foto Masjid peninggalan Tgk Syik di Waido di Gampong Guci Reumpong
Aceh merupakan Provinsi yang
berada paling barat Indonesia menyimpan berbagai sejarah ulama pada masa
kejayaannya. Ulama di masa Kesultanan Aceh menjadi nafas dari kerajaan Aceh.
Raja-raja Aceh pada masa itu mengangkat hakim dan penasehat Kerajaan dari kalangan
ulama-ulama besar itu bisa kita lihat baik dari masa Kerajaan Samudra Pasai
hingga terbentuknya Kerajaan aceh Darussalam.
Kabupaten Pidie sendiri dulunya
adalah sebuah Kerajaan yang berkuasa dari pantai Batee hingga Ulim.. Kerajaan
tersebut dikenal dengan nama Kerajan Pedir. Saat Raja Ali Mughayat Syah
menyatukan Aceh dalam kerajaan Aceh Darussalam kerajaan Pedir masuk di dalamnya
bahkan menurut sejarah Pidie saat itu memiliki pengaruh yang sangat besar dalam
berbagai hal yang menyangkut dengan kerajaan.
Dengan kata lain, hal ini
menyebabkan terjadinya keterlibatan raja dan ulama saat proses pengambilan
sebuah keputusan. Salah satu ulama yang sangat berpengaruh pada masa kesultanan
Aceh adalah Syekh Abdussalam bin Syekh Burhanuddin atau yang lebih di kenal
dengan Tgk Syik di Pasi. Beliau berdarah campuran kurdi dan turki itu di karenakan ayah beliau berasal dari
Turki.
Tgk Chik di Pasi menghabiskan
masa kecilnya di Waido. Kendati begitu perjalanan hidup beliau terjadi di
beberapa tempat terutama di kawasan kecamatan Simpang Tiga dan Kembang Tanjong.
Beliau adalah seorang ulama besar pada masa kesultanan Aceh, sejak umur 15-35
tahun beliau bermukim di Mekkah untuk memperdalam ilmu pengetahuan, seperti,
kaligrafi, jurnalistk, seni sastra, tafsir al-quran dan hadist. Karya seni
beliau bahkan sampai sekarang masih tersimpan dengan baik.
Setelah beliau kembali dari
Mekkah banyak ilmu yang beliau pelajari disana dan beliau ajarkan kembali pada
murid-muridnya. Salah satu murid beliau adalah Sultan Iskandar Muda yang pada
saat itu belum menjadi raja.
Seperti penuturan Tgk Abdussalam
yang merupakan keturunan dari Tgk Chik di Pasi mengatakan bahwa setelah Tgk
Chik di Pasi kembali ke Aceh beliau sempat mengasingkan diri untuk memperdalam
ilmu agama pada Tgk Syik di Gle Meulinteung Keumala. Saat beliau ingin kembali
ke Waido beliau merasa gundah karena tidak tahu membawa bungoeng jaroe
(Oleh-oleh) dari sana dan Gurunya pun memberikan sebuah tongkat untuk beliau
bawa pulang. Singkat cerita tongkat inilah yang kemudian membelah tanah dan
mengeluarkan air, dari sinilah asal muasal terbentuknya lhueng (Sungai kecil)
yang orang waido menyebutnya Lhueng Bintang.
Beliau hidup di tengah masyarakat
Waido yang kebanyakan berprofesi sebagai petani. Sudah menjadi tradisi dari
masa lalu bahwa membajak sawah (Meugoe) dilakukan menggunakan tenaga lembu atau
kerbau, begitu juga meugoe yang dilakukan oleh Tgk Chik di pasi.
Seperti yang di terangkan oleh
Tgk Abdussalam, setiap hari tgk Chik pergi ke sawah terlambat dibandingkan petani yang lain bahkan sudah menjadi
kebiasaan beliau ketika orang bertanya “mengapa Tgk selalu terlambat ke
sawah?”. Beliau menjawab “lembu saya terlambat bangun tidur dan saya tidak mau
mengganggu tidurnya”. Demikian jawaban Tgk Chik. Akibatnya beliau tertinggal
dari petani lain yang sawahnya sudah siap ditanami padi sedangkan beliau belum
ditanami padi. Kendati demikian sawah yang duluan padinya di Tanami adalah
sawah Tgk Chik. Hasil padi beliau pun lebih melimpah dibandigkan dengan petani
lain.
Ada satu cerita dalam masyarakat
Waido yang di ceritakan secara turun temurun. Pada suatu hari ketika Tgk Chik
pulang menuju Waido, beliau singgah sebentar di kawasan Gampong (Desa) Paleu
dalam kawasan Simpang Tiga karena merasa kehausan beliau meminta seteguk air
tebu yang sedang diperas dengan menggunakan alat peras tradisional atau orang
aceh menyebutnya weng teubee (alat peras tebu) yang di tarik oleh kerbau. Tgk
Chik menghampiri orang tersebut dan meminta sedikit air tebu yang diperasnya.
Orang tersebut tidak mau memberikanya dengan alasan air tebunya mau di masak
untuk manisan bukan untuk di minum.
Setelah mendengar jawaban tersebut
Tgk Chik bergegas pulang menuju gampong Waido. Dalam perjalanan pulang tanpa
sengaja beliau menoleh kebelakang terlihat weng teubee tadi mengikutinya tanpa
di tarik oleh kerbau. Beliau lalu berhenti dan berujar kepada weng teubee
tersebut,”alahai meutuah bek lee ka seutoet loen “(wahai metuah jangan ikuti
saya lagi). Setelah mengucapkan kata-kata tersebut weng teubee tadi berhenti
dan Tgk Chik pun meneruskan perjalanan pulangnya. Weng teubee sekarang bisa
kita lihat di kawasan antara gampong Waido dan gampong Blang tepatnya di dalam
sawah.
Tgk syik di waido menurut warga
merupakan orang teuleubeih (apa adanya) dalam kehidupan sehari-hari, makanya
tidak heran sebelum beliau wafat pernah beliau mengatakan ingin makam beliau
dimana tongkat yang beliau lemparkan jatuh. Itu dikarenakan pada suatu kisah
semua warga Gampong dalam Kecamatan Simpang Tiga menginginkan jasad beliau di
makamkan di Gampong mereka. Akhirnya tgk Chik waido memutuskan jalan tengah
agar tidak terjadi perdebatan, tgk Chik lalu melemparkan tongkatnya dan beliau
mengatakan ”dimana tongkat saya jatuh di situlah saya di makamkan”.
Beberapa waktu kemudian tidak di
sebutan tahunnya beliaupun menghadap yang maha kuasa dan sesuai dengan
wasiatnya beliau dimakamkan tepat dimana tongkat yang pernah beliau lempar
jatuh yaitu dalam kawasan Gampong ie
Leubeu di Kecamatan Kembang Tanjong, di sanalah makam beliau berada sampai
sekarang.
Saat terjadinya tsunami 2004
silam di Aceh, makam beliau yang terletak di bibir pantai pasi ie leubeu
menurut penuturan warga tidak sedikitpun terkena dari air laut, bahkan ada yang
mengatakan makam beliau terangkat hingga tidak terkena air bah sedikitpun
padahal rumah penduduk yang berada sekitar makam beliau habis tersapu tsunami.
Selain kisah yang di ceritakan
oleh ahli waris beliau beberapa peninggalan Tgk Syeck abdussalam (Tgk chik di
waido) bisa kita lihat sampai sekarang, seperti rumoh aceh, batu seuprok,
seureumbek, dan muqaddam yang terdapat di gampong Waido. Sedangkan masjid lama,
guci dan naskah khatib kuno serta tongkat beliau itu semua masih tersimpan
dengan baik di masjid guci Reumpong Kecamatan Peukan Baro.
Itulah sepenggal kisah tentang
ulama besar Syeck Abdussalam bin Syeck Burhanuddin yang hidup pada masa
kesultanan Aceh Darussalam yang di perkirakan pada awal abad ke 16. Sudah
sepatutnya pemerintah dan pastinya kita sebagai generasi penerus Bangsa Aceh
merawat dan menjaga peninggalan dari para endatoe, serta mengambil pelajaran
dari kehidupan beliau untuk kita jadikan sebagai pedoman dalam kehidupun
sehari-hari.
foto sedang mendengarkan cerita dari narasumber di Gampong Guci Reumpong
foto papan informasi peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Guci Reumpong
foto tongkat Peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Guci Reumpong
foto mimbar di Gampong Guci Reumpong
foto seuprok (batu sumpah) peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Waido
foto tim Beulangongtanoh,di Gampong Waido
foto Makam Tgk Syik di Waido,di Gampong Ie Leubeu Kembang Tanjong
foto anak-anak dan Tgk di depan Makam Tgk Syik di Waido,di Gampong Ie Leubeu
foto rumoh Aceh peninggalan Tgk Syik di Waido,di Gampong Waido
foto seureumbek (Quran tulis tangan) peninggalan Tgk Syik Waido,di Gampong Waido
foto Seureumbek,di Gampong Waido
1 komentar
Le versi sejarah tgk syim dipasi
EmoticonEmoticon