7/26/2021

Khanduri Glee Silaturrahmi Yang Harmonis Antar Masyarakat Gampong Kulee

 

Foto : Para tetua adat Gampong Kalee sedang mendengar sedikit arahan dari Camat Kecamatan Batee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie

Masyarakat Aceh dikenal sebagai masyarakat majemuk dalam berbagai multi dimensi yang kaya akan adat dan budaya serta kearifan lokal lainnya, keanekaragaman budaya dan kebiasaan tersebut masih dilakukan secara turun temurun hingga saat ini. Bahkan generasi muda sekarang tidak mengetahui sejak kapan kebiasaan itu dimulai. 


Salah satu kearifan lokal yang masih bertahan hingga sekarang ialah pelaksanaan khanduri Glee (Khanduri Seuneubok), warisan tersebut biasanya dilakukan menjelang mebuka lahan untuk bercocok tanam.


Komunikasi ritual dipahami sebagai kegiatan berbagi, berpartisipasi, berkumpul dan kepemilikan akan keyakinan yang sama (earey,1989).”


Khanduri Glee merupakan ritual masyarakat Aceh yang mendiami ladang, perkebunan dan perbukitan yang dilaksanakan sebagai bentuk rasa syukur kepada sang pencipta juga sebagai media penyampaian pesan kepada masyarakat mengenai pelaksanaan bercocok tanam. Adat ini dilaksanakan setiap bulan maret tahun masehi, dan biasanya diadakan pada hari senin atau hari kamis.


Setiap masyarakat yang memiliki ladang dan hendak menanam, terlebih dahulu untuk ikut berpartisipasi dalam acara khanduri glee, keikutsertaan ini didasarkan atas perintah dari “Peutua Glee/Pawang Glee” (lembaga adat aceh yang khusus mengurusi di bidang pengelolaan dan pelestarian lingkungan hutan).


Dua minggu menjelang pembukaan ladang para petua glee dan anggotanya akan meninjau lokasi untuk pelaksanaan kenduri serta memberikan seruan kepada para petani sebelum turun ke ladang. Jabatan petua glee sebagai ketua bidang kehutanan sangat disegani dan dipatuhi oleh petani setempat karena pada saat penanaman di ladang dan hal lainnya perlu musyawarah dari petuah glee.


Foto : Ibu-ibu sedang menyiapkan masakan untuk disantap bersama-sama pada khanduri glee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Pelaksanaan kenduri di mulai dengan menyembelih seekor lembu, seluruh petani dan masyarakat sekitar di undang untuk memasak dan menikmati khanduri glee secara bersama-sama tak lupa juga disertai dengan baca doa yang dipimpin oleh pemuka atau tengku daerah tersebut  yang bertujuan agar tanaman bebas dari penyakit dan serangan hama. Bagi setiap petani yang bercocok tanam akan mendapat bagian jatah daging sapi yang di bagi oleh peutua glee.


Tujuan lain dari khanduri glee ialah untuk mewujudkan terbangunnya silaturrahmi yang harmonis antar masyarakat. Barang kali ada diantara masyarakat jarang berjumpa, maka dengan adanya acara seperti ini masyarakat gampong saling bertegur sapa, lain dari itu pula nilai yang terkandung adalah sebagai wujud rasa syukur masyarakat atas rezeki yang telah Allah swt berikan.


Dahulu khanduri ini berlangsung beberapa kali dalam setahun namun tidak dikoordinir oleh peutua glee tapi dilaksanakan oleh ketua lhok bersama dengan beberapa aneuk seuneubok, sedangkan untuk sekarang khanduri glee di lakukan sekali dalam setahun dan langsung dikoordinir oleh peutua glee. Seperti khanduri glee yang di lakukan oleh masyarakat Gampong Kulee, Kecamatan Batee, dalam kegiatan tersebut masyarakat Gampong Kulee sangat antusias melaksanakan khanduri glee.


Seperti yang sudah di jelaskan dua minggu sebelum hari yang telah di tentukan masyarakat terlebih dahulu telah di beritahukan oleh peutua glee, dan satu hari sebelum khanduri glee  di laksanakan masyarakat bersama-sama mengadakan meuseuraya (gotong-royong) pada tempat yang akan di laksanakan khanduri. 


Foto : Ibu-ibu sedang menyiapkan masakan untuk disantap bersama-sama pada khanduri glee, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Setelah sampai pada hari yang telah disepakati, baik masyarakat Gampong Kulee maupun warga sekitar dan tamu undangan akan bersama-sama ke tempat khanduri di adakan, yaitu di atas bukit yang terdapat sebuah makam diatasnya dan masyarakat menyebutnya makam cot mane.


Acara ini dimulai pukul 10 pagi, acara khanduri glee di laksanakan dengan pertama dilakukannya pemotongan sapi dan selanjutnya di bagikan kepada warga yang akan turun ke ladang untuk di masak secara bersama-sama. Dalam kegiatan tersebut Teungku memimpin acara langsung memulai membacakan yasin dan zikir kemudian di ikuti oleh semua warga yang hadir, selama satu jam masyarakat larut dalam doa dan zikir yang dipimpin oleh Teungku Imum, setelah kegiatan membaca yasin dan doa bersama selesai selanjutnya dilanjutkan dengan acara makan bersama dan acarapun selesai.


Itulah sedikit penjelasan dalam kegiatan khanduri glee yang di laksanakan di Gampong Kulee, Kecamatan Batee, Kabupaten Pidie, semoga saja kedepannya budaya khanduri glee tersebut tetap terjaga kelestariannya agar generasi Pidie selanjutnya masih bisa melihat dan mengenal budaya dan adat yang diwarisi oleh indatoe kita terdahulu.(an)

 


Read More

7/05/2021

Kuala Gigieng Pidie Sebagai Bandar Transaksi Perdagangan Abad Ke-15

 

Foto : Makam Lahuda (Tuan Besar) yang terletak di depan masjid tua Syaikh Burhanuddin Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Salah satu pesisir pantai utara Pidie ialah kawasan Kuala Gigieng Peukan Lheu. Sejak abad ke-15M daerah ini sudah ramai disinggahi oleh pedagang-pedagang Islam yang disebut dengan sebutan “Lahuda”, atau kelompok tuan besar dalam melakukan transaksi barang dagangan.


Nama Gigieng berarti tempat kegiatan transaksi perdagangan (Peukan Gigieng) yang berasal dari bahasa India yang berarti “Kota Perdagangan” (Reza Fahlevi, 2016: 2). Oleh sebab itu Gigieng dikenal sebagai pusat perniagaan/ bandar para saudagar-saudagar Islam yang berasal Gujarat India. Selain itu Gigieng juga beroperasi sebagai pusat kegiatan penyiaran Islam di Pidie, sejak menjadi obor Islam dunia pada abad ke-9 sampai 14 Masehi ketika orang-orang Arab menguasai Gibraltar Spanyol seperti yang telah dituliskan dalam bukunya “Penaklukan Muslim Yang mengubah Dunia” (Kennedy, 2015: 394).


Secara umum perdagangan yang dilakukan pedagang muslim dapat digambarkan sejak mula  berdatangan ketempat pusat perdagangan, kemudian diantaranya ada yang bertempat tinggal dipusat transaksi barang, baik sementara atau menetap. Lambat laun tempat tinggal mereka berkembang menjadi perkampungan (Fahzian Aldevan, 2014: 1). 


Peukan Gigieng (Keudee Gigieng) merupakan salah satu teluk lalu lalang kapal-kapal tongkang atau para pedagang Islam asal Gujarat India serta Canton Cina dewasa itu (Reza Fahlevi, 4 Juni 2016). 


Pada awal abad ke 15 M, munculnya Gigieng Pidie dalam kancah perdagangan di Selat Malaka tidak terlepas dari faktor geografis, bahwa Gigieng sangat mendukung faktor lalu lintas pelayaran para pedagang Muslim dari Arab, India, dan Cina, yang berkaitan erat dengan banyaknya kapal-kapal saudagar asing yang berniaga dipelabuhan Kuala Lheue/Gigieng dan nusantara kala itu.


Foto : Kuala Gigieng di padati boat nelayan, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie

Penjual dan pemilik toko toko tersebut ialah pengusaha dari Arab, India dan Cina mulai dari Gigieng sampai ke Kuala Peukan. Berdasarkan konstektual historis dan arkeologi yang ditemukan yaitu lempingan pecah belah dan makam Lahuda, besar dugaan bahwa Kuala Gigieng pada abad ke-15 M terkenal sebagai pusat aktifitas perdagangan Islam dari bangsa Arab, Gujarat, Benggala (India), dan Cina yang hijrah ke Gigieng untuk melakukan transaksi jual beli atau bongkar muat barang dewasa itu. 


Dengan mengutip sumber dari Abdul Jalil seorang penjual kain di Gigieng disampaikan bahwa “di Gigieng Polo Gang ada satu makam Lahuda (Nahkoda) seorang pedagang terkaya asal Gujarat, profesinya dibidang transaksi barang-barang dagangan”, juga memperoleh keterangan dari Teungku Ibrahim Khatib Gigieng bahwa “Lahuda di Gigieng sebagai pedagang dan penjual pecah-belah serta pengusaha emas. Lokasinya di depan SDN 2 Gigieng sekarang, dahulu ada toko-toko besar terbuat dari bangunan kayu atau bangunan Lheue.


Selain dipusat Gigieng, selanjutnya H.M. Jamil mengemukakan bahwa untuk wilayah Gigieng Peukan Tuha, kala itu juga tersedia rute keluar-masuk armada tongkang ke gudang untuk bongkar muat barang-barang di dermaga jembatan Keuranji. Sehingga nama gudang tersebut lahir satu kampung namanya “Keude Peukan Tuha”. Di lokasi inilah Gigieng dijadikan pusat penyimpanan barang-barang dagangan, yang dipasok dari negeri Arab, India dan Cina. Di sini pula tersedia tempat penginapan khusus saudagar-saudagar besar atau tuan besar, asal Gujarat India. Menurut keterangannya di Gampong Keude Peukan Tuha dan Blang Pantee, ada bekas Tongkang tenggelam di lokasi jalur Jembatan Keuranji” yaitu sewaktu masih jayanya Gigieng bahwa Jembatan Keuranji, bisa menghubungkan antara gedung Peukan Tuha, dengan Lampoih Weng/Pulo Raya, terus menghubungkan ke Gigieng sebagai pusat transaksi perdagangan hingga ke Kuala Peukan Lheue dewasa itu (Sumber, H.M. Jamil; 14 Agustus 2019).


Secara historis dan arkeologi, ditemukan sebuah makam daerah Gigieng Pidie tetapi tanpa tulisan di batu nisan Lahuda (Tuan Besar). Beliau adalah seorang saudagar kaya dan mubaligh Islam, berasal dari Gujarat (India). Selama transaksi barang dagangan di Gigieng, beliau pernah menikah (kawin) dengan seorang gadis setempat. Namun tidak mewariskan keturunannya dan makam terletak disamping suaminya. Menurut teori Gujarat bahwa kegiatan Islam salah satunya melalui perkawinan antara pedagang atau saudagar dengan wanita setempat yang memiliki jalinan baik, lalu diteruskan dengan perkawinan antara penduduk setempat dengan para pedagang Islam yang kemudian wanita tersebut masuk Islam (Fahzian Aldevan, 2014: 1).


Foto : Makam Lahuda (Tuan Besar) yang terletak di depan masjid tua Syaikh Burhanuddin Gigieng, Kec Simpang Tiga, Kab Pidie


Seperti halnya Lahuda (pedagang besar) salah seorang dari golongan pembawa Islam ke Aceh (Gigieng) dengan melalui jalan perdagangan. Menurut kajian Husaini Ibrahim (2014: 5) dijelaskan bahwa “Mereka (dia) membawa Islam ke Aceh sambil berdagang dan mendakwahkan Islam sambil menunggu musim angin yang baik melalui hubungan perdagangan, yang kebanyakan pedaganga-pedagang itu berasal dari India yang datang berniaga ke Aceh dan kawasan lainnya di Asia Tenggara”. Hal ini dapat juga dihubungkan dengan perkembangan hubungan antara Gujarat, Gigieng Pidie, Samudra Pasai dan kawasan Asia Tenggara yang sudah merupakan daerah sibuk pada saat itu. Kemajuan pedagang muslim yang didukung oleh mubaligh berkaitan erat dengan perkembangan perdagangan internasional lewat Selat Malaka sejak abad ke-7 dan ke-8 M, sehingga sejumlah tempat di Nusantara boleh jadi telah dikunjungi oleh pedagang-pedagang Muslim (Uka Tjandasasmita, 2009: 17). Hubungan antara Muslim Gujarat di pantai utara Aceh dan Kepulauan Nusantara sebagai poros India dan Tiongkok yang telah memainkan peranan penting dan mencapai puncak pada abad ke-15 M.



Konon dari hal tersebut bahwa pedagang-pedagang Islam, asal dari Gujarat (India) sudah mewarnai unsur budaya dan bahasa di sekitar Gigieng, Pidie, Gajah Aye, Laweueng sampai Aceh Besar. Misalnya sampai dewasa ini nama-nama warga dan tempat di Gigieng Pidie masih mewarnai unsur dari bahasa Gujarat, Benggala asal India, seperti sebutan orang dagang, orang keling, juga ada gelar Habib dan Sab. Warga Gigieng dan Pidie umumnya suka memakai pakaian merah dan kuning serta hitam. Suka makan sirih dan memainkan Rapa’I dan seudati. Masakan juga mirip sekali resep gulai-gulai India banyak memakai kunyit, cabe dan ketumbar (Miala, 1970: 6). Aktifitasnya yang digemari adalah “Berdagang dan Berjualan”. Dimana mereka bermukim tentu akan membuka usahanya atau rumah makan dengan masakan khas yaitu kari ala Hindustan dan rumah-rumah makan diabadikan adalah “Warung Gigieng dan Warung Mantak”. Selain itu bahwa warga Gigieng suka sekali berjualan rempah-rempah, tidak hanya di Sigli, tetapi disejumlah kota-kota di Aceh; Banda Aceh, Bireuen, Lhokseumawe dan Langsa.(an)


Read More