Postingan

Rekam Jejak Belanda di Pidie

Gambar
Foto : Pintu masuk komplek kuburan Belanda di Banda Aceh Perang Aceh-Belanda menjadi catatan sejarah yang terus melekat dalam ingatan generasi anak bangsa, betapa tidak, peristiwa ini memberikan dampak hebat terhadap mundurnya sebuah peradaban. Genderang perang ditabuhkan sejak tahun 1873-1915, tidak ingin harga diri bangsa dilecehkan melalui praktik kolonialisme Belanda sehingga para pejuang melakukan jihad fisabilillah untuk mengusir kafir menguasai Tanah Air. Perang begitu panjang mengakibatkan banyak korban di kedua belah pihak, baik korban nyawa maupun harta. Dalam literatur Sejarah disebutkan bahwa kedatangan Belanda pertama kali ke Aceh untuk misi perdagangan, melihat posisi Aceh sangat  strategis secara geografis, memiliki pelabuhan-pelabuhan besar, ditambah hasil alam yang melimpah ruah terutama rempah-rempah, sehingga kondisi ini menimbulkan hasrat bagi Belanda untuk menguasai Aceh. Para penjajah seperti Portugis, Inggris, Perancis, dan Belanda memang bersaing kuat agar dapat

Kupiah Meukeutop, Topi Aceh yang Mulai Membumi

Gambar
Kabupaten Pidie terletak diantara 04,30° sampai dengan 04,60° garis lintang utara dan 95° sampai 96,20° garis bujur timur, dengan batas sebelah Utara berbatas dengan Selat Malaka, sebelah Selatan berbatas dengan kabupaten Aceh Barat, sebelah Barat berbatas dengan Kabupaten Aceh Besar, dan sebelah Timur berbatas dengan kabupaten Pidie Jaya. Luas kabupaten menurut monografis 3.562,14 km2 yang dibagi ke dalam 23 kecamatan, 94 kemukiman dan 732 desa atau gampong dengan penduduk 378.278 jiwa (Aceh dalam Angka : 2010). Masyarakat Aceh pada umumnya telah lama mengenal dan menggunakan penutup kepala atau topi, baik untuk pakaian sehari-hari maupun upacara adat. Penutup kepala laki-laki dalam bahasa Aceh telah dikenal sejak dahulu berupa kupiah meukeutop , sejenis kupiah yang biasanya dipakai para santri di pesantren dan orang yang beribadah haji.  Pada masa kerajaan Aceh pada umumnya lelaki Aceh memakai kupiah meukeutop , seorang bangsawan menggunakan kupiah dengan ukuran yang lebih tinggi dib

Panglima Perang Dari Negeri Meureudu

Gambar
Foto : Makam Panglima Malem Dagang di Gampong Meunasah Kumbang, Kecamatan Ulim, Kabupaten Pidie Jaya. Kerajaan Sahe atau Sanghela yang berada di Kawasan Ule Gle dan Meureudu, untuk mengetahui keberadaan para pendiri dan penduduk kerajaan Sahe/Sanghela tersebut, informasi dari asal-usul kerajaan Poli/Pedir di Kabupaten Pidie sekarang mungkin bisa membantu, karena keberadaan negeri Meureudu dan negeri Pedir keduanya tidak bisa dipisahkan. Pada masa kesultanan Aceh Darussalam negeri Meureudu telah bergabung dan menjadi negeri yang bebas pajak hal itu karena kenegerian Meureudu menjadi lumbung padi bagi wilayah kesultanan Aceh. Kunjungan Sultan Iskandar Muda ke negeri Meureudu dalam sebuah hikayat Malem Dagang yang ditulis oleh Teungku Chik Pante Geulima, ulama besar negeri Meureudu. Hikayat itu mengisahkan sejarah penyerangan Sultan Iskandar Muda ke tanah Semenanjung Melayu (Malaysia). Menurut H.M. Zainuddin dalam tulisannya “ Aceh dalam Inskripsi dan Lintasan Sejarah ”. Sebelum Islam mas

Teungku Syik Pante Geulima Panglima Dari Dayah

Gambar
Foto : Dayah Tua peninggalan Tgk Syik Pante Geulima di Gampong Meunasah Lhok, Kec Meureudu, Kab Pidie Jaya. Pasang surut semangat para pejuang Aceh mencuat menghadapi perang besar yang berkepanjangan dengan Belanda sejak 26 Maret 1873-1904. Seakan-akan Belanda sudah di ambang kemenangan, namun pertempuran masih terus berlangsung hingga tahun 1914. Hal ini menjadi perhatian para ulama Aceh, salah satunya ulama besar Teungku Chik Pante Geulima. Syaikh Ismail atau yang lebih dikenal dengan lakab Teungku Chik Pante Geulima adalah tokoh panglima perang sekaligus sastrawan, beliau lahir di Gampong Blang Meureudu pada 1254 H / 1839 M. Anak dari Teungku Chik Pante Ya`kub, pendiri Pusat Pendidikan Islam "Dayah Tinggi Pante Geulima Meureudu bersama Teungku Chik Haji Nyak Ngat pada 1801 M". Menurut Prof. Ali Hasjmy, jika ditelusuri garis keturunannya ternyata bermuara kepada Sultan Kerajaan Aceh Darussalam yang ke-10 yaitu Sultan Sayyidil Mukamil. Silsilahnya adalah sebagai berikut: Teu

Teungku Syik di Coeh, Ulama Aceh Keturunan Gujarat

Gambar
Foto : Makam  Syaikh Muhammad Sultan Shahib atau lebih dikenal dengan sebutan lakab Teungku Syik di Coeh, Gampong Pulo Gajah Mate, Mukim Gigieng, Kecamatan Simpang Tiga, Kabupaten Pidie. Ketika Islam melakukan eksvansi Eropah dan Asia, sebagian besar pedagang-pedagang Arab, Persia, Turkistan, Gujarat/India dan Cina melakukan pelayaran laut terutama melalui Samudra Hindia dan Selat Malaka sejak abad ke-9 sampai 14 Masehi. Mereka giat melakukan perdagangan, serta aktif memperkenalkan agama dan kebudayaan Islam pada penduduk setempat. Di antara wilayah-wilayah yang mereka lewati menjadi pusat transaksi barang-barang dan kegiatan Islam, diantaranya Kuala Gigieng/Lheue, Nyong, Meureudu, Samalanga sampai Samudra Pasai pada abad ke-14 Masehi (Zainuddin (1961: 19).  Berdasarkan rute-rute yang dilewati oleh pedagang atau saudagar Arab, Gujarat dan Canton/Cina di kawasan Selat Malaka, telah ada orang-orang Islam di pesisir pantai dan berdomisili di mana mereka tinggal dewasa itu. Hal ini dapat d

Melihat Adat Meugoe di Pidie

Gambar
Foto : Proses seumula (tanam padi) yang dilakukan oleh para petani wanita. Masyarakat Pidie saat ini dipastikan sedang sibuk-sibuknya menghadapi musim seumula (bercocok tanam padi). Pemandangan nan indahpun terlihat mengasikkan mata bila kita memasuki pelosok Pidie, di mana orang-orang terlihat berkelompok berjejeran sedang dalam keasikannya beut bijeh dan pula padee . Pidie dan meublang atau meugoe memang tidak dapat dipisahkan. Hal ini karena sebahagian besar masyarakat Pidie memiliki kesibukan dan kehidupan ekonominya pada sektor tersebut. Bahkan, pada logo Pidie tersemat slogan “ Pangulee buet ibadat, Pang ulee hareukat meugoe ”. Ini mengartikan dalam aktivitas kehidupannya, orang Pidie sangat mengutamakan ibadah dan bertani sebagai sebaik-baik perbuatan dan sebaik-baik mata pencaharian. Oleh karena demikian, tak mengherankan, bila saat musim turun sawah tiba, khususnya ketika tiba waktu bercocok tanam padi, maka pasar-pasar di Pidie yang pada hari-hari biasanya ramai menjadi m

Syaikh Muhammad bin Syaikh Khatib Al-Langien Asyi

Gambar
Foto : Makam Syaikh Muhammad bin Syaikh Khatib Al-Langien Asyi di Gampong Dayah Langien, Mukim Langien, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. Syeikh Muhammad bin Khatib Al-Langien atau yang lebih di kenal dengan nama Teungku Ahmad Khatib Langien merupakan salah satu tokoh ulama kharismatik Aceh. Beliau juga seorang murid dari Syeikh Muhammad Ali. Sejarah mencatat bahwa Muhammad Ali adalah murid Syeikh Muhammad As’ad yang menerima tarekat syatariah dari beliau. Tariqat ini merupakan tareqat yang sudah lazim di temukan di pantai timur yang sangatlah besar pengaruhnya, beberapa penganut tarekat ini masih di jumpai hingga saat ini. Teungku Ahmad Khatib Langien juga seorang pengarang kitab yang handal. Salah satu karya beliau yang masih di baca sampai sekarang dan sudah tersebar di tingkat Asia tenggara  adalah “Dawaul Qulub”, yang diselesaikan pada tahun jiim, hari sabtu bulan Rabiul Akhir, atau sekitar tahun 1237 H/1821 M, pada masa pemerintahan Sultan Husen Alaidin Jauhar Alam syah (1209-12