak variasi sesuai kemauan
dan perkembangan zaman dapat ditemukan
pada masyarakat sebagai penghantar tidur sekaligus interaksi dasar antara si
anak dengan ibunya.
Karakter Masyarakat
Pidie
Berdasarkan
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), karakter adalah tabiat, sifat-sifat
kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dengan yang lain.
Karakter masyarakat ini tidak terlahir dengan sendirinya, melainkan memiliki
korelasi vital antara tabiat masyarakat, pendidikan, falsafah hidup dan keadaan
lingkungan.
Dapat
disimpulkan bahwa syair Dodaidi adalah fenomena ekspresi manusia yang memiliki
aspek langue (bahasa) dan parole (tuturan) sebagai jembatan komunikasi awal ibu
dengan anak. Senandung Doda idi merupakan, gagasan, pikiran berisi
“dogma-dogma” kultural yang tidak sekedar mempresentasikan kenyataan dan
penyampaiannya namun mampu mempengaruhi psikologi anak lewat bahasa ibunya.
Foto : Meuntroe Garot bersama pengawal (apeet meuntroe)
sumber : koleksi Tropenmuseum
Dari
diksi dan substansi setiap syair itu menyiratkan pesan keagamaan yang sangat
kental dan ditenggarai pula dengan pesan politik dalam menjaga keutuhan
Nanggroe atau semangat patriotisme. Syair Dodaidi adalah perpaduan estetika,
agama dan politik yang mudah dipahami dalam bahasa anak-anak dibandingkan
dengan Syair Prang Sabi (The holy war epic) lebih kental semangat perang yang
diciptakan oleh Teungku Chik Pante Kulu dipertengahan abad 19 untuk membakar semangat
perang suci melawan kolonialisme.
Saat
ini Dodaidi sudah dilombakan dalam berbagai momentum kegiatan Pemerintahan
Kabupaten Pidie, memiliki peran yang signifikan dalam membentuk karakter
masyarakat dan sangat pantas untuk dilestarikan sebagai penghormatan terhadap
sejarah kebijaksanaan masa lalu.
Dikutip dari berbagai
sumber.
Dikutip dari berbagai
sumber.
Editor : Aminah
Komentar
Posting Komentar