Muqaddam, Warisan Syaikh Abdussalam ( Tgk Syik di Waido)

Foto : kitab Muqaddam sedang di perlihatkan oleh Tgk Abdussalam kepada tim beulangong tanoh
Provinsi Aceh yang terletak di bagian paling Barat gugusan kepulauan Nusantara, menduduki posisi strategis sebagai pintu gerbang lalulintas perdagangan Internasional. Sejak berabad-abad lamanya Aceh sudah menjadi tujuan utama para pedagang Arab, India, Cina, Persia, dan negara lainnya. Persinggahan masyarakat dari lintas negara tidak hanya memberi dampak dari segi ekonomi, agama, pendidikan, lebih jauh dari itu telah berdampak pada segi budaya.
Masyarakat
Aceh dikenal heterogen, berbagai suku hidup secara berdampingan walaupun
berbeda bahasa, sosial bahkan budaya sekalipun. Namun, perbedaan tersebut
menjadi sebuah tolak ukur, bahwa masyarakat Aceh sudah terbentuk sebagai civil
society (masyarakat berperadaban tinggi). Hal yang sama juga diakui oleh
orientalis berkebangsaan Belanda, Christiaan Snouck Hurgronje. Dia menulis pada
pembukaan buku The Achehnese yang sudah diterjemahkan dalam bahasa Indonesia
bahwa, Aceh harus dimasukkan ke dalam
lingkungan negara-negara yang beradab yang saling menghormati (Christiaan
Snouck Hurgronje, 1985: XX)
Bukti
tingginya peradaban Aceh dapat dilihat dari banyaknya warisan budaya yang
ditinggalkan, sebagian dari warisan itu dapat ditemui dalam kehidupan
masyarakat. Salah satu
warisan budaya Aceh yang tergolong unik adalah budaya muqaddam.
Secara etimologi Muqaddam berasal dari bahasa Arab,
kata dasarnya qadama yang berarti pendahuluan. Sedangkan secara terminologi
dapat diartikan sebagai sebuah ritual yang dilakukan oleh petani sebagai upaya
memohon perlindungan kepada Allah Swt atas padi yang ditanam. Pemberian nama
muqaddam sebenarnya diambil dari nama kitab yang dibacakan pada saat prosesi
awal memulai ritual, sehingga banyak masyarakat menyebut ritual ini dengan
sebutan muqaddam.
Ritual ini terdapat di Pidie, namun tidak semua
wilayah pertanian di Pidie melaksanakan ritual tersebut, hanya terdapat
beberapa daerah saja yang dialiri lueng bintang (nama tempat aliran air).
Aliran ini menjadi sumber utama masyarakat setempat untuk mengairi sawahnya.
Pelopor ritual muqaddam adalah seorang ulama
karismatik Pidie yang hidup pada abad ke- 16, memiliki nama lengkap Syaikh
Abdus Salam bin Syaikh Burhanuddin bin Syaikh Ahmad Al-Qusyasyi al-Madani bin
Syaikh Muhammad Al-Madani al-Anshary bin Syaikh Yunus bin Syaikh Ahmad
ad-Dijani. Masyarakat setempat memberi dua laqab kepada beliau dengan nama
Teungku Syik di Pasi atau Teungku Syik di Waido.
Selain alim dalam disiplin ilmu agama beliau juga
memiliki kapasitas dalam ilmu terapan, salah satunya ilmu agricultural science
yang mengkaji bidang pertanian. Banyak kontribusi yang beliau berikan dalam
bidang pertanian, diantaranya mencetus pembuatan irigasi untuk pengairan sawah
masyarakat, bekas irigasi masih dapat dilihat di Gampong Waido, Kecamatan
Peukan Baro. Hasil usaha lain yang tidak kalah pentingn dari Teungku Syik di
Pasi adalah memberi gagasan lahirnya kegiatan muqaddam.
Tujuan diadakan muqaddam sebagai bentuk taqarrub
(mendekatkan diri) kepada Allah yang Maha memberi rezeki, diharapkan padi yang
ditanam bebas dari gangguan hama dan penyakit. Tujuan ritual ini memiliki
korelasi dengan ajaran Islam, sebagaimana termaktub dalam al-Qur’an surah al-
A’raf ayat 96:
“Kalau
sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pastilah Kami akan melimpahkan
kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi jika mereka mendustakan
(ayat-ayat kami) itu, maka Kami siksa mereka disebabkan perbuatannya”.
Selain
sebagai bentuk mendekatkan diri pada Allah, tujuan lainnya ritual ini untuk
mempererat silaturrahmi antar sesama, baik masyarakat yang berprofesi sebagai
petani atau bukan, diharapkan memberi kesan positif terhadap masyarakat. Dengan
demikian, dapat dipahami bahwa tujuan muqaddam tidak lain untuk menata hubungan
baik antara makhluk dengan pencipta dan hubungan sesama makhluk.
Muqaddam
biasanya dilakukan saat dara pade (usia padi 40-55 hari), jika dikaji dari
perspektif ilmu pertanian, usia tersebut dapat dikategorikan bahwa tanaman padi
masih dalam fase vegetatif, pada fase ini terjadi perkembangan akar, daun, dan
batang baru pada tanaman padi.
Adapun
untuk melaksanakan ritual ini, masyarakat mengadakan muafakat terlebih dahulu,
dikoordinasi langsung oleh Keujruen blang (pemimpin lembaga adat yang mengurus
bidang persawahan), kedudukan lembaga ini sudah diatur dalam Pasal 25 Qanun
Nomor 10 Tahun 2008 tentang lembaga adat (Badruzzaman Ismail, 2013: 11)
Saat
tiba pada hari yang disepakati,
masyarakat datang ke area persawahan yang telah ditentukan untuk mengikuti
ritual muqaddam. Kegiatan awal dalam ritual ditandai dengan pembacaaan kitab
muqaddam oleh Teungku imum (pemuka agama tingkat desa) dan diikuti oleh
masyarakat.
Dalam
kitab itu berisi surah-surah al-Quran pilihan, zikir, dan kumpulan doa-doa. Uniknya, kitab tersebut bukan hasil cetakan, melainkan
tulis tangan Teungku Syik semasa hidupnya. Keuunikan lainnya yaitu kitab
disimpan dalam wadah berbentuk persegi empat, berbahan dasar kulit kambing
kemudian dibunungkus dengan kain putih.
Kegiatan kedua yaitu makan bersama, makanan berasal dari
masyarakat yang dibawa pada acara ritual. Dalam hal ini, anak yatim, fakir,
miskin menjadi prioritas utama, dipastikan terlebih dahulu mereka sudah
mendapatkan jatah makanan, agar memperoleh keberkahan dari Allah Swt.
Kegiatan ketiga dalam ritual muqaddam adalah peusijuk
(menepung tawar) dan menulis doa-doa pada helaian kain putih, kegiatan ini
menjadi puncak ritual. Masyarakat sebelumny telah menyediakan air bunga yang
ditampung dalam wadah besar.
Selain air bunga, masyarakat turut membawa beberapa jenis
tumbuhan yang sudah diikat menjadi satu ikatan, tumbuhan tersebut antara lain
oen seunijuek (cocor bebek), oen manek manoe (daun warna warni), oen naleung
samboe (rumput saut), oen gaca (daun inai), oen seuke pulot (daun pandan
wangi), oen pineung (daun pinang), oen rehan (daun raihan) , dan oen sitawa
(daun sitawa).
Tidak hanya itu, Teungku imum juga menulis doa-doa
pada helaian kain berwarna putih, kain tersebut nantinya akan disobek menjadi
ukuran kecil dan dibagikan kepada petani. Sebelum disobek, kain yang sudah
ditulis doa, air bunga serta jenis tumbuhan yang telah tersedia di peusijuek
terlebih dahulu.
Tujuan digunakan air bunga dan beberapa jenis tumbuhan
lainnya, besar kemungkinan sebagai pestisida alami untuk mengendalikan hama
pada masa itu, mengingat tidak tersedianya pestisida kimia seperti zaman
sekarang, sehingga harus menggunakan bahan-bahan organik yang tersedia.
Setelah
peusijuek, Teungku imum secara simbolis menaruh bahan-bahan yang di
peusijuek pada sawah warga, selebihnya
diberikan kepada warga. Sebelum mengakhiri ritual, keujruen memberi pengumuman
kepada petani agar tidak kesawah tiga hari setelah melakukan ritual karena
menjadi pantangan. Demikian runut kegiatan ritual muqaddam berdasarkan hasil
observasi di Desa Bunien, Kecamatan Simpang Tiga.
Menjadi
tanggung jawab bersama melestarikan budaya muqaddam, terutama bagi generasi
milenial, agar budaya ini tidak tergerus oleh zaman. Selain dipandang sebagai
warisan dari leluhur, budaya muqaddam telah menjadi identitas Aceh yang tidak
terpisahkan khusunya bagi masyarakat di
Kabupaten Pidie.(ay)
Komentar
Posting Komentar