5/11/2018

Tgk Japakeh, Panglima Perang Sang Penakluk Sultan

 Foto: Makam Tgk Japakeh, di Gampong dayah Kruet, Kec Meurah Dua, Kab Pidie Jaya

Sebelum Kerajaan Aceh Darussalam terbentuk, awal mulanya hanyalah berupa kerajaan-kerajaan kecil di berbagai daerah, mulai dari pantai timur hingga pantai barat. Dari beberapa kerajaan yang muncul sebelum Kerajaan Aceh Darussalam, salah satu kerajaan yang ikut menjadi bagian dari Kerajaan Aceh Darussalam adalah Kerajaan Sanghela (Sahe).
Kerajaan Sanghale terdapat di kawasan Meureudu hingga Ulee Gle yang di bawa oleh bangsa Ceylon, bangsa melayu tua yang mendiami kawasan Asia Tenggara tepat di daeah Myanmar dan sekitarnya. Kerajaan Sanghela masuk dalam wilayah Kerajaan Pedir di bawah naungan Kerajaan Aceh Darussalam.

Pada masa Kesultanan Aceh Darussalam, Sultan-Sultan Aceh bekerja sama dengan kesultanan otonom Turki untuk memperkuat keamanan wilayah yang diganggu oleh bangsa Eropa. Jalinan kerjasama dengan Turki berhasil menutup lubang dalam berbagai hal terutama sektor peperangan. Turki membantu Aceh dengan mengirim meriam, kapal-kapal layar yang besar, para ahli-ahli perang hingga ahli pembuat senjatapun ikut serta. Dari banyak pasukan ini ada yang memilih menetap dan menikah dengan wanita Aceh.

Dengan menetapnya sebagian pasuan Turki di Aceh mengakibatkan lahirnya anak Aceh berdarah Turki. Salah satunya adalah Tgk Japakeh. Tgk Japakeh bernama asli Jalaluddin, ayahnya berasal dari Khoja, Turki. Tgk Japakeh merupakan seorang ulama dan diplomat yang handal pada masa Kesultanan Aceh Darussalam. Masyarakat Meureudu saat itu memanggil beliau dengan nama singkat yaitu Japakeh yang bermakna Tgk Jalaluddin dari Faqih.

Tgk Japakeh tinggal di pedalaman Meureudu tepatnya di Raweu, sebuah padang savana yang luasnya ribuan hektar. Setiap tahunnya binatang buas seisi rimba akan turun kesitu. Ketika Kesultanan Aceh Darussalam di perintah oleh Sultan Iskandar Muda (1607 M-1636 M) kawasan tersebut dijadikan sebagai kamp pelatihan militer dan Tgk Japakeh di angkat sebagai panglima.

Saat Kesultanan Aceh Darussalam ingin menyerang semenanjung malaka, Sultan Iskandar Muda melakukan perekrutan pasukan. Beliau berjalan ke kampong-kampung dengan para pasukannya untuk mengajak setiap para pemuda yang berada di wilayah yang diluinya untuk sama-sama menaklukkan semenanjung malaka. Setelah melalui perjalanan dari Bandar Atjeh, Aceh Besar, Pidie hingga ke Meureudu, pasukan Sultan Iskandar Muda beristirahat di Meureudu sambil menunggu Tgk Japakeh dan pasukannya dari Raweu.

Alkisah, sebelum Sultan Iskandar Muda sampai di Meureudu, Tgk Japakeh dan para pasukannya telah menunggu Sultan terlebih dahulu, akan tetapi karena pasukannya tak kunjung tiba Tgk Japakeh menyuruh pasukannya untuk kembali ke Raweu. Ketika  Sultan tiba di Meureudu tidak ada yang menyambutnya, akibatnya Sultan marah dan mengirim seorang pasukan untuk memanggil Tgk Japakeh di Raweu.

Setelah Tgk Japakeh kembali turun ke Meureudu untuk menemui Sultan beliau langsung meminta maaf, Sultan ketika itu marah besar. Karena Tgk Japakeh tidak terima Sultan marah, dengan suara yang lantang Tgk Japakeh menyuruh para pasukannya untuk kembali ke Raweu “kita kembali saja ke Raweu ,tidak perlu kita memuliakan orang yang tidak mau menerima hormat kita, Sultan yang ingkar janji datang tidak pada waktu yang dijanjikannya”. Mendengar suara Tgk Japakeh yang lantang dan bengis itu Sultan pun terdiam dan meminta maaf dan sadar akan kesalahannya.

Memang sejak dahulu para panglima dari Meureudu dikenal sebagai seorang yang memiliki karakter suaranya yang keras, matanya terbelak saat marah sehingga ada yang menyebutkan masyarakat Meureudu “mata hu su meutaga”. Yakni mata terbelak dan suara yang keras.

Setelah semua pasukan siap, Sultan mengadakan rapat besar bersama Uleebalang dan panglima besar dari negeri Pidie dan Meureudu. Dalam rapat tersebut yang hadir adalah tokoh-tokoh penting seperti Tgk Japakeh, Tgk Malem Dagang, dan Tgk Syik Pante Geulima dari negeri Meureudu.


Sementara dari Pidie yang hadir adalah Bentara Blang Ratna Wangsa, Meuntroe Adan, Bentara Keumangan, Bentara Seumasat Glumpang Payong dan Bentara Puteh Mukim VIII Sama Indra. Rapat yang dilakukan dengan tokoh-tokoh tersebut memutuskan bahwa semua masyarakat Pidie dan Meureudu mendukung peperangan dan menyetujui Tgk Malem Dagang sebagai panglima untuk memimpin penyerangan.

Setelah pulang dari Malaka Tgk Japakeh tidak kembali lagi ke blang Raweu, tetapi beliau menetap di Gampong Dayah Kruet, selama menetap di sana beliau membangun sebuah masjid yang sampai sekarang masih bisa kita jumpai, Tgk Japakeh wafat pada tahun 1651 M, dan dimakamkan di Gampong Dayah Kruet, Kec Meurah Dua, Kab Pidie Jaya.


 Foto: Masjid peninggalan Tgk Japakeh di Gampong Dayah Kruet, Pidie Jaya

Itulah sejarah singkat dari Tgk Japakeh, seorang ulama dan diplomat dari negeri Meureudu di masa Kesultanan Aceh Darussalam yang dipimpin oleh Sultan Iskandar Muda. Sudah selayaknya pemerintah Kabupaten Pidie Jaya untuk menjaga dan merawat makam beliau serta peninggalan-peninggalan dari Tgk Japekeh, sehingga generasi muda sekarang dapat mengetahui sejarah para leluhurnya.

 Foto: Makam Tgk Japakeh di Gampong Dayah Kruet, Pidie Jaya

Baca Juga:



EmoticonEmoticon