9/05/2022

Teungku Syik Pante Geulima Panglima Dari Dayah

Foto : Dayah Tua peninggalan Tgk Syik Pante Geulima di Gampong Meunasah Lhok, Kec Meureudu, Kab Pidie Jaya.


Pasang surut semangat para pejuang Aceh mencuat menghadapi perang besar yang berkepanjangan dengan Belanda sejak 26 Maret 1873-1904. Seakan-akan Belanda sudah di ambang kemenangan, namun pertempuran masih terus berlangsung hingga tahun 1914. Hal ini menjadi perhatian para ulama Aceh, salah satunya ulama besar Teungku Chik Pante Geulima.


Syaikh Ismail atau yang lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik Pante Geulima adalah tokoh panglima perang sekaligus sastrawan, beliau lahir di Gampong Blang Meureudu pada 1254 H / 1839 M. Anak dari Teungku Chik Pante Ya`kub, pendiri Pusat Pendidikan Islam "Dayah Tinggi Pante Geulima Meureudu bersama Teungku Chik Haji Nyak Ngat pada 1801 M". Menurut Prof. Ali Hasjmy, jika ditelusuri garis keturunannya ternyata bermuara kepada Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke-10 yaitu Sultan Sayyidil Mukamil.


Silsilahnya adalah sebagai berikut: Teungku Syaikh Ismail bin Teungku Chik Pante Yak'ub bin Teungku di Bale Abdurrahman bin Teungku Muhammad Said bin Teungku Darah Puteh bin Teungku Tok Setia bin Teungku Yakub bin Meurah Puteh bin Meurah Abdullah bin Sayyiddil Mukammil. Sultan Sayyidil Mukamil (1589-1604) adalah kakek Sultan Iskandar Muda (April 1607 M-27 Desember 1636 M).


Adapun riwayat pendidikan Teungku Chik Pante Geulima sama seperti anak-anak umumnya , belajar mengenai ilmu agama. Walaupun ia putra kandung dari Teungku Chik Pante Ya'kub, namun Teungku Ismail bin Ya'kub harus belajar terlebih dahulu pada Teungku di Rangkang yang merupakan tangan kanan ayahnya. Setelah mendapat pengetahuan dasar tentang Islam dan bahasa Arab, barulah ia belajar pada ayahnya. Nah dari beliau inilah mempelajari lebih mendalam ilmu agama sehingga amat menguasai bahasa Arab dan pegetahuan Islam lainnya, seperti fiqih, tauhid, ilmu kalam, tafsir, hadits, filsafat, tasawuf dan tarikh.


Menurut Alm. Teungku Hasan Sufi, Teungku Chik Pante Geulima belajar hingga ke Geulumpang Minyeuk dan Dayah Tanoh Abee. Selain belajar, beliau juga turut mengajar di kedua dayah tersebut. Tak sampai hanya di situ, pendidikan militer pun digelutinya pada pusat Pendidikan Laskar Aceh Makhad Baitul Makdis.


Teungku Ismail termasuk murid yang cerdas sehingga dipercaya mengajar dan menjadi salah seorang asisten Syaikh di Masjidil Haram. Setelah mendapat gelar Syaikh pada tahun 1863, Teungku Ismail kembali ke kampung halamannya. Kepulangannya membawa berkah kepada Dayah Pante Geulima karena pada saat itu dayah ini membutuhkan seorang pimpinan. Teungku Syaikh Haji Ismail akhirnya diangkat menjadi Teungku Chik di dayah tersebut. Nah dibawah kepemimpinannya Dayah Pante Geulima mengalami kemajuan yang cukup pesat. Para santri tidak hanya datang dari Aceh tetapi juga berasal dari berbagai daerah di Nusantara, seperti Minangkabau, Deli Serdang, Siak lndrapura, Semenanjung Melayu, Patani, dan sebagainya.


Lingkungan Dayah yang damai dan tenteram berubah dalam sekejab setelah Belanda memberikan ultimatum terhadap Kesultanan Aceh Darussalam pada 26 Maret 1873 untuk menyerah. Ultimatum itu ditolak oleh sultan dengan tekad mempertahankan kedaulatan Aceh sampai akhir hayat. Tekad dari sultan tersebut disambut seluruh lapisan masyarakat, termasuk Teungku Chik Pante Geulima.


Ancaman penyerangan terhadap Kesultanan Aceh Darussalam dibuktikan dengan mendaratkan pasukan Belanda di Pante Ceuremen, Banda Aceh. Pertempuran dahsyat yang tidak bisa dihindari lagi. Pada agresi pertama ini pasukan Belanda dipimpin Jenderal Johan Harmen Rudolf Kohler merupakan Agresi pertama Belanda terhadap Kesultanan Aceh harus dibayar mahal oleh Belanda. Pimpinan perang Belanda Kohler tewas tertembak di depan Mesjid Raya Baiturrahman.


Selama berangkat ke medan perang, Teungku Chik Pante Geulima menyerahkan kepemimpinan dayah di bawah kendali dewan ulama, di antara para dewan tersebut adalah Teungku Haji Muhammad Ali di Bukit, Teungku Chik di Bayi Pasi, Teungku Hasballah Meunasah Kumbang, Teungku Lhok Euncin dan Teungki Cik Payabakong.


Pertengahan 1873 Teungku Chik Pante Geulima dilantik menjadi panglima perang, mempersiapkan pasukannnya yang akan dibawa ke Banda Aceh. Teungku Chik Pante Geulima memperkirakan Belanda akan menyerang lagi pada agresi militer Belanda kedua, beliau beserta pasukannya membangun sebuah Kuta Reuntang dengan tujuh kubu yang saling menyambung di daerah Krueng Daroy. Teungku Chik Pante Geulima bermarkas di Kuta Bu, pada saat Belanda memasuki dan merebut dalam (istana). Pasukan Aceh akhirnya menyingkir dari dalam dan meninggalkan Banda Aceh Pada 1876, Teungku Chik Pante Geulima kembali ke Meureudu.


Pada 1877 beliau mendapat mandat dari Sultan ke Tanah Batak dan Karo untuk membantu Sisingamangaraja XII. Pasukan yang berjumlah 400 askar Aceh itu terdapat ulama, juru dakwah, dan ahli peperangan. "Misi Teungku Chik Pante Geulima di Tanah Batak dan Karo ada dua, yaitu pertama menganjurkan para pemimpin dan rakyat di kedua daerah itu untuk bertempur bersama Aceh melawan kolonialis Belanda, dan kedua melaksanakan dakwah islamiyah," (Ali Hasjmy: Ulama Aceh, Mujahid Pejuang Kemerdekaan dan Pembangun Tamaddun Bangsa).

Kembali ke Dayah Pante Geulima, beliau ingin mengobarkan semangat juang rakyat Aceh yang mulai kendur dalam perang. Maka Teungku Chik Pante Geulima mengarang sebuah hikayat yang diberi nama Hikayat Maleem Dagang, hikayat ini selesai dikarang pada 1889 M.


Foto : Komplek Makam Tgk Syik Pante Geulima di Gampong Meurandeh Alue, Kec Bandar Dua, Kab Pidie Jaya


Pertempuran terakhir Teungku Chik Pante Geulima adalah mempertahankan benteng terkuat Kesultanan Aceh Darussalam yaitu Kuta Batee Iliek di Samalanga. Belanda memang ingin menguasai Aceh secara menyeluruh termasuk Benteng Batee Iliek yang merupakan benteng terakhir Kesultanan Aceh Darussalam. Usaha Belanda merebut ini mengalami kegagalan hingga tiga kali, namun pihak Belanda sama sekali tidak menyerah dan melakukan serangan lanjutan selama dua kali berturut-turut di bawah kepemimpinan Jenderal van Der Heijden pada 1878.


Jenderal van Der Heijden yang memimpin serangan secara langsung menderita luka-luka, matanya buta terkena pelor senjata pasukan Aceh yang melepaskan tembakan dari Benteng Batee Iliek. Kegagalan ini membuat Van Der Heijden dibangkupanjangkan Gubernur Jenderal Hindia Belanda. Tongkat kepemimpinan Belanda selanjutnya diserahkan kepada Jenderal J.B Van Heutsz yang telah diangkat menjadi Gubernur Militer atau Panglima Tentara Pendudukan di Aceh.


Pada penyerbuan yang ketiga Jenderal Van Heutsz gagal di tahun 1901. Barulah pada 3 Februari 1904 Jum'at sore, benteng terkuat di Aceh tersebut berhasil direbut Belanda. Teungku Chik Pante Geulima sebagai penglima perang syahid lalu dimakamkan di Gampong Meurandeh Alue, Bandar Dua, Pidie Jaya.(an)



Baca Juga:



EmoticonEmoticon