3/05/2022

Syaikhuna Muhammad Syafi’i (Teungku Syik Paya Asan)

 

Foto : Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Mukim Kunyet, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie.


Islam telah menjadi sebuah agama resmi di Kesultanan Aceh masa lalu, seperti Kesultanan Samudra Pasai, Kesultanan Perlak, Kesultanan Pedir, dan Kesultanan Aceh Darussalam. Agama ini di implementasikan dalam kehidupan sehari-hari di bawah pengentrolan kesultanan sehingga Islam terefleksi dalam sistem budaya masyarakat (Said, 1961 ; 36).


Dalam berbagai kajian antropologis, penduduk yang tinggal di Aceh selalu di gambarkan sebagai sebuah masyarakat yang sangat kental dengan keyakinan agama Islam (weekes, 1984 ; 21). Gambaran ini di bangun atas dasar bahwa sistem sosial dan budaya masyarakat Aceh amat di pengaruhi oleh ajaran Islam. Banyak ulama menduduki posisi strategis dan signifikan dalam struktur social kehidupan masyarakat (Gellner, 1995).  


Sejak periode awal penyebaran Islam di nusantara hingga masa kini ulama merupakan pemimpin informal masyarakat dan selalu berdampingan dengan posisi pemimpin formal. Bahkan, pada masalah tertentu, ulama Aceh di pandang sebagai pemimpin formal masyarakat, hal ini terlihat pada peran yang di mainkan oleh mereka dalam menggerakkan rakyat Aceh untuk menghadapi penjajah Belanda (Alfian, 1987 ; 1995 ; Amiruddin, 1994).


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tahun wafat Beliau.


Seperti halnya Syaikh Muhammad Syafi’i, Beliau adalah seorang tokoh ulama sufi yang hidup pada abad ke-19. Makam Syaikhuna Muhammad Syafi’i atau biasa disebut dengan lakap Teungku Syik  Paya Asan terletak di Gampong Mesjid Geuleudieng, Kecamatan Padang Tiji, Kabupaten Pidie, kira-kira berjarak 15 km dari pasar Padang Tiji ke arah Kunyet. makam terletak di atas bukit dengan akses jalan licin dan sedikit menanjak, sekeliling makam juga terdapat makam lainnya salah satunya makam Teungku Manyang atau yang lebih dikenal oleh  masyarakat daerah tersebut sebagai pengawal Teungku Syik Paya Asan.


Makam Teungku Syik Paya Asan tertutup oleh sebuah cungkup yang berbentuk rumah di penuhi ukiran dan kaligrafi. Perkiraan beliau wafat pada tahun 1298 H / 1881 M seperti yang disebut pada kaligrafi di atas pintu masuk makam beliau “Qad Wafa Syaikhuna Wa…Wa Imamuna Syaikh Muhammad Syafi’i….sanah 1298 H”.


Selain itu, sudut belakang makam pada tulisan kaligrafi menjelaskan “Abdullah Sayyid Hadharat Muhammad Saman Abdul Kabir….. Syatariah Talqin”, belum jelas apa yang di maksud dari tulisan tersebut. Namun bisa disimpulkan  bahwa beliau pengikut dari tarikat “Syatariah”. Tarekat Syattariyah adalah aliran tarekat yang pertama kali muncul di India pada abad ke-15. Tarekat ini dinisbahkan kepada tokoh yang memopulerkan dan berjasa mengembangkannya, Abdullah Asy-Syattar.


Tak seperti penyebaran tarekat lainnya yang dilakukan seorang mustyid (guru), dari masjid ke masjid, dan majelis taklim ke majelis taklim, penyebaran Tarekat Syattariyah justru menyebar ke berbagai pelosok nusantara melalui jalur atas, kalangan masyarakat elite, yakni istana.


Foto : Tulisan kaligrafi pada cungkup makam Syaikh Muhammad Syafi'i yang menjelaskan tentang tarikat "Syatariah".


Tarekat Syattariyah di Indonesia dibawa oleh Syekh Abdurrauf Singkili ulama asal Aceh. Keilmuan dan ketokohannya membuat Ratu Shafiyyatu Ad-Din, yang memerintah Kesultanan Aceh kala itu tahun 1641-1675 tertarik untuk mendapatkan pelajaran agama dari Syekh Abdurrauf Singkili. Ratu ini pun memintanya untuk menuliskan sebuah buku yang menjelaskan tentang tarekat Syattariyah, lalu Syekh Abdurrauf Singkili  menulis buku dengan judul At-Tariqatu Asy-Syattariyyah.


Sang Ratu juga meminta kepada Syekh Abdurrauf agar membimbingnya dalam menjalankan disiplin tasawuf, permohonan itu lantas ia sanggupi setelah terlebih dahulu Syekh Abdurrauf melakukan shalat istikharah  agar memperoleh petunjuk dari Yang Mahakuasa. Keterlibatan Ratu Shafiyatu ad-Din dalam aktivitas Tarekat Syattariyah akhirnya memperkuat kedudukan ajaran tarekat itu dalam istana.


Sebagaimana dicatat oleh Ahmad Syafii Mufid dalam bukunya Tangklukan, Abangan, dan Tarekat, Tarekat Syattariyah masuk ke Nusantara pada 1665 M. Diterimanya tarekat ini oleh masyarakat Aceh, tidak lama setelah Kesultanan Aceh menolak ajaran Hamzah Fansuri dan muridnya, Syamsudin Sumatrani, dengan paham wujudiyah, yang mengajarkan konsep wihdatul wujud (penyatuan jiwa dengan Tuhan).(an)



Baca Juga:



EmoticonEmoticon