6/06/2021

Menelusuri Sejarah Krueng Tuha Reubee

 

Foto : Irigasi Krueng Tuha Reube di Gampong Neulop, Kec Delima, Kab Pidie

Air merupakan sumber kehidupan bagi setiap makhluk yang berada diberbagai belahan dunia. Tanpa adanya air, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan akan mati. Dengan kata lain, air yang turun dari langit dan yang keluar dari bumi menjadi sumber kebutuhan utama untuk proses agar setiap makhluk dapat melangsungkan kehidupannya. Firman Allah dalam surah Ibrahim ayat 32:


Allah-lah yang telah menciptakan langit dan bumi dan menurunkan air hujan dari langit, kemudian Dia mengeluarkan dengan air hujan itu berbagai buah-buahan menjadi rezeki untukmu; dan Dia telah menundukkan bahtera bagimu supaya bahtera itu, berlayar di lautan dengan kehendak-Nya, dan Dia telah menundukkan (pula) bagimu sungai-sungai


Di sisi lain, manusia juga memanfaatkan air untuk meningkatkan taraf ekonomi. Contohnya bagi masyarakat Aceh yang berprofesi sebagai petani, wabil khusus bagi masyarakat Reubee, Kabupaten Pidie. Masyarakat disana sangat bergantung pada ketersediaan air, para petani memanfaatkan sumber air dari krueng (sungai) untuk dialiri ke sawah. Jika air tersedia maka hasil panen akan melimpah, begitupun sebaliknya jika ketersediaan air tidak mencukupi maka hasilnya akan rendah bahkan terancam gagal panen.


Bagi masyarakat Reubee, krueng Teungku Syik menjadi akses penting untuk mengairi persawahan para petani. Krueng ini menjadi simbol kebanggan dan kewibawaan bagi masyarakat setempat, karena krueng Teungku Syik menyimpan sejarah panjang.


Asal - usul Krueng Tuha Reubee


Ada dua versi sumber terkait asal-usul krueng tuha Reubee. Pertama, menurut cerita rakyat, krueng tuha berawal dari kisah khalwah (mengasingkan diri) Daeng Mansyur atau masyhur namanya dengan laqab Teungku Syik di Reubee, dia adalah salah satu ulama besar Pidie kala itu. Mengasingkan diri dari keramaian telah menjadi tradisi spiritual dalam dunia Islam, kegiatan yang dilakukan selama pengasingan diantaranya bezikir, berdoa, dan melakukan ibadah-ibadah lain, tujuannya untuk bertaqarrub (mendekatkan diri) kepada Ilahi, sebagaimana sering dilakukan oleh baginda Rasulullah di gua Hira.


Setelah beberapa lama mengasingkan diri, Teungku Syik ingin kembali Reubee. Setelah sampai di Keumala, ia beristirahat sejenak sembari melihat air jernih nan dingin yang bersumber dari pegunungan, timbul hasrat dalam benak ulama ini agar air di Keumala juga dapat dinikmati oleh masyarakat yang berada dikampungnya. Singkat cerita ia bermunajah kehadirat Allah, lalu diseretlah tongkatnya ke tanah hingga sampai ke kampung tempat asal ulama bermukim. Berkat qaramah yang dimiliki akhirnya terbentuklah aliran air dari seretan tongkat. Aliran ini kemudian dikenal sebagai krueng Teungku Syik di Reubee atau sebagian orang menyebutnya krueng tuha Reubee.


Foto : Aliran krueng tuha reubee di belakang pasar Reube, Gampong Neulop, Kec Delima, Kab Pidie

Versi di atas sarat unsur mistis, jika ditelaah dengan kondisi masa moderen sekarang tentu tidak akan mampu diterima oleh akal pikiran, tapi begitulah cerita yang berkembang dalam kehidupan sosial masyarakat di Pidie. Dipercaya atau tidak kembali pada setiap individu.


Kedua, asal usul krueng tuha Reubee bermula pada masa perkasa alam Iskandar Muda meudagang ke Pidie pada Tgk Syik di Reubee. Istilah meudagang sering disematkan pada orang atau kelompok yang menetap di dayah (pesantren) untuk mengkaji ilmu agama. 


Dalam tahapan belajar, perkasa alam dikenal sebagai murid yang pandai, mampu menguasai dan menganalisa surah (penjelasan) kitab dari Tgk Syik. Sehingga terpadulah kasih sayang yang harmonis antara guru dan murid, bahkan dia menjadi murid kesayangan ulama karismatik yang bermukim di Reubee ini. Tidak hanya dengan guru, perkasa alam juga pandai berinteraksi dengan murid-murid seangkatan dengannya, budi baik membuat dia disenangi oleh banyak orang.


Setelah beberapa lama di Reubee, Perkasa Alam Iskandar Muda mampu membentuk iklim komunikatif dengan berbagai elemen masyarakat Pidie, terutama para pemuda yang berhasil membentuk front khusus sebagai wadah persatuan. Keberhasilan menghimpun kekuatan ini dimanfaatkan untuk gerakan pembangunan, saban hari Perkasa Alam dan masyarakat “blusukan” ke berbagai perkampungan di Pidie untuk melihat potensi yang ada. Salah satu potensi yang sangat menjanjikan adalah pertanian di Reubee, namun para petani memiliki keterbatasan stok air sehingga menjadi permasalahan pertanian. Maka setelah meminta pendapat Teungku Syik dan melakukan musyawarah dengan stakeholder, akhirnya Perkasa Alam memberi titah untuk membuat mega proyek berupa pembuatan aliran air yang bersumber dari Keumala untuk mengairi persawahan masyarakat Reubee dan sekitarnya. Sumber versi kedua nampaknya lebih logis, dan di dukung oleh literatur sejarawan-sejarawan melayu, seperti H.M Zainuddin dalam karyanya singa Aceh.


Kondisi Saat Ini


Beberapa hari yang lalu, penulis mewawancarai beberapa masyarakat Reubee serta melakukan observasi. Dari hasil temuan di lapangan, penulis melihat bahwa krueng tuha tampak seperti tidak terurus, sudah dangkal, bahkan ditumbuhi tanaman liar di sepanjang aliran sungai. kondisi semacam ini membuat aliran tersebut tidak maksimal fungsinya.


Menurut keterangan salah seorang warga Reubee, terakhir dilakukan normalisasi krueng tuha  diawal masa jabatan Roni Ahmad-Fadhlullah T.M Daud, kegiatan tersebut di prakarsai oleh kawoem abusyik dan dibantu oleh masyakat setempat. Namun setelah itu tidak ada lagi ada kegiatan normalisasi krueng tuha Reubee.


Sebagai bentuk tanggung jawab terhadap sejarah di wilayah tempat Sultan Iskandar Muda menuntut ilmu pengetahuan, maka sangat diharapkan aksi pemerintah Kabupaten Pidie serta segenap masyarakat Reubee agar menjaga aset sejarah yang ada. Bagi pemerintah kiranya dapat mengalokasi anggaran khusus dan berkelanjutan untuk kegiatan normalisasi krueng Teungku Syik yang sangat bersejarah. Selain krueng tuha, masih banyak sekali cagar budaya atau situs-situs purbakala yang masih terabaikan dan luput dari perhatian pemerintah Kabupeten Pidie.


Perlu keseriusan pemerintah dalam penanganan hal ini,  penyelamatan aset sejarah  penting dilakukan agar dapat digunakan sebagai bahan edukasi, membuka ruang pengkajian dan penelitian akademik untuk referensi keilmuan bagi kita dan generasi berikutnya. Jangan sampai generasi dimasa yang akan datang hanya mendengar sejarah saja tapi tidak ditemukan lagi bukti konkritnya.


Untuk meringankan beban pemerintah, maka perlu bekerjasama dengan lintas komunitas dan organisasi, penulis yakin para pemuda di Pidie mau dan mampu menjadi mitra bagi pemerintah untuk penanganan masalah pelestarian sejarah. Apalagi pemerintah periode ini mengusung jargon“Pidie meusigrak” artinya bersama-sama untuk bangkit, maka untuk itu mengelola ide dan kekuatan masyarakat Pidie terutama para pemuda untuk mesin pembangunan merupakan keinginan bersama, agar Pidie menjadi Kabupaten yang lebih bermartabat di masa yang akan datang.(ay)





Baca Juga:



EmoticonEmoticon