11/05/2021

Adat Meublang



Aceh sebagai masyarakat yang terkenal menjunjung tinggi budaya leluhur yang memiliki keberagaman adat dalam kehidupan sehari-hari. Walupun seiring berjalannya waktu masyarakat sudah mulai kurang memahami antara adat dengan sebuah kebiasaan semata (reusam). Bahkan ada yang menganggap adat sebagai mitos belaka, terutama bagi sebagian orang yang mengklaim dirinya telah berpikir maju.


Tetapi bagi sebagian masyarakat Aceh, adat tetaplah sebuah kearifan yang mesti dijaga, dilestarikan, dijalani, dan diterapkan dalam kehidupan sebagai bagian dari norma kehidupan. Karena itu, bagi yang melanggar maka akan dikenakan sanksi seperti yang telah disepakati oleh  masyarakat adat tersebut, tentu saja sanksi antar satu daerah dengan daerah lainnya berbeda. Namun, hukuman dari sebuah pelanggaran adat ialah “malu” merupakan sebuah keseragaman. Hal ini senada dengan hadih maja “meulangga hukôm raya akibat, meulangga adat malèe bak donya (‘melanggar hukum “syar’i” besar akibat, melanggar adat malu di dunia)”.


Adat meublang adalah salah satu adat yang dimiliki masyarakat Aceh. Sawah merupakan sesuatu yang sangat berarti bagi masyarakat Aceh, dimana masyarakat dapat menggantungkan hidup dalam mencari penghasilan melalui sawah. Dalam kehidupan orang Aceh bersawah memilik sejumlah ketentuan yang sudah berlaku secara turun temurun demi keberlangsungan kenyaman dan keamanan bercocok tanam. Salah satunya “hanjeut teumeubang watèe padé mirah”, yang mana maksudnya adalah tidak boleh memotong kayu saat padi hendak dipanen. Kalau ini dilanggar, dipercaya akan mendatangkan hama wereng (geusong). Demi menghindari sawah sekitar ikut terkena imbas hama wereng, bagi si pelanggar ketentuan itu dikenakan denda atau sanksi oleh keujruen blang.


Larangan “ceumeucah lam ujeuen tunjai”, yaitu membersihkan semak belukar dan “hanjeut ceumeucah watèe rôh padé” (padi akan berisi). Jika hal ini dilanggar dipercaya akan mendatangkan hama belalang (daruet) yang berakibat gagal panen. Masih saat “rôh padé”, juga dilarang membawa daun nipah secara terbuka (diketahui bahwa orang-orang tua di Aceh suka mengisap rokok linting yang terbuat dari daun nipah) atau akan terkena penyakit “putéh padé” sehingga padi di sawah tidak berisi.




Tata cara turun ke sawah dalam adat masyarakat Aceh disesuaikan dengan hadih maja yaitu “keunong siblah tabue jareueng, keunong sikureueng tabu beurata, keunong tujôh padé lam umong, keunong limong padé ka dara, keunong tiga padé ka rhôh, keunong satoh padé ka tuha” (kena sebelas tabur yang jarang, kena sembilan tabur yang rata, kena tujuh padi dalam sawah, kena lima padi sudah gadis, kena tiga padi sudah berisi, kena satu padi sudah tua).


Cara bertanam atau turun ke sawah berdasarkan konsep keuneunong (menentukan keadaan Alam dan waktu untuk musim tanam, dan waktu untuk panen) ini sudah lama berlangsung di Aceh. Penghitungan keuneunong digunakan dengan cara menggunakan angka 25 sebagai angka utama, lalu dikurangi dengan angka bulan Masehi dan dikali dua.


Misalnya, bulan Oktober, keuneunong yang cocok adalah 5, yaitu berdasarkan 25 – [10 x 2] sama dengan 25 – 20 dan hasilnya adalah 5 (lima).


Setelah melihat keuneunong yang juga dicocokkan dengan peredaran bintang, dilakukan musyawarah desa (duek pakat gampông), yang biasanya dilakukan oleh gampông, mukim, keujruen blang, demi mencocokkan dengan penghitungan yang sudah dilakukan oleh keujruen chik. Setelah kesepakatan dicapai, diumumkanlah kepada masyarakat saat yang tepat untuk turun ke sawah. Demikian arifnya adat meublang di gampông-gampông yang ada di Aceh secara umum. Terkait hasil panen pun memiliki aturan-aturan tersendiri. Jikapun terjadi sengketa, selalu diselesaikan secara adat dengan musyawarah-musyawarah gampông. Maka, keamanan dan ketenteraman dalam gampông tak lagi diragukan.


Tingginya nilai-nilai adat dalam masyarakat Aceh tercermin pula dalam bercocok tanam yang dimulai sejak pembukaan lahan. Dalam hal ini, ada lembaga atau instansi adat yang berwenang yakni keujruen blang yang di bawahnya terdapat keujruen syik dan keujruen muda.


Menurut qanun nomor 10 tahun 2008 pasal 32, keujruen blang  dipilih oleh masyarakat dalam mukim atau gampong tersebut, seorang keujruen blang  mempunyai tugas:


Keujruen Blang atau nama lain mempunyai tugas:


a. menentukan dan mengkoordinasikan tata cara turun ke sawah;

b. mengatur pembagian air ke sawah petani;

c. membantu pemerintah dalam bidang pertanian;

d. mengkoordinasikan khanduri atau upacara lainnya yang berkaitan dengan adat

dalam usaha pertanian sawah;

e. memberi teguran atau sanksi kepada petani yang melanggar aturan-aturan adat

meugoe (bersawah) atau tidak melaksanakan kewajiban lain dalam sistem

pelaksanaan pertanian sawah secara adat; dan

f. menyelesaikan sengketa antar petani yang berkaitan dengan pelaksanaan usaha

pertanian sawah.(an)


Sumber : 

Keujruen Mukim Andeu, Kec Mila

Qanun Aceh nomor 10 tahun 2008 tentang Lembaga Adat



Baca Juga:



EmoticonEmoticon