7/05/2020

Jami’atuddiniyah Sa’adah Al-Abadiyah Blang Paseh, Lembaga Pendidikan Kaum Moderat

Foto : Bangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Mengunjungi Kota Sigli tepatnya daerah Blang Paseh, mata kita sejenak dimanjakan oleh sebuah bangunan usang yang masih berdiri kokoh dipinggiran pusat perkotaan. Bangunan dengan gaya arsitektur klasik khas abad- 20 awal ini menjulang dengan gagah ke langit biru.

Sekilas dilihat memang tidak ada nilai lebih dari bangunan ini, bahkan sebagian orang menganggap bahwa bangunan tersebut hanya bangunan biasa sama seperti bangunan-bangunan lain pada umumnya. Namun, jika ditelusuri lebih dalam dapat diketahui bahwa dibalik bangunan tua tersebut tersimpan nilai sejarah yang amat tinggi.

Masyhur bangunan tersebut dengan nama jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah, difungsikan sebagai pusat pendidikan pribumi kala itu. Dalam panggung sejarah peradaban Aceh, peran lembaga pendidikan satu ini tidak dapat diabaikan karena telah banyak memberi sumbangsih yang berarti dalam membentuk karakter dan mengubah pola pikir masyarakat. Banyak diantara tokoh-tokoh penting di Aceh jebolan dari lembaga pendidikan ini, salah seorang diantaranya ialah Teungku Hasan di Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka.

Walaupun corak pendidikannya berbeda dengan lembaga-lembaga pendidikan sebelumnya, seperti dayah atau zawiyah yang lebih awal  berkembang di Aceh, keberadaan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah mampu merebut hati masyarakat sebagai tempat baru dalam menuntut ilmu pengetahuan.

 Foto : Bangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah yang telah berubah menjadi Dayah Ullumud Diniyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie
Sejarah berdirinya Jami’atuddiniyah Sa’adah Al-abadiyah

Lahirnya jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tidak lepas dari prakarsa Teungku Muhammad Daud Beureueh, seorang ulama moderat yang memiliki pengaruh besar dalam kehidupan masyarakat Aceh. Posisi strategis yang diduduki oleh Daud Beureueh mampu menggerakkan dan merangkul semangat masyarakat dalam membenah pendidikan.

Jami’atuddiniyah di Blang Paseh mulai dibangun semenjak tahun 1931, kira-kira setelah satu tahun kembalinya Daud Beureueh dari mengajar di Uteun Bayi, Lhokseumawe. Jika dilihat dari tahun pembangunannya, dapat dipahami bahwa Aceh masih berada dalam kurun waktu penjajahan pihak asing.

Sebenarnya jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah berawal dari perkumpulan-perkumpulan keagamaan yang memiliki cabang diseluruh Aceh, kekuatan yang terhimpun dari perkumpulan inilah kemudian menjadi cikal bakal penggerak pembangunan wadah pendidikan di Blang Paseh.

Foto : Prasasti tahun di mulainya pembangunan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Konsep pendidikan yang ditawarkan oleh jami’atuddiniyah sedikit lebih maju ketimbang lembaga pendidikan lain pada saat itu. Kurikulum yang diterapkan mengadopsi kurikulum pendidikan modern, disini tidak hanya dipelajari ilmu agama tetapi juga diajarkan ilmu-ilmu umum seperti ilmu politik, tafsir, astronomi, matematika dan ilmu sains lainnya.

Kebijakan mengubah kurikulum tidak serta merta dilakukan, melainkan atas dasar pijakan yang jelas. Pada periode masa kejayaan Islam, Eropa bukanlah kekuatan yang harus diperhitungkan, umat Islam mampu menguasai multi sektor, bahkan tidak tanggung-tanggung sepertiga dunia dalam genggaman pihak muslim. Namun keadaan berubah setelah terjadinya renaisanse Eropa, maka  berpindahlah kekuasaan dari Timur ke Barat, Eropa dahulunya dipandang bak kucing mungil tanpa kekuatan berubah menjadi singa ganas yang sangat berbahaya dan mematikan.

Pasca renaisanse mulailah orang-orang Eropa menginvansi tanah-tanah muslim yang ada diberbagai penjuru dunia, termasuk Aceh. Penjajahan yang dilancarkan bangsa barat selain menguras hasil kekayaan alam, turut pula membatasi pendidikan masyakat akar rumput. Dayah-dayah serta perpustakaan yang menyimpan berbagai bidang ilmu di Aceh dibumi hanguskan, para ulama  dipersekusi dan dibunuh, bahkan lembaga pendidikan yang ada dibawah daerah kekuasaan penjajah dikontrol sangat ketat, beberapa disiplin ilmu pengetahuan umum dihilangkan di dayah-dayah karena dianggap membahayakan eksistensi Belanda, sehingga lama-kelamaan pendidikan di Aceh berangsur menurun dan tertinggal.

Atas dasar inilah, Teungku Muhammad Daud Beureueh beserta para ulama lain yang memiliki sama pandangan tersulut semangat panislamisme, lalu mencetus untuk mendirikan jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah di Blang Paseh, dengan harapan dapat mengejar ketertinggalan akibat penjajahan pihak asing dan mampu merajut persatuan semua elemen Muslim (polyethnic brotherhood of Muslim)
Foto : Gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tampak dari belakang di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Adapun mengenai pendanaan bersumber dari wakaf T. Bentara Pineung, yang pada saat itu menjabat sebagai uleebalang mukim III. Di awal pembangunan masyarakat juga ikut andil memberikan bantuan berupa breuh sireugam (beras segenggam) untuk mendirikan lembaga pendidikan ini, sehingga dapat beroperasi sebagaimana keinginan bersama.

Proses mendirikan jami’atuddiniyah di Blang Paseh tidak mudah seperti dibayangkan, sempat terjadi gesekan dengan pihak-pihak yang berbeda sudut pandang dengan Teungku Muhammad Daud Beureueh, kelompok kontra ini di pimpin oleh ulama konservatif bernama Teungku Muhammad Amin Jumphoh dari Kecamatan Mutiara Timur dan beberapa ulama lainnya (Lihat Junaidi Ahmad, Pidie yang tidak kalian ketahui, Hal 70).

Mereka menentang keras konsep pendidikan yang diterapkan jami’atuddiniyah, alasan golongan ini menentang karena umat Islam haram belajar ilmu umum kecuali ilmu agama yang menyangkut persoalan akhirat, selain itu muncul beberapa fatwa yang menjadi landasan bagi golongan kontra untuk menentang. Dikarenakan Teungku Muhammad Daud Beureueh memiliki pengaruh besar, sehingga masalah ini dapat diselesaikan tanpa adanya pertumpahan darah antar sesama muslim.

Maka mulailah dilakukan proses pendidikan, anak-anak yang berasal dari  Pidie maupun luar Pidie bergumul di  jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah, ditempa oleh guru-guru berpengalaman yang memiliki kapasitas keilmuan bidang masing-masing, agar menjadi manusia kritis dan berani menentang tirani.

Sampai sekarang jami’atuddiniyah di Blang Paseh masih beroperasi sebagai tempat pendidikan, hanya saja namanya telah berubah menjadi dayah Ullumud Diniyah dan orientasi pendidikannya sudah berbeda dengan pendidikan tempo dulu. Kalau dulu orientasinya untuk pergerakan melawan penjajah sekarang hanya sebatas tempat  menuntut ilmu pengetahuan.

Foto : Gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiyah tampak dari depan di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Kebangkitan Umat Melalui Pendidikan

Pendidikan menjadi suatu hal yang krusial untuk menentukan maju atau mundurnya sebuah peradaban. Alfred Schutz seorang sosiolog berkebangsaan Austria juga pernah mengemukakan bahwa stock of knowledge (stok pengetahuan) menjadi kerangka referensi pada seseorang sebelum melakukan tindakan. Dapat dijabarkan, kondisi masyarakat yang sudah memimiliki pendidikan dan berpengetahuan akan mampu menaikkan kewibawaan daerahnya.

Lembaga pendidikan di Aceh saat ini ada banyak jenisnya, ada lembaga pendidikan agama dan juga ada yang umum. Terkadang masih terjadi ketegangan, saling menyalahkan antara kedua lembaga pendidikan yang memiliki model berbeda, gesekan terjadi karena menganggap lembaga masing-masing paling benar. Ringkasnya masih terjadi dikotomi dalam pendidikan.

Foto : Santri sedang mengikuti pelajaran di dayah Ullumud Diniyah yang dulunya sebagai gedung jami’atuddiniyah sa’adah al-abadiya di Blang Paseh, Kec Kota Sigli, Kab Pidie

Dikotomi pendidikan produk politik devide et impera warisan kolonialis yang digunakan sebagai senjata untuk melemahkan internal kaum muslim, masih menjadi momok besar bagi kita sekarang dalam upaya menggalang persatuan umat. Realita yang dihadapi semacam ini membuat masyarakat pesimistis dalam menggapai perubahan.

Untuk itu, perlu menyatukan persepsi bahwa menjadi tanggung jawab bersama menyiapkan generasi emas Islam di masa hadapan, generasi yang mapan dalam ilmu agama serta memiliki kemampuan untuk menguasai ilmu-ilmu umum, agar dapat menjawab tantangan-tantangan yang muncul ditengah-tengah masyarakat, dengan demikian akan mewujudkan cita-cita bersama yaitu Aceh berperadaban dalam bingkai syariat Islam.(ay)

Baca Juga:



EmoticonEmoticon