12/25/2020

Panorama Cot Weng


Foto : Tampak keindahan bukit cot weng dari jalan Batee-Krueng Raya, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab pidie


Melintas jalan Medan-Banda Aceh merupakan rutinitas publik jalur jalan nasional Sumatera-Aceh, dan mudah dilewati dengan jalan yang terbilang mulus. Namun bagi segilintir orang, melewati jalan yang sama akan menimbulkan rasa jenuh. Terlebih jalan yang terkenal dengan gunung Seulawah ini kini kerap dilalui oleh mobil-mobil angkutan umum.


Bagi siapapun yang pernah melintas dari bundaran Lambaro, Aceh Besar menuju Pidie pasti pernah merasakan macet. Walaupun persentasi macet berbeda jauh dengan kondisi DKI Jakarta.


Selain jalur nasional, ada satu jalur lagi yang di bisa di lalui menuju Banda Aceh yaitu jalur Laweung. Alasan sederhana ini lah yang memicu hasrat saya untuk memilih alternatif lain kala menempuh perjalanan Pidie-Banda Aceh. Selain jenuh melintas jalan yang sama, melewati jalur lain tentu memberikan kesan unik dan sensasi yang berbeda.

 

Foto : Tempat santai bersama keluarga, sahabat yang di sediakan


Bergerak dari Pidie ke Banda Aceh melewati jalur Laweung, Guha Tujoh, hingga Krueng Raya yang berada  di Aceh Besar.Perjalanan awal dimulai dari Grong-Grong, tidak ada penumpang dan pengemudi lintas Timur Utara Aceh yang tidak tahu daerah ini, yaitu sebuah kota kecil di Kabupaten Pidie  yang sore harinya terjadi kemacetan total walau hanya satu kilometer.


Dalam perjalanan kali ini ada hal yang sangat menarik yang saya temukan diperbatasan Laweung dan Batee. sebuah pemandangan yang sangat menyejukkan mata, menenangkan jiwa. Namanya Cot Weng atau Puncak Kulee, puncak yang sangat sejuk ditambah pepohonan tumbuh rindang dengan khas hijau daun.


Puncak idaman tiap orang itu tidak jauh dari pemukiman warga, lokasi tersebut selalu ramai pengunjung di sore hari. Menuju puncak tentu tidak sulit dan juga tidak mudah, pasalnya jalannya sedikit menanjak tapi sudah beraspal, walaupun ada beberapa titik yang berlubang disebabkan banyak mobil-mobil besar yang lalu lalang di jalan itu.


Dari ketinggian Puncak Kulee, mata akan di suguhi keindahan pusat kota Sigli yang indah serta laut biru, tampak air laut kebiruan berpadu dengan pemandangan alam sekitar yang membuat takjub. Saat cuaca cerah, dari tempat ini kita bisa saksikan langit biru berhiaskan awan putih yang membuat siapa saja terpesona.

 

Foto : View garis pantai terlihat jelas dari atas bukit cot weng, Gampong Kulee, Kec Batee, Kab Pidie


Banyak muda-mudi menghabiskan waktu sore menjelang magrib di sini sembari menikmati matahari terbenam (sunset) dan kadang kala menunggu senja yang datang dari arah bukit, ada yang sengaja mendokumentasikan keindahan sore itu dengan ‘view’ berbeda, sekitaran tempat ini juga banyak penjual yang biasa menyuguhkan minuman dan makanan segar.


Selain pemandangan yang indah Cot Weng juga sering dijadikan sebagai spot foto Prewedding, bukan hanya masyarakat sekitar ada yang rela jauh-jauh datang kemari hanya untuk keindahan alam semesta ini.


Saya terpikir untuk kembali ke destinasi wisata ini pada lain kesempatan dan bagi kalian yang suka melakukan perjalanan, jalur ini sangat direkomendasikan.(fh)


Foto : Banyak pondok - pondok untuk yang biasa menyuguhkan minuman dan makanan segar


Read More

12/05/2020

Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany

Foto : Komplek makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany yang kurang terawat di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie

Masjid Al-Haram dan Masjid An-Nabawy telah mengisi peran besar dalam memajukan dunia ilmu pengetahuan tidak saja pada masa Rasulluallah SAW namuan juga pada masa Khulafa’ur Rasyidin dan setelahnya sampai masa-masa paling kemudian.

Team Beulangong Tanoh kembali melakukan ziarah kemakam seorang ulama besar yang berasal dari  Madinah yaitu Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-madany beliau hijrah ke Pidie di perkirakan sekitar abad ke -10 H. Makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-madany terdapat di kemukiman Sanggeu, tepatnya di Meunasah Ketumbu,Kecamatan Pidie, Kabupaten Pidie. Posisi Makam  terletak di dalam kebun warga.


Terlihat dari batu nisan tersebut ada yang berbeda dari jenis batu nisan biasanyan, nisan ini berbentuk Tharbusy yang dalam bahasa Persia disebut ”Sarbusy” yang berarti penutup kepala.
 

Syaikh Abdurrahim wafat pada tahun 943 H atau 1537 M di pidie, beliau merupakan seorang ulama besar dari Madinah, keberadaan makam ulama besar ini sudah di ketahui sejak 2008 oleh MAPESA (MasyarakatPeduliSejarah Aceh).

Tetapi sangat di sayangkan batu-batunisan di komplek tersebut tidak terurus dan terlihat miring  di akibatkan karena sudah berumur ratusan tahun, serta pada bagian puncaknya pun rata-rata sudah di rusak oleh tangan-tangan jahil manusia untuk di jadikan sebagai batu pengasah benda-benda tajam.

 

Foto : Tim Beulangong Tanoh sedang membersihkan lumut yang terdapat pada nisa kepala makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie


Sedangkan pada makam Syaikh Abdurrahim nisan tersebut keduanya masih utuh hanya saja posisi berdirinya yang sudah miring, lumut tebal tampak menghiasi beberapa bagian permukaan batu, beruntungnya lumut tebal tersebut tidak merusak inskripsi yang terdapat di bagian bawah (pinggang) kedua nisan.


Sejauh ini belum di temukan catatan tentang  riwayat hidup beliau, bahkan nama beliau saja belum pernah di jumpai dalam literasi kepustakaan sejarah Aceh, dengan demikian belum dapat di ketahui pasti tahun lahirnya kapan beliau hijrah ke pidie hingga kepada siapa beliau telah berguru dan siapa murid-muridnya.

 

Foto : Tampak makam Syaikh Abdurrahim bin Shalih Al-Madany bersebelahan dengan makam lain yang kondisi nisannya sudah patah di Gampong Ketumbu, Kec Pidie, Kab Pidie


Berikut ini adalah bunyi inskripsi yang terdapat pada batu nisan makam Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madany :

 

-Inskripsi pada nisan kepala

 

1. الشيخ الأفخر المحترم
2. والعارف العالم معظم
3. المتحلي بالاسماء مكرم
4. ذو المفاخر في علومه ومعارفه
5. والمحاسن في فعلا ته ومراسمه
6. والعامل بصالح العبادات وعما [؟] (والأعمال)
7. أطله الله ببشير غفرانه
8. واصطفاه من بين العباد (إلى معاونه؟)

 

Terjemahan :


1. Syaikh (tuan guru) yang paling dibanggakan lagi dihormati

2. yang ‘arif lagi ‘alim, [dan dia] diagungkan

3. yang terhias dengan nama-nama (sifat-sifat terpuji), [dan dia] dimuliakan

4. yang memiliki segala kemegahan dalam ilmu-ilmu dan pengetahuan-pengetahuannya

5. dan memiliki segala keelokan dalam berbagai perbuatan dan tingkah lakunya

6. dan yang selalu mengerjakan ibadah dan amal yang shalih

7. semoga Allah menyejukkannya dengan berita gembira keampunannya

8. dan memilihnya di antara para hamba [untuk menjadi bagian dari pertolongan-Nya].


-Inskripsi pada nisan kaki


1. توفي الشيخ العارف الكا [مل]
2. المتقي (المنسقي ؟) الفقير المغفور
3. شيخ عبد الرحيم بن صالح المدني
4. تغمده الله بغفران رحمته
5. وأسكنه أوساط رضوان جنته
6. بعد هجرة النبوية صلى
7. الله عليه وسلم سنة ثالث و أر
8.  بعين وتسعمائة يوم الجمعة شهر رمضان

 

Terjemahan :

 

1. Telah diwafatkan Syaikh yang ‘arif lagi kamil (sempurna)

2. yang bertaqwa (yang sangat penurut?) lagi faqir, yang [semoga] diampuni

3. Syaikh ‘Abdur Rahim bin Shalih Al-Madaniy

4. semoga Allah meliputinya dengan keampunan kasih sayang-Nya

5. serta menempatkannya di tengah-tengah ridhwan syurga-Nya

6. setelah hijrah Nabi, semoga shalawat

7. Allah dan salam tercurah kepada beliau, tahun tiga dan

8. empat puluh dan sembilan ratus (943) hari Jum’at dalam bulan Ramadhan.

 

Dari cerita di atas dapat kita bayangkan bagaimana keadaan dan suasana Aceh pada masa lalu khususnya wilayah Pedir yang berpusat di daerah Keulibeut dan Sanggeu dalam hal perkembangan ilmu pengetahuan Islam.(an)


Sumber : https://www.mapesaaceh.com/2015/12/nur-dari-madinah-di-pidie.html, di akses pada tanggal 5 desember 2020



Read More