7/30/2017

Syekh Abdussalam (Tgk Syik di Waido)


 
 foto Masjid peninggalan Tgk Syik di Waido di Gampong Guci Reumpong

Aceh merupakan Provinsi yang berada paling barat Indonesia menyimpan berbagai sejarah ulama pada masa kejayaannya. Ulama di masa Kesultanan Aceh menjadi nafas dari kerajaan Aceh. Raja-raja Aceh pada masa itu mengangkat hakim dan penasehat Kerajaan dari kalangan ulama-ulama besar itu bisa kita lihat baik dari masa Kerajaan Samudra Pasai hingga terbentuknya Kerajaan aceh Darussalam.
Kabupaten Pidie sendiri dulunya adalah sebuah Kerajaan yang berkuasa dari pantai Batee hingga Ulim.. Kerajaan tersebut dikenal dengan nama Kerajan Pedir. Saat Raja Ali Mughayat Syah menyatukan Aceh dalam kerajaan Aceh Darussalam kerajaan Pedir masuk di dalamnya bahkan menurut sejarah Pidie saat itu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam berbagai hal yang menyangkut dengan kerajaan.

Dengan kata lain, hal ini menyebabkan terjadinya keterlibatan raja dan ulama saat proses pengambilan sebuah keputusan. Salah satu ulama yang sangat berpengaruh pada masa kesultanan Aceh adalah Syekh Abdussalam bin Syekh Burhanuddin atau yang lebih di kenal dengan Tgk Syik di Pasi. Beliau berdarah campuran kurdi dan turki  itu di karenakan ayah beliau berasal dari Turki. 

Tgk Chik di Pasi menghabiskan masa kecilnya di Waido. Kendati begitu perjalanan hidup beliau terjadi di beberapa tempat terutama di kawasan kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong. Beliau adalah seorang ulama besar pada masa kesultanan Aceh, sejak umur 15-35 tahun beliau bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan, seperti, kaligrafi, jurnalistk, seni sastra, tafsir al-quran dan hadist. Karya seni beliau bahkan sampai sekarang masih tersimpan dengan baik.

Setelah beliau kembali dari Mekkah banyak ilmu yang beliau pelajari disana dan beliau ajarkan kembali pada murid-muridnya. Salah satu murid beliau adalah Sultan Iskandar Muda yang pada saat itu belum menjadi raja.
  
Seperti penuturan Tgk Abdussalam yang merupakan keturunan dari Tgk Chik di Pasi mengatakan bahwa setelah Tgk Chik di Pasi kembali ke Aceh beliau sempat mengasingkan diri untuk memperdalam ilmu agama pada Tgk Syik di Gle Meulinteung Keumala. Saat beliau ingin kembali ke Waido beliau merasa gundah karena tidak tahu membawa bungoeng jaroe (Oleh-oleh) dari sana dan Gurunya pun memberikan sebuah tongkat untuk beliau bawa pulang. Singkat cerita tongkat inilah yang kemudian membelah tanah dan mengeluarkan air, dari sinilah asal muasal terbentuknya lhueng (Sungai kecil) yang orang waido menyebutnya Lhueng Bintang.

Beliau hidup di tengah masyarakat Waido yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Sudah menjadi tradisi dari masa lalu bahwa membajak sawah (Meugoe) dilakukan menggunakan tenaga lembu atau kerbau, begitu juga meugoe yang dilakukan oleh Tgk Chik di pasi.

Seperti yang di terangkan oleh Tgk Abdussalam, setiap hari tgk Chik pergi ke sawah terlambat dibandingkan  petani yang lain bahkan sudah menjadi kebiasaan beliau ketika orang bertanya “mengapa Tgk selalu terlambat ke sawah?”. Beliau menjawab “lembu saya terlambat bangun tidur dan saya tidak mau mengganggu tidurnya”. Demikian jawaban Tgk Chik. Akibatnya beliau tertinggal dari petani lain yang sawahnya sudah siap ditanami padi sedangkan beliau belum ditanami padi. Kendati demikian sawah yang duluan padinya di Tanami adalah sawah Tgk Chik. Hasil padi beliau pun lebih melimpah dibandigkan dengan petani lain. 
 
Ada satu cerita dalam masyarakat Waido yang di ceritakan secara turun temurun. Pada suatu hari ketika Tgk Chik pulang menuju Waido, beliau singgah sebentar di kawasan Gampong (Desa) Paleu dalam kawasan Simpang Tiga karena merasa kehausan beliau meminta seteguk air tebu yang sedang diperas dengan menggunakan alat peras tradisional atau orang aceh menyebutnya weng teubee (alat peras tebu) yang di tarik oleh kerbau. Tgk Chik menghampiri orang tersebut dan meminta sedikit air tebu yang diperasnya. Orang tersebut tidak mau memberikanya dengan alasan air tebunya mau di masak untuk manisan bukan untuk di minum.
 
Setelah mendengar jawaban tersebut Tgk Chik bergegas pulang menuju gampong Waido. Dalam perjalanan pulang tanpa sengaja beliau menoleh kebelakang terlihat weng teubee tadi mengikutinya tanpa di tarik oleh kerbau. Beliau lalu berhenti dan berujar kepada weng teubee tersebut,”alahai meutuah bek lee ka seutoet loen “(wahai metuah jangan ikuti saya lagi). Setelah mengucapkan kata-kata tersebut weng teubee tadi berhenti dan Tgk Chik pun meneruskan perjalanan pulangnya. Weng teubee sekarang bisa kita lihat di kawasan antara gampong Waido dan gampong Blang tepatnya di dalam sawah.
 
Tgk syik di waido menurut warga merupakan orang teuleubeih (apa adanya) dalam kehidupan sehari-hari, makanya tidak heran sebelum beliau wafat pernah beliau mengatakan ingin makam beliau dimana tongkat yang beliau lemparkan jatuh. Itu dikarenakan pada suatu kisah semua warga Gampong dalam Kecamatan Simpang Tiga menginginkan jasad beliau di makamkan di Gampong mereka. Akhirnya tgk Chik waido memutuskan jalan tengah agar tidak terjadi perdebatan, tgk Chik lalu melemparkan tongkatnya dan beliau mengatakan ”dimana tongkat saya jatuh di situlah saya di makamkan”.
 
Beberapa waktu kemudian tidak di sebutan tahunnya beliaupun menghadap yang maha kuasa dan sesuai dengan wasiatnya beliau dimakamkan tepat dimana tongkat yang pernah beliau lempar jatuh  yaitu dalam kawasan Gampong ie Leubeu di Kecamatan Kembang Tanjong, di sanalah makam beliau berada sampai sekarang.
 
Saat terjadinya tsunami 2004 silam di Aceh, makam beliau yang terletak di bibir pantai pasi ie leubeu menurut penuturan warga tidak sedikitpun terkena dari air laut, bahkan ada yang mengatakan makam beliau terangkat hingga tidak terkena air bah sedikitpun padahal rumah penduduk yang berada sekitar makam beliau habis tersapu tsunami. 

Selain kisah yang di ceritakan oleh ahli waris beliau beberapa peninggalan Tgk Syeck abdussalam (Tgk chik di waido) bisa kita lihat sampai sekarang, seperti rumoh aceh, batu seuprok, seureumbek, dan muqaddam yang terdapat di gampong Waido. Sedangkan masjid lama, guci dan naskah khatib kuno serta tongkat beliau itu semua masih tersimpan dengan baik di masjid guci Reumpong Kecamatan Peukan Baro.

Itulah sepenggal kisah tentang ulama besar Syeck Abdussalam bin Syeck Burhanuddin yang hidup pada masa kesultanan Aceh Darussalam yang di perkirakan pada awal abad ke 16. Sudah sepatutnya pemerintah dan pastinya kita sebagai generasi penerus Bangsa Aceh merawat dan menjaga peninggalan dari para endatoe, serta mengambil pelajaran dari kehidupan beliau untuk kita jadikan sebagai pedoman dalam kehidupun sehari-hari.



 foto sedang mendengarkan cerita dari narasumber di Gampong Guci Reumpong


 foto papan informasi peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Guci Reumpong


 foto tongkat Peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Guci Reumpong


 foto mimbar di Gampong Guci Reumpong


 foto seuprok (batu sumpah) peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Waido


 foto tim Beulangongtanoh,di Gampong Waido


 foto Makam Tgk Syik di Waido,di Gampong Ie Leubeu Kembang Tanjong


 foto anak-anak dan Tgk di depan Makam Tgk Syik di Waido,di Gampong Ie Leubeu


 
 foto rumoh Aceh peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Waido


 
foto seureumbek (Quran tulis tangan) peninggalan Tgk Syik Waido,di Gampong Waido


                           foto Seureumbek yang sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam,di Gampong Waido




foto Seureumbek,di Gampong Waido 




Baca Juga:


1 komentar

Le versi sejarah tgk syim dipasi


EmoticonEmoticon