3/25/2021

Dayah Sebagai Pendidikan Lanjutan Dalam Masyarakat Aceh


Foto : Dayah Tuha Tgk Syik di Tiro Muhammad Amin (1286 H / 1869 M) Gampong Dayah Blang, Kec Tiro Truseb, Kab Pidie


Pada masa kesultanan Aceh pendidikan agama islam dibawah pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah (1571-1579), sangat menonjol disebabkan kepedulian beliau yang sangat besar  terhadap pendidikan agama hingga menyediakan tempat khusus bagi para ulama untuk mengajar serta diberi jabatan dan penghasilan yang lumayan, selanjutnya kebiasaan seperti ini dilanjutkan oleh sultan-sultan berikutnya.


Setelah Aceh menjadi pusat pengembangan pengetahuan islam, banyak para ulama dari luar yang datang mengajar ke Aceh dalam kitab Bustanus Salatin karangan Nuruddin Ar-Raniri disebutkan pada masa pemerintahan Sultan Ali Riayat Syah kesultanan Aceh ada seorang Syaikh berasal dari Mesir, beliau mengajarkan ilmu ma’qulat yaitu ilmu yang membahas tentang katagori-katagori yang diberlakukan kepada segala wujud yang ada di alam semesta ini. (Sumber: Muhammad Nuruddin, mengapa kita perlu belajar ilmu muqalat, blog diakses 11 Januari 2021)


Selanjutnya Ar-Raniri menyebutkan juga pada tahun 1583 datang dua orang ulama dari Makkah, pertama Syaikh Abdul Khair Ibn Syaikh Ibnu Hajar beliau ialah pengarang kitab Saif Al-Qat’i (pandangan yang pasti) berisikan mengenai ilmu fiqih, kedua Syaikh Muhammad Yamani seorang ulama ahli ilmu ushul fiqih.


Pada paruh abad ke-18 hingga 19 muncul ulama dari Aceh seperti Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani, Nuruddin Ar-Raniri, Abdurrauf Al-Singkili, Faqih Jalaluddin Al-Asyi, Syaikh Muhammad Bin Syaikh Khatib Al-Langien Asyi, Syaikh Muhammad Amin Tiro hingga Teungku Syaikh Imum Lhok Kadju.


Pada abad ke-19 telah tersebar banyak zawiyah di seluruh wilayah kesultanan Aceh banyak dari ulama-ulama tersebut yang mendirikan zawiyah untuk melaksanakan pendidikan dayah.


Pada tulisan sebelumnya telah dibahas mengenai pendidikan dasar dalam masyarakat Aceh yaitu meunasah, selanjutnya maka akan membahas tentang rangkang dan dayah sebagai pendidikan lanjutan dari meunasah.


Pendidikan merupakan sebuah proses untuk mengangkat harkat, martabat dan kesiapan manusia dalam menghadapi masa depan yang penuh tantangan. Pendidikan juga merupakan proses transformasi budaya, salah satunya yaitu mentranformasi budaya dan keilmuan adalah lembaga pendidikan baik lembaga pendidikan formal maupun non formal.


Dayah merupakan salah satu lembaga pendidikan pertama dan tempat pewarisan budaya dari satu generasi ke generasi selanjutnya di Aceh. Dayah berasal dari bahas arab yang berarti pojok dari bangunan. Keberadaan dayah memiliki sejarah yang panjang, mengakar kuat dalam masyarakat, baik dalam kehidupan sosial, budaya, dan keagamaan. Dayah juga merupakan lembaga pendidikan tradisional islam yang mengajari, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran islam dalam kehidupan sehari-hari dengan menekankan pentingnya moral agama sebagai pedoman hidup dalam masyarakat.


Istilah zawiyah digunakan di Makkah untuk menunjukkan tempat seseorang ulama Masjidil Haram memberikan pelajaran, tempat yang dipilih biasanya sudut Masjidil Haram disini para murid duduk melingkar mengelilingi guru untuk mendapatkan pelajaran. 


Berbeda dengan meunasah, dayah didatangi khusus oleh para remaja dan orang dewasa yang sudah mempunyai pengetahuan dasar tentang keislaman, bahkan para petinggi istana hingga ulama-ulama dari luar daerah, itulah sebabnya dayah disebut lembaga pendidikan teringgi.


Sebagaimana menurut Zamakkhasyari pesantren/dayah sebagai sebuah lembaga pendidikan yang telah melahirkan banyak ilmuan dalam berbagai macam disiplin ilmu agama, seperti pengetahuan fiqih, tauhid bahasa arab, penceramah dan khatib. Kepandaian berpidato dan menanamkan tanggung jawab untuk melestarikan dan menyebarkan pengetahuan mereka tentang agama islam kepada orang lain serta mencurahkan waktu dan tenaga untuk belajar sepanjang hidup. (Sumber: Dhofier, tradisi pesantren, hal 22)


Makanya tidak sedikit ulama-ulama dayah yang terkenal baik dari segi ilmunya juga sumbangsihnya kepada kesultanan pada saat itu, banyak ulama-ulama Aceh yang syahid atau gugur dimedan perang melawan penjajah, seperti Teungku Syik di Tiro, Muhammad Saman, Teungku Syik di Cot Plieng, Teungku Syik Kuta Karang, Habib Teupin Wan dan ulama-ulama lainnya, mereka adalah insan pilihan hasil dari didikan dayah.


Dalam perkembangan selanjutnya banyak orang berdatangan untuk belajar didayah, mereka yang datang bukan saja berasal dari seputaran tempat dayah saja tetapi juga datang dari luar daerah bahkan dari luar Aceh, maka untuk bermalam bagi murid yang datang dari jauh di bangunlah bilik-bilik disekitar dayah yang dalam bahasa Aceh disebut rangkang.


Dayah sebagai pendidikan formal tidak ada pada setiap gampong sebagai mana halnya meunasah namun dayah hanya terdapat pada setiap mukim. Mukim merupakan gabungan dari beberapa gampong yang penduduknya melakukan shalat jumat dalam satu masjid yang sama, pembagian wilayah dengan bentuk mukim ini di tetapkan pertama kali oleh Sultan Iskandar Muda (1607-1636). (Sumber: Van Langen, 1985:11)


Foto : Dayah Tuha Tgk Imum Syik Lhok Kaju Gampong Pante Lhok Kaju, Kec Indrajaya, Kab Pidie

Pendidikan dayah mencakup dua tingkatan yaitu tingkatan menengah dan tinggi. Pendidikan dayah tingkat menengah disebut rangkang dan tingkat tinggi disebut bale.


Pendidikan rangkang ialah pendidikan lanjutan dari belajar di meunasah, walau demikian persyaratan khusus tidak diberikan untuk masuk ke pendidikan rangkang, sebagai pendidikan diajarkan beberapa pelajaran seperti fiqih, ilmu tauhid, akhlak, dan bahasa arab. Kitab-kitab yang digunakan umumnya bermazhab syafi’i berbahasa  Melayu dan Arab.


Proses belajar di rangkang tidak ditentukan oleh batasan tahun, akan tetapi ditentukan oleh kemampuan murid dalam menyelesaikan pelajarannya, murid yang dapat menyelesaikan pelajarannya secara cepat maka dapat melanjutkan ke dayah tingkat tinggi yaitu bale.


Bale merupakan pendidikan dayah tertinggi yang dapat masuk ketingkat ini adalah murid yang telah belajar di rangkang. Pada tingkat bale pelajaran yang diberikan lebih bersifat spesialisasi, oleh karena itu ada bale yang mendalami bidang fiqih, tafsir dan hadist.


Murid dapat berpindah-pindah dari satu bale ke bale lain sesuai dengan pelajaran yang di minatinya. Pelajaran di bale umumnya diberikan menggunakan bahasa Arab dengan metode belajarnya adalah ceramah dan diskusi.


Guru yang mengajar di dayah tingkat tinggi  disebut Teungku di bale, sedangkan untuk tingkat menengah atau rangkang guru yang mengajar biasanya murid dari dayah-dayah tingkat tinggi.


Adapun dayah yang bersifat khusus, Hasyimi menyebutkan beberapa dayah, yaitu dayah khusus wanita, pertanian, pertukangan, perniagaan sedangkan untuk dayah yang tingkat lebih tinggi beliau menyebutnya dayah Teungku Syik artinya dayah guru besar itu biasanya terdapat di pusat kesultanan atau di pusat wilayah-wilayah kerajaan kecil yang ada di Aceh.


Jadi tujuan dari belajar baik di meunasah, rangkang maupun bale adalah untuk melahirkan teungku-teungku serta ulama-ulama yang handal di berbagai disiplin ilmu yang bisa terjun langsung kedalam masyarakat untuk mengajak dan mengajarkan tentang agama islam.(an)


Pepatah Aceh :

Rangkang reut barat ureung beut nahu

Rangkang reut timu ureung meuhija

Rangkang reut tunong ureung beut tasawof

Ileume haloh hikam eheuya


Sumber :

H.M.Syadli,ZA, pendidikan islam di kesultanan aceh: ulama,meunasah dan rangkang

Silahuddin, budaya akademik dalam sistem pendidikan dayah salafiah di aceh

Marzuki, sejarah dan perubahan pesantren di aceh

G.W.J.Drewes, hikayat pocut muhammad 1979 : 134



Baca Juga:



EmoticonEmoticon